Tidak terhitung lagi dampak yang diakibatkan oleh pandemi Covid-19, mulai dari ekonomi, sosial hingga budaya. Kita rasakan bersama, di sekitar kita begitu sering kita dengar cerita sulit masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka, sumber pekerjaan yang semakin terbatas, sampai harga komoditas yang tak mampu mereka jangkau. Lebih-lebih Bali, daerah yang mengandalkan sektor pariwisata sebagai penggerak roda perekonomiannya, sapuan pandemi ini amat terasa bagi masyarakat, utamanya bagi mereka yang bekerja langsung di sektor ini misalkan sebagai pemandu wisata, sopir wisata dan sebagainya.
Pariwisata menjadi sumber penggerak ekonomi Bali, bahkan menurut beberapa sumber yang saya baca, bahwasannya, Bali merupakan penyumbang empat puluh persen devisa nasional dari sektor pariwisata, belum lagi untuk ukuran daerah Bali sendiri, pariwisata menyumbang hampir separuh perputaran perekonomian masyarakat. Hal ini tentu menjadi perhatian serius bagi kita bersama, diperlukan strategi untuk bisa memberikan celah bagi pengembangan sektor-sektor potensial lainnya, misalkan pertanian dan perkebunan, sebab akan sangat beresiko jika penggerak perekonomian hanya mengandalkan satu sektor apalagi pariwisata yang sangat rentan dengan isu kesehatan dan keamanan.
Pembatasan secara fisik dan sosial atau lebih fasih diucapkan dengan istilah physical dan social distancing, merupakan gaya kehidupan saat ini yang masuk dalam bagian protocol kesehatan yang dianjurkan oleh pemerintah. Hal ini juga memberikan pengaruh yang amat besar bagi cara berinteraksi masyarakat, mengingat gaya pergaulan masyarakat kita yang sangat lekat dengan budaya ketimuran yang mana menekankan pada aspek menjunjung tinggi perasaan, mengedepankan nilai kekeluargaan dan memegang tradisi dengan kuat.
Kita bayangkan, ketika masyarakat terbiasa dengan salam berjabat tangan, kini tidak dianjurkan lagi, ketika masyarakat terbiasa dengan penyelenggaraan hajatan keagamaan atau tradisi dengan melibatkan ratusan orang, kini dibatasi maksimal puluhan, semula tidak berjarak, sekarang berjarak. Hal tersebut merupakan perubahan yang suka tidak suka harus kita terima sebagai konsekuensi dari tatanan hidup baru ini.
Selalu ada secercah cahaya di balik pandemi ini, manakala kita melihat berbagai macam entitas baik itu pribadi dan berkelompok, ikut turun tangan meringankan beban saudara-saudara kita yang terdampak, sungguh karena mereka benar-benar memerlukan uluran tangan. Di media sosial, marak aksi pembagian sembako, makanan, masker digalang sebagai wujud upaya gotong royong untuk meringankan beban ekonomi yang dihadapi masyarakat lainnya.
Hal ini menjadi bukti bahwa masyarakat kita memiliki empati yang tinggi, ini merupakan modal yang amat penting dalam menghadapi dampak-dampak buruk yang diakibatkan oleh pandemi ini. Tidak salah, Bapak Proklamator kita Bung Karno, beliau menyampaikan bahwa jika Pancasila itu diperas menjadi Ekasila, maka perasan itu adalah nilai gotong royong. Betapa visonernya beliau, karena nilai itu sangat relevan diterapkan sampai saat ini. Sudah menjadi keharusan, jika semangat gotong royong ini terus dijaga, maka secercah cahaya itu akan menunutun kita untuk menjauhkan diri dari individualisme kehidupan di era new normal ini. [T]