Kenapa begitu? Mungkin karena di sana ada kisah perselingkuhan, pengkhianatan atau tabir rahasia penuh intrik yang dapat tersingkap kapan saja. Selalu membangkitkan minat setiap orang yang sehat sel-sel otaknya dan terobsesi dengan kebenaran. Teori yang bermaksud mendudukkan persoalan pada fakta yang sesungguhnya, yang telah ditutupi dengan satu alur kisah yang seakan-akan benar dan nyata lalu tentu saja dipercaya oleh kebanyakan orang.
Konspirasi memang selalu beraroma bangkai dan coba dibeberkan kebusukannya dengan sebuah teori, teori konspirasi. Namun, seperti sebuah pistol revolver yang dapat melumpuhkan penjahat, ia pun sebaliknya dapat digunakan mencelakai kebenaran. Maka, sebuah teori konspirasi pun bisa saja dibangun justru untuk meruntuhkan kebenaran demi sebuah alur skenario bohong yang dapat mengacaukan kebenaran tersebut, lalu memberi keuntungan untuk seseorang, sindikat bahkan sebuah negara.
Kadang kala, teori konspirasi pun dilemparkan sekadar hanya untuk meramaikan hari kita yang semakin jenuh dalam dunia modern ini. Sebuah konspirasi yang coba dibongkar namun tak memberi dampak apapun kepada kita kemudian. Misalnya konspirasi soal kematian sang diktaktor Roma, Julius Caesar pada tanggal 15 Maret 44 SM. Sebuah teori konspirasi menyebutkan, pemimpin militer dan politikus Roma yang bernama lengkap Gaius Julius Caesar ini, telah membiarkan pembunuhan terhadap dirinya. Ini terjadi lantaran sang kaisar saat itu mengalami depresi yang berat akibat menderita penyakit kejang yang parah atau epilepsi lobus temporal. Ia diyakini sudah mendengar desas-desus tentang upaya pembunuhannya dan memutuskan untuk menerima saja nasib buruknya itu. Dengan membiarkan para senator membunuhnya, Caesar berhasil menghindari penurunan kemampuan akibat faktor usia, yang menurutnya sangat menyakitkan dan memalukan. Dengan cara itu juga, Caesar berhasil mengamankan tempatnya dalam sejarah sebagai seorang martir dan korban dari sebuah plot pengkhianatan yang besar. Ada beberapa teori konspirasi sejenis ini, seperti prasangka bahwa seniman besar sepanjang sejarah Leonardo da Vinci adalah seorang gay atau mahluk alien ikut terlibat dalam pembunuhan terhadap mantan presiden Amerika John F Kennedy.
Dalam dunia fiksi, novelis tersohor Dan Brown menyodorkan sejumlah teori konspirasi yang telah menyihir pambacanya di seluruh dunia. Apalagi tanpa ragu-ragu, dengan berbagai teori-teori konspirasinya itu Brown telah menelanjangi keimanan kristiani, agama yang pernah ia anut. Kita yang sudah membaca kisah-kisah dalam sekian banyak novelnya akan sulit untuk tak percaya dengan alur konspirasi yang ia bangun sebab ia telah menyuguhkan begitu banyak data dan angka serta tokoh-tokoh yang riil ada, sesuai ruang dan waktu. Sebutlah setting terjadinya kisah-kisah tersebut seperti gedung Basilika Santo Petrus, di Vatikan, Roma atau Westmister Abbey, London dan Museum Louvre, Paris. Juga tokoh-tokoh yang diceritakan di dalamnya antara lain Yesus Kristus, Sir Issac Newton atau Dante Alighieri juga berbagai karya-karya seniman klasik yang menghiasi peristiwa-peristiwa dalam novelnya seperti lukisan Monalisa karya Leonardo da Vinci. Brown, tampaknya, di sini tak sekadar hendak menghibur penggemar cerita fiksi, terutama yang menyukai teori konspirasi, namun ia ingin mengajukan kritik terhadap iman kristiani yang baginya telah berdosa terhadap perkembangan sains dan teknologi. Maksud ini dengan sangat mudah kita tangkap dalam Angels and Demons, yang menceritakan aksi kelompok rahasia Illuminati yang melakukan serangan intelejen terhadap empat orang kardinal calon pemegang tahta Vatikan, Paus yang baru akan dipilih. Dan Brown, menulis pada novelnya bahwa gereja memang menentang ilmu pengetahuan, karena ilmu pengetahuan dapat membuat hilangnya keajaiban-keajaiban dari Tuhan. Dan kemudian Illuminati menyerang gereja, sebagai balasan atas kematian ilmuwan-ilmuwan mereka yang telah dibunuh karena kecerdasannya.
