Orang Bali sangat suka bersaudara. Percayalah! Bayangkan jika sesama orang Bali bertemu di tempat perantauan, mereka tidak jarang akan berkumpul untuk mengingat kampung halaman. Ini menurut cerita seorang teman. Ketika ia kuliah di luar Bali, ia dengan semangat mencari kos yang isinya hanya orang Bali. Kemudian kegiatannya seperti bagaimana yang mereka lakukan di kampung. Misalnya, sebelum hari raya tiba, mereka berusaha mengumpulkan uang untuk bisa membuat lawar, manggang-manggang, bikin sate, atau membuat guling babi.
Setelah mereka pulang kampung dan singgah ke rumah masing-masing, para orang tua biasanya bertanya dari pertanyaan umum, lalu menyempit, semakin sempit, hingga pertanyaan yang sangat personal. Bagi yang tidak biasa, hal ini bisa membuat tidak nyaman, tapi hal ini biasa bagi orang Bali.
“Dari mana? Orang tua bekerja di mana? Pura leluhur di mana? Kasta apa? Saudara berapa?” bahkan, “Sudah menikah? Sudah punya pacar?” dan pertanyaan yang paling rawan, “Sudah nyusun skripsi?”
Bila beruntung seseorang akan menemukan benang merah dari pertanyaan yang paling khusus hingga pertanyaan yang kian umum itu. Misalnya kebetulan yang bertanya mempunyai saudara di daerah tinggal yang ditanya, lalu kaitan saudara itu dengan yang ditanya. Kalau rupanya pertanyaan khusus itu tak menemukan benang merah, maka kembali ke arah pertanyaan yang umum. kebanyakan benang merah akan bertemu di pura leluhur yang ada di Besakih, dan kesimpulannya, “kita adalah saudara”.
Mungkin tujuan dari pertanyaan itu tidak terlalu penting, tetapi, kebiasaan menghubungkan inilah yang paling menarik. Selain mencari silsilah keluarga, persaudaraan biasa juga ditemukan dari sejarah. Nah kalau persaudaraan inilah yang Grudug gemari. Ia sering membawa cerita yang sama ini kemana-mana sebagai bahan obrolan. Katanya, “Persaudaraan yang paling unik adalah persaudaraan dengan maling!”
Ketika mendengar celotehan itu, teman-teman yang mendengar ceritanya segera mengerutkan alis. Beberapa berpikir, “Omong kosong macam apa lagi yang akan diceritakan Grudug?” Tapi mereka akan tetap mendengarkan meski dianggap omong kosong.
Grudug memulai cerita itu dari cerita tentang hal-hal yang umum, terkait jalinan persaudaraan yang dibangun karena kayu. Hal ini sangat lumrah. Sebagian besar desa di Bali memiliki Barong yang disakralkan dan ditempatkan di Pura. Sebelum membuat Barong, biasanya warga desa akan mencari kayu yang tepat untuk kepala barong. Pencarian kayu inilah yang membuka peluang untuk membangun persaudaraan baru.
Jika barong sudah selesai tergarap, maka desa tempat kayu bahan kepala Barong itu adalah saudara dari desa yang mengambil kayu. Persaudaraan ini diwujudkan dari kehadiran barong itu ketika upacara/Odalan di desa kayu didapat.
“Sangat lumrah, kan? Di banyak desa ini terjadi.” Teman-temannya yang merasa paham langsung manggut-manggut sambil memaku senyum lebarnya. Dengan berbisik temannya berkata, “Rupanya bukan omong kosong”
“Persaudaraan yang dijalin bersama maling inilah yang luar biasa.” Kali ini teman-temannya tidak protes. Mereka mendengarkan dengan saksama berharap tempo yang sesingkat-singkatnya sambil memutar tuak yang ada di tengah-tengah mereka.
