Apa tujuan pulang kampung di masa pandemi seperti ini? Kesibukan apa yang dapat dilakukan disaat ada himbauan tidak boleh berkumpul lebih dari 25 orang? Kepulangan yang tidak pernah terbayangkan disaat pandemic menjadi pengalaman baru bagi saya. Seorang mahasiswa yang mengenyam pendidikan di Jogja lalu pulang ke kampong halaman Singaraja, kota yang cukup sepi dibandingkan dengan kota Denpasar yang lumayan ramai dan perbedaan peraturan soal pembatasan kegiatan masyarakat disaat pandemic ini membuat saya terkurung dirumah selama beberapa bulan dengan tugas kuliah yang menumpuk.
Ternyata benar, tidak hanya perekonomian yang merosot akibat pandemic ini tetapi, menyerang psikologis manusia juga. Lihat saja masyarakat Indonesia yang biasanya sengaja keluar karena ingin bertemu temannya dengan ajakan ngopi, walaupun kadang akhirnya sibuk dengan ceritanya sendiri. Bukan bagaimana indah cerita itu, tetapi bagaimana dia bisa bertemu, berbicara secara langsung adalah hal yang dilakukan ketika orang letih dengan aktivitas yang dikerjakannya seharian.
Beberapa kali menghubungi teman lama hanya karena letih berbicara dengan laptop dan tugas kuliah ternyata tidak mengbuahkan hasil. Ketakutan yang dibangun, telah sampai pada pikiran teman – teman yang dulunya saat masih sekolah sering bolos sambil main cong kata ‘orang bali’ dan kurang paham cara membaca jam terlambat sekolah berubah menjadi disiplin walaupun pada akhirnya sesekali mau bertemu dengan sedikit paksaan. Berenang dipantai menjadi hiburan bagi saya ketika tidak tau mau kemana lagi.
Lambat laun pantai yang awalnya sepi menjadi ramai ketika banyak anak muda akhirnya pergi kesana dan menghabiskan sore harinya. Saya yang tidak terlalu suka keramaian mulai mencari tempat pulang lainnya. Ada satu tempat pulang lagi yang dari awal ingin saya kunjungi, tapi dengan keadaan yang kurang baik mengurungkan niat saya untuk pergi kesana.
Suatu ketika, teman (Bli Cotek) mengajak saya pergi ke rumah Pak Ole yang lebih dikenal dengan Rumah Mahima dan menjadi tempat pulang yang sudah saya rencanakan sejak awal. Bertemu beberapa teman lama dan teman baru meredakan kebosanan saya. Setelah akhirnya, saya bercerita tujuan saya sering menghabiskan waktu di Rumah Mahima selain pertemuan adalah belajar menulis dengan Pak Ole.
Tempat pulang Rumah Mahima
Rumah Mahima yang bertempat di pantai indah dengan halaman sawah yang cukup adem menjadi salah satu tempat berkumpulnya beberapa teman – teman yang giat berkesenian di Singaraja. Walaupun banyak teman juga yang tidak berasal dari Singaraja hanya karena kuliah di Undiksha, Mahima mewadahi semuanya itu. Tidak hanya rumah untuk pulang, beberapa teman dari luar Bali juga sering membuat acara disana. Seperti, teater, bedah buku, sampai screening film. Pementasan ‘Kaukah itu Ibu’ tanggal 13 Maret sebagai pembukaan acara ‘Mahima March March March’ menjadi pementasan yang dilakukan di Rumah Mahima sebelum Covid 19 melanda.
Setelah itu, pentas virtual dilakukan untuk tetap produktif. Seperti mendongeng dari rumah yang tetap berlangsung hingga saat ini. Tetapi, kondisi pandemi tidak menyurutkan ide untuk berkarya di Rumah Mahima, berkat obrolan di pagi hari dengan Pak Ole soal pentas pantomime lagu pop bali. Satu per satu teman dihubungi untuk membantu proses ini. Kebetulan saya menjadi orang pertama yang mau bermain. Mulai dari memilih lagu pop bali tentang kisah cinta, hingga obrolan kenapa lebih banyak bercerita seolah – olah hanya laki – laki yang merasakan penderitaan. Padahal setiap pagi menyuruh istrinya membuatkan kopi. ‘Kopi sik, Luh!’ kata, Pak Ole tertawa mencibir lagu itu.
Belajarlah menghargai waktu
Proses yang tidak pernah diduga, latihan yang hanya dilakukan dalam sehari mengajarkan cara menghargai waktu. Bagaimana tidak, hanya melalui obrolan suatu karya bisa dilakukan. Walaupun mengenai bagus tidaknya yang dilakukan bersifat objektif, tetap kami melakukannya dengan sungguh – sungguh. Tetap melihat kemungkinan – kemungkinan yang bisa dilakukan untuk tetap berkarya.
Mungkin saja, kalau waktu itu tidak ada celetukan tentang pentas mime cover lagu pop bali, tidak terjadi proses ini. Mungkin juga, kalau tidak ada teman – teman yang membantu karya ini pentas tidak akan terjadi. Kalau kata pak Ole ‘ada jembatan antara teater dan lagu pop bali’ sehingga terjadilah karya dadakan ini. Terlepas dari semua itu, saya senang belajar bersama Komunitas Mahima dan segala hidangan yang dimasak oleh Bli Phebi. hehehe. [T]