Hidup di desa kaki Batukaru sungguh bahagia. Apalagi bulan-bulan kemarau seperti saat ini walau sering diselingi hujan yang tumpah dari pendinginan awan di puncak. Tak ada yang peduli pandemi. Warga larut dalam limpahan panen kopi.
Juru pajeg membutuhkan tenaga kerja petik. Tukang ojek kewalahan melayani permintaan pengangkutan. Natah dipenuhi kopi, menanti siap diselip. Saat kopi kering, juru selip banjir orderan. Selip yang digerakkan mesin tempel Kawasaki atau yang lebih besar, diesel, menderu sepanjang hari. Cerobong oot atau limbah kulit kopi berhamburan diterbangkan angin dari putaran kipas. Kampil-kampil disiapkan untuk wadah kopi seruan.
Sampai pada sekitar menjelang dekade 80-an, Kecamatan Pupuan, Tabanan, Bali, menjadi tujuan migrasi dari Bali Timur, Tengah, karena kala itu ekonomi kopi menjadi lapangan kerja, walau, musiman. Ledakan industri pariwisata di pesisir pulau menyudahi kejayaan ekonomi kopi. Pandemi tampaknya akan menjadi arus balik.
Ekonomi kopi juga berjasa menampung para pengungsi Gunung Agung 1963. Kebun kopi di Kecamatan Pupuan menjadi persambungan hidup kawan-kawan Karang Asem. Pemilik kebun kopi memberi mereka kerja dan bermukim langsung di kebun. Mareka menanam keladi liar atau lanjang untuk pangan sehari-hari. Mereka menjual kayu bakar, kayu api terbaik dari batang-batang kopi tua. Trek-trek milik orang Cina di Banjar Pompatan berhenti di pinggir jalan Antosari-Pupuan, tempat kayu api ditumpuk, diangkut ke Denpasar. Tidak sampai empat dekade kawan-kawan pengungsi sudah banyak yang berhasil. Mereka membeli kebun kopi, membangun rumah di desa, menyekolahkan anak-anak mereka, melakukan pekerjaan lain seperti berjualan, membeli kendaraan, dan kembali ke kampong halaman sembangun rumah atau sanggah serta menyelenggarakan yadnya.
Kopi adalah hasil pertanian yang sangat penting karena hampir semua transaksi menggunakan kopi. Kemudian, diubah menjadi uang karena permainan para toke atau tengkulak. Sering sekali di masa lalu, hasil kopi melimpah dan tidak tahu, untuk apa. Kopi ditumpuk bertahun-tahun, bahkan ada yang jadi bubuk. Kopi yang melimpah mendorong motivasi kaum tani Kaki Batukaru untuk menyekolahkan anak-anak mereka ke Tabanan, Denpasar, atau hingga ke Jawa. Sejak itu kopi tidak ada lagi yang jadi bubuk di gerobag. Kopi Kaki Batukaru menghasilkan guru, doktor, dosen, birokrat, dokter, bidan, dan lain-lain.
Tugas petani kopi kaki Batukaru adalah sampai pada panen. Hanya sampai di sinilah kerja mulia mereka. Seterusnya dijual kepada toke. Mengolah kopi hanya untuk konsumsi keluarga. Mereka tidak pernah kecewa jika panen tidak bagus. Inilah kebijakan hidup dari Kaki Batukaru.