Perempuan Sangkar Kata
Ada yang tak benar-benar sendiri
Dari tubuhku, tubuh kita
Perempuan
Dulu,
Ketika usia menetas
Mimpi terajut di kain langit
Aku menimang-nimang benih teranum
Mengeramnya di kantong waktu
Kelak jadi kunci,
Pengetuk gembok masa depan
Kayuhan waktu pun tiba
Pada subur tanah usia
Gumamku menggigil
Menyambut mimpi di ujung rekah
Dari setengah gelas keringat perjalanan
Tiba-tiba tubuhku,
Dihujam runcing peluru kata-kata
Mimpi harus dilibas
Sebab rahim tak mekar lama
Sebab anak sulit menyapa
Sebab malu dengan tetangga
Jika usia terlalu masak
Mendidih hanya di tungku pendakian
Benarkah waktu kini tak bersangkar?
Sedang aku masih ingin, melampaui terbang burung Kondor
Tak tertawan, atau
Bertengger di ranting pilihan
Mimpi dan ancaman
Elegi Kupu-Kupu
Aku tak tau bagaimana memulai
Sebab dua puluh warna musim telah kulukis
Aroma keruh jalan telah kusesap
Aku menyeduh surut-pasang nasib
Dalam sepi cangkir peninggalan
Ramuan gelombang itu
Basah mengguyur anak tanpa keraman rahim
Ialah aku, seorang takdir
Lahir dari liang angin
Ditimang pertemuan, besar di kusut perjalanan
Dalam nama yang mungkin kau lupa
Pernah ada atau tiada
Aku bertanya setiap purnama
Cahaya bulan pun
Merambat dalam kilau hujan mata
Mulut dada merapal tanya paling purba
: adakah kau ingat kejadian itu?
Dari tubuh silammu
Keluar seorang perempuan
Beretina matahari
Yang sinarnya kini merah-rekah
Ia menanam pucuk-pucuk mimpi
Menembak balon-balon angan
Di angkasa
Dengan tangan sunyi
Sepasang kaki besi
Sendiri ia, terus berdiri
Adakah kau mengingatnya?
Barang sekali saja?
Dongeng purba tentang sisa-sisa kita
Hambar tertelan di telinga
Kau tak ubahnya sebuah tokoh
Hidup dalam kisah para tetua
Mati sejak awal cerita
Benarkah kau ada?
Yang Rebah Dari Cemas
Hidup, adalah terminal siang hari
Di mana keberangkatan dan kepulangan
Seperti teh pada cangkir
Timbul tenggelam bergantian
Waktu yang lama berampas
Mengendap dalam dinding bercat kasih
Di petak-petak tanah, bertubuh rumah
Tempat di mana hidup bermula
Perlindungan paling pulas
Bagi yang pulang, yang rebah dari cemas
Di dalamnya aku
Terkejut oleh letup-letup perasaan yang dingin
Dapur yang beku, tetumbuhan yang mengkristal
Wangi tandus taman, dan
Sudut-sudut yang tak akrab wajahnya
Mereka menatapku asing
Aku mengernyit mengerling
Kami saling meraba-raba rupa
Seperti saudara lama tak berjumpa
Berapa lama pengembaraanku di luar?
Hingga noda susu di bibir kasur jadi sublim
Kamar-kamar kosong jadi arena tarung laba-laba
Dan rapuh tangkai anggrek
di balik rerumputan liar
Menjerit sekuntum air
Bagi lesu kelopak bunganya
Begitu asingkah aku pada mereka?
Sebab aku yang sibuk di kota
Hanyut dalam riuh peta-peta
keberangkatan
Kampung adalah halte persinggahan
Bagi percumbuan datang dan pergi
Di temaram pojok kamar
Setumpuk debu menderu ingin disapu
Begitu banyak keasingan menggerutu
Mereka memelas hangat tangan
Juga pot daun mint
Yang dulu bersaing dengan kelingkingku
Membelalakkan mata dengan anak cucu
Yang berkecambah jadi seribu
Ah, sangat malu rasanya
Rumah sendiri justru tak kukenali
Tiada lagi selain aku
Memanjat syukur pada nasib
Mengeruk perasaan yang lama karam
Bahwa jarak sesungguhnya
Ialah bulir-bulir hujan di tanah Mesir
Di luar sana orang-orang sibuk bersabda
Hujatan menggema bagai pertunjukkan orkestra
Tiada lagi selain aku
Begitu sujud dan kagum
Pada jarak, debu, tempat-tempat sepi, dan
aturan yang berbiak
Sebab tiada lagi selain mereka,
Yang membuatku pulang
Pada kemana seharusnya aku kembali