Waktu adalah ikatan halus yang disadari dan sekaligus tidak disadari. Bagi mereka yang sadar diikat waktu, disebutnya ‘kabanda antuk galah’. Bagi yang tidak sadar diikat waktu, maka dikiranya benar-benar merdeka. Kemerdekaan hakiki yang adalah hak segala wangsa.
Tidak satu pun yang ada di alam tempat adanya kematian ini berhasil lolos dari ikatan waktu. Sebab, waktu diberikan anugerah oleh Ayah dan Ibunya. Oleh ayahnya, ia dianugerahkan agar bisa masuk ke dalam semua yang berpikir [umawak ring sarwa mambekan]. Selain itu, waktu juga diberikan kewenangan khusus lainnya. Kewenangan itu ada dua, boleh membunuh [wenang mejaha] dan boleh menghidupkan [wenang nguripa]. Itulah anugerah yang diberikan oleh sang Ayah.
Kewenangan juga diberikan oleh sang Ibu. Salah satu kewenangan itu adalah berhak menyusup ke segala ruang. Ruang yang dapat dimasuki oleh waktu, termasuk ruang yang dalam dan sulit terjangkau atau diketahui. Ruang semacam itu disebut Durga.
Di dalam pustaka-pustaka, ada rumus bahwa apapun yang memasuki ruang akan menjadi ruang itu sendiri. Tidak ada bedanya yang memasuki dengan yang dimasuki. Peristiwa inilah yang disebut awor atau lebur.
Karena Waktu memasuki Durga, maka waktu juga menjadi Durga. Artinya, waktu yang memasuki menjadi ruang yang dimasuki, atau dalam kata lain keduanya menyatu dan sulit dibedakan. Durga yang dimasuki waktu, berbeda kasusnya dengan orang karauhan.
Ikatan waktu sangat halus. Meskipun waktu mengikat dengan halus, bukan berarti ikatan itu tidak bisa ditiadakan atau dilepaskan. Bagi yang memilih agar tidak diikat waktu, ditawarkanlah beberapa cara. Pertama, menyadari bahwa waktu itu ada, tapi tidak terikat. Hal ini dicontohkan oleh Shiwa yang ingin ditelan waktu, tapi karena waktu terlahir dari Shiwa, maka waktu tidak bisa mengikatnya. Artinya bagi manusia yang tidak ingin terikat waktu, mestilah mencapai kesadaran setingkat Shiwa. Manusia yang mencapai kesadaran setingkat itulah yang disebut dengan manusa jati.
Tentu bukanlah perkara mudah untuk mencapai tingkatan semacam itu. Tapi begitulah yang dinyatakan oleh teks-teks tentang waktu. Hanya saja, sekadar membaca teks, bukan berarti telah memahami. Pemahaman yang benar lahir dari pengalaman.
Kedua, adalah dengan jalan negosiasi. Negosiasi ini dilakukan dengan ritual atau upacara. Di dalamnya melibatkan sarana-sarana dan banyak orang. Inilah yang melegitimasi upacara ruwatan dengan melibatkan wayang sapuh leger. Jalan inilah yang kebanyakan ditempuh oleh kebanyakan orang.
Ada cara lain untuk terlepas dari kejaran waktu. Caranya adalah dengan membunuh waktu. Membunuh itu istilah shastranya. Maksudnya adalah dengan menghilangkan. Cara menghilangkan waktu adalah dengan melupakan. Melupakan memang selalu menjadi perkara yang tidak mudah. Segala yang sudah terlanjur mengakar di ingatan, akan sangat sulit untuk dicabut.
Cara melenyapkan waktu salah satunya dapat ditempuh dengan kerja. Kerja terus menerus yang didasarkan kepada pengabdian. Orang bisa melakukan kerja dengan suntuk, dan kaget ternyata waktu telah tiada. Sayangnya, cara ini tidak pernah berhasil membunuh waktu dalam jangka waktu yang lama. Ada saja cara waktu menyelinap di ingatan.
Cara paling ampuh yang ditempuh waktu untuk menyelinap ke ingatan adalah dengan melakukan kerja sama dengan perut lapar. Begitu lapar itu perut, orang menarik diri dari kerja dan bertanya tentang waktu. Begitu bertanya, orang kembali diikat waktu.
Demikianlah kenyataan pahit yang harus diterima oleh siapa saja. Bahwa keingintahuan tentang waktu dalam contoh di atas menyebabkan manusia diikat kembali oleh sesuatu yang ingin dilupakannya.
Ada satu hal yang perlu diingat ketika membicarakan waktu. Waktu kita sebut Kala, dan menurut tattwanya, Kala lahir setelah Kama. Apalah Kama jika bukan keinginan: hasrat! [T]