Teori konspirasi yang sepertinya laten berkelindan dengan insting kecerdasan manusia Indonesia adalah peristiwa G30S PKI yang masih menyimpan misteri hingga hari ini. Meskipun secara resmi pemerintah RI di bawah kekuasaan otoriter Soeharto menyebutkan dalang peristiwa hitam tersebuat adalah Partai Komunis Indonesia, yang juga menyudutkan Soekarno pada sisi penuh noda, namun berbagai teori konspirasi yang berseliweran meyakini peristiwa tersebut justru diorganisasi oleh pemerintah Amerika Serikat melalui CIA. Tentu saja Soeharto mengetahui hal ini. Ini cukup mudah dipahami mengingat sikap keras presiden pertama Indonesia terhadap Amerika Serikat dan sebaliknya pada saat yang sama mengusung poros Jakarta-Peking. Hal ini cukup menggelisahkan Amerika Serikat yang pada saat itu sedang aktif mencari pendukung menghadapai faham komunis yang makin menguat dan musuhnya sebagai negara super power,Uni Soviet. Di sini, teori konspirasi sesungguhnya dapat menjadi api pemantik generasi saat ini bersama penguasa untuk mengungkapkan peristiwa yang sesungguhnya. Jika tidak, maka sejarah pada akhirnya hanyalah imajinasi penguasa yang terus-menerus dijejalkan pada otak kita sebagai produk propaganda.
Saat ini, keseharian kita kembali diramaikan oleh berbagai perdebatan terkait teori konspirasi yang dipicu oleh pandemi Covid-19. Wabah virus Corona ini telah menulari 7 juta penduduk dunia dan meminta setengah juta nyawa penderitanya. Tuduhan diarahkan kepada jutawan dan pendiri Microsoft, Bill Gates sebagai orang yang bertanggung jawab terjadinya prahara mengerikan ini. Ini lantaran pernyataannya sekitar tahun 2015 yang mengatakan dunia tak pernah menyiapkan diri dengan baik untuk menghadapai wabah mematikan yang bisa saja terjadi setiap saat. Ia pun menyampaikan kesanggupannya untuk berdonasi sebesar US$ 250 juta. Meskipun ia telah menjelaskan ini merujuk pada kasus wabah Ebola, namun sejumlah kalangan yang tertarik dengan teori konspirasi terlanjur asik menyeret-nyeret Gates memang terlibat dalam merekayasa wabah ini untuk meraup keuntungan kelak dalam penjualan vaksin. Tak ketinggalan salah seorang selebriti asal Bali, musisi JRX, drummer band punk kawakan SID, meyakini betul konspirasi ini. Maka ramailah media tanah air, terutama media sosial dalam masyarakat Bali, membahas polemik yang dipicu oleh teori konspirasi ini, terutama antara JRX dengan insan medis yang merasa terusik saat mereka berjibaku melawan wabah yang masih terus merebak ini. Bahkan infonya, wadah profesi Ikatan Dokter Indonesia (IDI) wilayah Bali telah menempuh jalur hukum.
Sebuah teori, ketimbang sebagai seni, ia jauh lebih dekat dengan sains, maka dibutuhkan elemen-elemen ilmiah dan faktual untuk membangunnya. Teori konspirasi pun mestinya demikian. Apapun istilahnya, sebuah teori hendaknya dapat menjelaskan segala fenomena yang masih berkabut menjadi lebih terang. Sebab meskipun setiap orang punya perspektifnya sendiri, namun hanya ada satu peristiwa faktual. Artinya, hanya ada satu kebenaran dari beberapa perspektif ini, satu, Bill Gates merekayasa pandemi Covid, kedua Bill Gates tidak merekayasa pandemi Covid-19. Tentu setiap orang yang ingin mengajukan salah satu teori tersebut wajib menyajikan data-data faktual dan teruji agar kemudian publik mau bersepakat untuk menyetujui teorinya. Sebuah teori bukanlah sebuah karya seni atau satra yang memiliki seribu wajah dan semuanya dapat terlihat indah dan cantik. Maka tetaplah berada dalam dunia seni dan satra untuk menjelajahi kemerdekaan dan menyadari di sana tak ada yang salah dan benar.[T]