Sebenarnya kisah Grudug ini sudah basi, tidak relevan lagi! Tapi ia benar-benar merasa menyesal dengan sikapnya dulu-dulu. Ini bukan perihal yang terlalu penting, ini masalah cara yang dulu-dulu ia gunakan. Hal yang bagi kita sudah basi itu, sesungguhnya benar-benar penting baginya. Ini perihal persiapan menjelang hari raya Galungan. Di mana persiapannya yang banyak itu benar-benar menyita waktu Ibunya. Galungan-galungan sebelumnya, ia sempat mendapat celetukan dari pamannya.
“Bawakan mantu dong, biar ada yang membantu ibumu bikin banten!” kata pamannya menggoda Grudug.
Barangkali ucapan itu bukan ucapan serius, hanya bercandaan meski berkali-kali diulang. Tetapi, bagi Grudug, pengulangan itu tak bisa dianggap hanya bercandaan sehingga ia menanggapi dengan serius celetukan itu.
“Galungan selanjutnya pacarku harus pulang!” balasnya garang dalam hati.
Grudug menyampaikan niat itu pada pacarnya. Seperti juga matanya yang membara, Pacarnya juga menyambut niat baik itu. Tetapi, niat baik tak selalu berujung baik. Grudug justru khawatir beberapa menit setelah ajakan itu diterima. Seolah-olah ketika ia menyampaikan ajakannya, ia berada dalam ruang yang berbeda dan setelah disambut baik, ia kembali ke tempat sebenarnya. Ia gelisah mengingat sikap pacarnya yang belakangan kian asik berbicara tentang perempuan.
Pernah suatu kali Grudug membicarakan salah seorang tetangga. Ia sangat kagum dengan Istri tetangganya yang begitu giat bekerja pekerjaan rumah. Mulai dari memberi makan babi, bersih-bersih pekarangan rumah, membereskan segala keperluan hari raya, bahkan ia dikagumi banyak tetangga lain lantaran selalu hadir membantu tetangga yang kebetulan punya upacara. Alhasil, pacarnya melotot. Tangannya tiba-tiba terasa kekar memegang Pundak Grudug.
“Kampungmu sangat patriarki! Aku ingin berbicara dengan Ibu rumah tangga seperti itu!” Katanya dengan nada yang kencang.
Beruntung percakapan itu bisa ia redam dan tidak berlanjut menjadi perdebatan. Ia tahu, apa yang dia ceritakan pada pacarnya adalah kenyataan yang ada di kampung. Tetapi masalahnya, perempuan seperti yang ia ceritakan itu selalu banjir pujian di kampungnya. Tetapi ia enggan melanjutkan pembicaraan, ia berhasil mengendalikan diri setidaknya untuk tidak membalas karena obrolan itu terjadi di emperan ketika membeli nasi kuning pinggir jalan. Kalau obrolan itu dilanjutkan, memang tak akan terjadi perdebatan, toh Grudug tak punya banyak bahan untuk membalas seperti pacarnya. Tapi, pacarnya pasti berbicara hingga berbuih-buih, baginya, itu membosankan.
Diakui atau tidak, yang membuat pacarnya seperti itu adalah Grudug sendiri. Inilah yang ia sesali. Inilah yang selalu ia harap bisa diulang kembali sampai-sampai ia sering berucap klise, namun sangat terasa itu dari hatinya yang paling dalam.
“Seandainya waktu bisa diulang kembali. Pacarku pasti tak seperti ini.” ucapnya dalam sunyi di hati.
Awal pertemuan mereka adalah ketika pacarnya masih sendiri. Maksudnya, jomblo. Ya normal kan? Tetapi menjadi sebuah perjuangan yang berarti ketika saingannya adalah orang-orang tampan dan bermodal pakaian keren, mobil, atau motor bagus. Sementara Grudug? Ia tak memenuhi satu pun kriteria itu, tetapi ada satu yang tak dimiliki saingannya, mulut yang agak jago.
Ia menjual segala pengetahuannya yang dangkal tapi, meski dangkal, kebanyakan orang-orang yang menjadi saingannya tidak memiliki itu. Hal yang membuat gadis itu langsung jatuh hati adalah ketika mereka duduk berdua di sebuah café, Grudug menaikkan kaki, menyedot rokok dalam-dalam, dan mendongakkan kepala. Terlihat norak untuk ukuran café yang tumben-tumbenan ia singgahi karena mendekati gadis itu.
“Jadilah diri sendiri, orang-orang yang terlihat duduk rapi itu semua berbohong!” ia memulai kampanye dengan santai. Satu kalimat terlontar, lalu ia lanjutkan setelah menarik tangan kanan untuk mengantar rokok murah berbau pesing itu ke mulutnya.
“Kau lihatlah gadis-gadis itu? Mereka begitu riuh dengan penapilannya sendiri. Tak lain pula dengan lelakinya. Aku tak banyak tahu, tetapi kebetulan aku tahu, kau lihat baju lelaki di pojok itu? Bajunya berharga 600 ribu. Tidak seperti bajuku!” kala itu gadisnya masih menunggu kelanjutan yang akan disampaikan Grudug.