“Pada zaman dahulu… dulu… dulu sekali…”
Nah, Grudug berkata bahwa ada sebuah desa pernah memiliki Barong. Tetapi kini Barong itu sudah tidak ada lagi. Kala itu, desa tersebut sedang perang melawan desa lain. Keadaan desanya begitu mencekam sebab peperangan sedang berlangsung
“Entah memperebutkan sawah, wilayah kekuasaan, atau rebutan aliran air. Entahlah, intinya perang sedang berlangsung,” kata Grudug dengan dahi mengkerut dan mulut yang dilekuk ke bawah.
Ketika perang sedang berlangsung itulah, warga desa yang letaknya sangat jauh mendengar kabar itu. Tetapi mereka tidak mengambil posisi dalam perang, tidak memihak salah satu desa. Tidak sebagai kawan, pun sebagai lawan. Tetapi, mereka tiba-tiba datang ke desa itu untuk menjarah. Barang-barang mereka jarah. Ketika itu mereka membawa lesung batu yang besar, dan sebagainya. Tetapi yang paling ekstrem, mereka mengambil Barong miliki desa yang ukurannya cukup besar.
“Makanya desa itu tak punya Barong,” tegasnya.
“Tetapi, desa penjarah dan desa dijarah sekarang menganggap diri bersaudara,” kata Grudug dengan senyum lebar dan jeda yang agak lama untuk memancing pertanyaan teman.
Seseorang terpancing. Dengan lekuk alis yang mengkerut sambil menuangkan tuak, temannya mendesak, “Cepat sampaikan, kenapa bisa begitu?”
Pancingan itu disambar, Grudug melanjutkan ceritanya dengan dramatis. Katanya, Barong yang dicuri itu di kemudian hari meronta-ronta dengan sendirinya. Warga desa pun panik, berbagai upacara digelar.
Ketika upacara dilangsungkan, seseorang tiba-tiba jatuh terkulai. Seperti saat jatuh, seseorang itu juga tiba-tiba terperjat bangun dengan wajah yang terlihat menyeramkan. Kusam. Sedih.
“Barong itu ingin pulang ke tempat asalnya untuk turut dalam Odalan.”
“Barong itu ingin mudik?” komentar temannya.
“Wuuss, jangan sembarang kalau ngomong,” bentak yang lain.
Permintaan Barong sakral yang disampaikan melalui seseorang yang terkulai itu dipenuhi. Semenjak itu, setiap Odalan digelar Barong itu harus hadir di pura asal Barong. Tetapi entah mengapa, Barong itu juga tidak dikembalikan hingga kini. Kata orang-orang dari desa itu, Barong hanya ingin sesekali pulang, bukan kembali untuk selama-lamanya.
Karena mereka selalu hadir saat Odalan digelar dan menempuh perjalanan yang cukup jauh, desa yang konon terjarah itu selalu mempersiapkan hidangan istemewa untuk warga desa penjarah. Setiap mereka datang dan Barong sudah ditempatkan di pura, maka warga desa penjarah itu akan dipandu oleh seseorang dari desa terjarah untuk segera makan-makan.
Begitulah jalinan persaudaraan yang terbangun. Hingga kini kedua desa itu merasa saling memiliki. Warga desa terjarah selalu merasa memiliki Barong yang kini ada di desa terjarah, sementara warga desa penjarah tidak pernah lupa dengan asal Barong itu.
Meski begitu desa terjarah percaya bahwa Barong itu memang semestinya di sana. Memang takdir. Kehendak Tuhan. Kehendak Batara. Kedua desa beranggapan sama. Makanya, tak ada pula warga yang menuntut agar Barong itu dikembalikan. Pun tak pernah ada kabar orang yang mendesak agar Barong itu dipakasa untuk bertahan, tetapi yang paling penting, desa yang dulu “menjarah” telah bersaudara dengan desa “terjarah” hingga kini.
Rupanya, Grudug telah melewati beberapa gelas ketika bercerita. Saking menggebunya, ia tak sadar teman-temannya sudah terkapar dengan suara dengkuran yang berbeda-beda di tengah hening kampungnya. [T]