Belakangan, seni pohon miniatur atau bonsai kembali melejit. Seni bonsai yang semula hanya dinikmati kalangan elite dan pecinta saja, kini sedang digandrungi masyarakat luas. Banyak orang yang ramai-ramai ke hutan semak untuk mendongkel bakalan bonsai. Di Indonesia sendiri penggemar bonsai begitu diuntungkan dengan dukungan kesuburan alam dan kekayaan flora tropis sehingga dengan mudah memilah dan memilih bentuk pohon yang akan dikerdilkan. Di antara mereka, ada kaum yang benar-benar menyukai bonsai, ada juga yang sekadar ikut-ikutan karena semua tetangganya menanam bonsai di rumah. Nah tipe orang yang kedua itu barangkali adalah orang yang akan menentang filsafat bonsai dari Robert Steven yang begitu melarang keras setiap manusia yang berlaku seenaknya kepada bonsai.
Seni Bonsai ini, hemat saya adalah sebuah tata ruang pohon agar ia bisa hidup di dalam ruang yang lebih kecil. Bonsai sebenarnya menggabungkan ilmu botani dan seni. Ilmu botani untuk mengatur tumbuh kembang pohonan, dan seni kemudian memberinya bentuk. Boleh juga ia dipandang lebih menditatif dengan teori keseimbangan Leonardo Da Vinci bahwa anatomi bonsai harus memiliki keseimbangan dari akar hingga pucuk ranting. Dengan demikian, bonsai akan menunjukkan sifat si empunya yang bekerja penuh ketenangan, kesabaran dari proses merawat bentuknya selama bertahun-tahun.
Di balik bonsai itu sendiri ada filsafat dan sejarah yang panjang. Di India, tradisi menanam pohon tulsi (kemangi) dalam pot atau dikenal dengan Vaman Tanu Vrikshadi Vidya yang secara tidak sengaja mengambil pucuk daun tulsi setiap hari, maka dengan tanpa sadar mereka memberikan perlakuan fisik berupa Trimming (memotong batang/pucuk) yang menyebabkan pohon itu sendiri mengerdil. Sejak saat itulah orang-orang sadar sepenuhnya bahwa setiap tanaman bisa dikerdilkan tanpa mengubah fungsi dan sifat-sifat kealamiannya.
Sementara di Tiongkok, bonsai berkembang pada zaman Dinasti Han, sekitar tahun 200 SM. Saat itu para tabib di tiongkok saling bertukar tanaman obat dalam pot yang menyerupai bentuk aslinya di hutan liar. Sejak itulah orang-orang mulai meneruskan membentuk tanaman kerdil agar lebih mudah dipindah-pindahkan dari satu tempat ke tempat lainnya. Saya pikir, bonsai di setiap negara memiliki sejarah panjangnya masing-masing.
Tapi apakah setiap orang yang memelihara bonsai harus mengetahui filsafat dan sejarah panjangnya? Saya pikir tidak. Setiap orang yang ingin memelihara bonsai di rumahnya boleh jadi hanya untuk sekadar merasa gembira dan tak perlu berkaca dari bonsai yang dipajang Museum Bonsai Shunkaen atau juga mengidolakan sang maestro bonsai Kunio Kobayashi, misalnya . Namun tak salah juga jika ia ingin mengetahui sejarah panjangnya untuk sekadar menjelaskan kepada setiap orang yang ingin bertanya perihal pohon apa yang ditanam dan bagaimana habitat tumbuh di halaman rumahnya. Dan saya pikir semua tipe itu sah saja. Maka menyatukan semua tipe orang dalam dunia bonsai itu sangat sederhana ; Mereka yang menanam dan merawat bonsai adalah pecinta bonsai, meskipun tak bisa menjelaskan dan tak mengetahui sejarah sedikitpun. [T]