“Pasti ada kejutan,” pikir Gadisnya.
“Tapi kau harus tahu, sebagian besar gadis-gadis yang sekarang dipuja dan dibuat luluh oleh kemegahan itu akan menjadi ibu rumah tangga yang dilarang banyak hal sama lelakinya. Berbeda denganku, seandainya kau menerimaku, aku tak akan membutakanmu dengan kemegahan, aku akan memberimu kebebasan. Membebaskanmu menjalani pilihan sendiri.” Gadis itu masih diam saja meski kepalanya mengangguk ragu.
“Apa kau pernah membaca feminisme?” tanya Grudug.
“Apa itu?” jawab gadisnya gugup.
Grudug yang memang tahu sangat dangkal tentang itu, tentu memilih posisi aman. Dia menjawab dengan celah yang tidak akan membalik posisi dan membuatnya terlihat bodoh.
“Kau harus membaca itu! Nanti aku bawakan bukunya. Perempuan itu harus bebas! Perempuan harus menentukan pilihannya sendiri! Jangan mau diatur lelaki! Jika aku jadi kekasihmu, Kebebasan adalah milikmu, aku pun akan demikian! Tapi kalau kau memilih yang lain, aku akan sedih, sebab tak pasti kebebasamu, tapi tak akan menuntutmu untuk memilihku. Kau harus siap menjadi ibu rumah tangga yang diatur banyak oleh lelakimu.” Belum selesai Grudug bicara, gadisnya ingin bertanya, tapi Grudug tak mau mendengar sebab itu berbahaya. Ia langsung melanjutkan promosi diri dari pengetahuan cetek itu.
“Tapi sebelum kau memilih, tanyakan lelaki yang mendekatimu, ‘tahu feminisme gak? Sejauh mana kau memahaminya?’ kalau tidak mending kau tinggalkan lelaki itu!”
Kalau saudara-saudara melihat wajahnya yang masih mendongak, kakinya yang diangkat satu di atas kursi, dan tangannya yang menggenggam sebuah rokok, dan pastinya tahu pengetahuannya yang dangkal namun diobral, saudara pasti muak. Ingin melempar sepatu atau sandal saudara pada wajahnya. Tapi, saya sendiri paham, dia lagi PDKT. Ya, biarlah dia seperti itu agar tak jomblo lama-lama.
Alhasil, yang kita anggap memuakkan itu sungguh jurus ampuh! Beberapa hari setelah peristiwa itu, Grudug diterima, lelaki yang menjadi saingan Grudug benar-benar ditanya perihal feminisme dan kebetulan tak ada yang tahu! Ajaib! Atau beruntung? Entahlah, tapi hal ini bisa kita pandang baik, karena semenjak itu, pacarnya yang baru kuliah mulai banyak membaca tentang feminisme, mendengar ceramah dari beberapa akun di youtube yang gemar berbicara itu, dan rajin membaca buku-buku yang dibawakan Grudug untuk meluluhkan gadis itu.
Bertahun-tahun berlalu, pacarnya masih saja kepincut dengan topik yang sama. Pengetahuannya semakin dalam, pehamannya semakin jelas. Bahkan, gadis yang telah menjadi pacarnya itu lebih gentol berbicara tentang perempuan hingga bisa menceramahi Grudug! Sialan, dalam hal ini saya akui Grudug memang jago! Jago melipir! Setiap dia diajak ngobrol tentang feminisme maka dia akan menjawab, “Aku sudah selesai dengan Gender, biarlah aku fokus dengan cita-citaku. Feminisme sudah menjadi bagian hidupku, bukan hanya di kepala seperti kau!”
Untuk masalah ini, Grudug masih bisa melipir dan beralih ke topik lain. Tapi, bagaimana kalau pacarnya turut ke kampungnya dan menolak segala hal yang dikerjakan ibunya? Atau ketika ia dimintai tolong melakukan sesuatu, dia justru ceramah, atau bila tidak, ia justru menolak? Tentu ini tak akan memenuhi kriteria sebagai menantu idaman.
Itulah celakanya, Grudug ingat pacarnya semakin getol menceramahi orang-orang, teman-temannya, adik-adiknya, bahkan setiap orang yang mulai akrab dengannya diceramahi tentang feminisme. Grudug jadi bimbang, seandainya ibunya diceramahi oleh pacarnya, apa yang akan terjadi pada keluarga Grudug? Bagaimana kalau ibunya mulai berontak dengan ayahnya? Bagaimana kalau ibunya menjadi berubah seperti yang dikatakan pacarnya ke beberapa orang? Bagaimana kalau ia justru banyak bertanya ‘mengapa harus mengerjakan ini/itu’ ketika ibunya sedang mengerjakan sarana upacara? Bagaimana kalau ia menolak ketika dimintai tolong memberi makan babi-babinya? Bagaimana kalau, aaah, banyak sekali ketakutan Grudug sehingga lama ia terlihat bengong dan menyesali caranya mendekati gadis yang kini telah menjadi pacarnya.