Purwa Wacana
Ada jarak yang membentang antara salampah laku IGB Sugriwa dengan generasi milenial yang menapaki kehidupan saat ini. IGB Sugriwa yang lahir pada tanggal 4 Maret tahun 1900 telah newata untuk selama-lamanya pada tanggal 22 November tahun 1977 silam. Kita tak seberuntung para murid beliau yang pernah hidup sezaman dan mendapatkan sentuhan pendidikan langsung dalam proses aguron-guron dengannya. Sebuah proses pendidikan yang pasti berjalan dengan penuh kesabaran untuk menumbuhkan kesuburan “pohon pengetahuan” para siswa.
Suasana kelas ketika itu barangkali seperti perapen yang senantiasa ‘membakar’ dan ‘menempa’ kemampuan intelektual, mental, dan spiritual para siswa. Sementara itu, IGB Sugriwa sendiri adalah empu yang siap membentuk para siswa sesuai dengan potensi terbaik dirinya. Dalam ceruk-ceruk ingatan para muridnya yang kini juga sudah menjadi sesepuh dalam lansekap sastra, nama beliau tak akan sanggup ditadah Kala sekalipun.
Seorang abdi pengetahuan seperti IGB Sugriwa pasti menyadari betul bahwa tubuh manusia memiliki umur yang relatif terbatas untuk hidup di dunia. Oleh sebab itu, beliau berusaha mengabadikan aneka sistem pengetahuan yang dimilikinya dalam ‘tubuh aksara’. Menstanakan pengetahuan pada aksara merupakan pemujaan terhadap Saraswati yang sejati. Dalam keyakinan tetua Bali, Saraswati tidak berstana pada patung melainkan aksara-aksara yang di masa lampau ditulis di atas daun lontar. Dengan cara menulislah Saraswati senantiasa dipuja dalam keseharian dengan penuh sahaja. Sekali pengetahuan diabadikan dengan aksara maka umur sistem pengetahuan itu akan lebih panjang bahkan dari penulisnya sendiri. Dengan strategi tersebut, walaupun IGB Sugriwa telah menyatu dengan keabadian, warisan pengetahuannya masih dapat diakses melalui rangkaian aksara dan tulisan-tulisan yang diwariskanya kepada angkatan kita.
Dari tangan IGB Sugriwa generasi saat ini dititipi kekayaan intelektual yang tidak sedikit. Produktivitas beliau sepanjang hayat menghasilkan tulisan hampir mencapai lima puluh judul terutama dalam bidang pendidikan, bahasa, sastra, budaya, sejarah, agama, dan seni yang terbingkai dalam ilmu-ilmu sosial humaniora. Seseorang yang sedang berburu dan berguru di belantara hutan sastra Bali dan Jawa Kuna pasti bertemu dengan tokoh legendaris bernama IGB Sugriwa. Di hutan yang belum banyak dijamah itu, I Gusti Bagus Sugriwa telah membuka jalan bagi siapapun yang ingin memasukinya.
Ia adalah cendikiawan Bali yang karya-karyanya pasti dijadikan rujukan kala meneliti Sastra Jawa Kuna dan Bali. Di perpustakaan Zoetmulder yang kini dihibahkan pada Universitas Sanata Dharma-Jogjakarta tulisan-tulisan IGB Sugriwa bertengger sejajar dengan ilmuan kaliber dunia.
Rintisan IGB Sugriwa dalam kerja-kerja bahasa dan sastra khususnya terjemahan penting ditelusuri dan didalami. Ada dua hal mendasar yang menyebabkan strategi penerjemahan yang ditekuni oleh IGB Sugriwa penting diketahui oleh generasi saat ini. Pertama, melalui penerjemahan yang dilakukan terhadap sastra-sastra klasik, IGB Sugriwa sejatinya berusaha mengalirkan jernih aliran sastra ke berbagai telaga zaman. Tanpa terjemahan-terjemahan beliau yang monumental itu, jernih sistem pengetahuan warisan leluhur melalui karya-karya yang ditinggalkannya akan mengalami banyak sumbatan. Kedua, generasi saat ini mengalami hambatan literasi meliputi aksara, bahasa, dan sastra Jawa Kuna dan Bali untuk mengakses sistem pengetahuan klasik para leluhurnya. Terlebih yang masih terdokumentasi dalam wujud naskah lontar.
Menyadari dua hal itulah model terjemahan yang dirintis dan dikembangkan IGB Sugriwa menjadi sangat penting. Menerjemahkan merupakan puncak keterampilan IGB Sugriwa yang saat ini semakin langka ditekuni. Fakta ini menunjukkan bahwa tidak banyak orang yang pageh bertani kata di ladang sastra. Alih-alih bertani kata, sejumlah oknum malah pongah mencaplok terjemahan orang lain dan mengakuinya sebagai karya sendiri. Apalagi yang dicari oleh manusia tipe ini, kecuali popularitas dan citra maya yang semu!
Karya-Karya Terjemahan IGB Sugriwa
Merujuk pada pengantar Kakawin Bharata Yuddha (2012) yang diterbitkan oleh Udayana University Press kita mendapatkan daftar karya-karya terjemahan IGB Sugriwa. Karya-karya terjemahan IGB Sugriwa meliputi teks-teks yang secara umum tergolong dalamsusastra, etika (sasana), tutur, dan historiografi tradisional.
Karya-karya terjemahan yang termasuk dalam susastra seperti Kakawin Dharma Shunya (1954), Kakawin Sutasoma (1956), Bharata Yuddha (1958), Kakawin Ramayana (1960), Kakawin Arjuna Wiwaha (1961) dan Kakawin Ramatantra (t.t). Di luar terjemahan itu, IGB Sugriwa juga menyadur Kakawin Sumanasantaka (1963), dan Kakawin Mayadanawantaka (1963). Sedangkan, karya terjemahan yang termasuk dalam tutur adalah Sang Hyang Kamahayanikan (1957) dan Sarasamuccaya (1967). Sementara itu, IGB Sugriwa juga cukup produktif menerjemahkan teks-teks yang berhubungan dengan historiografi tradisional seperti Babad Pasek (1957), Babad Blahbatuh (1958), Dwijendra Tattwa (1967), Babad Pasek Kayu Selem (tt), dan Prasasti Pande (tt).
Bertitik tolak dari substansi pustaka-pustaka yang beliau terjemahkan, kita yang hidup saat ini seperti mendapatkan bekal untuk pegangan hidup (sangu urip) hingga diwisuda menjadi sarjana-sarjana kehidupan saat kematian tiba (sangu pati). Kakawin Ramayana, Bharata Yuddha, Arjuna Wiwaha yang beliau terjemahkan terang menyalakan obor kepemimpinan yang mesti dimiliki oleh insan dalam mengarungi lautan hidup. Tentang jalan mati yang benar beliau juga telah siapkan terjemahan Kakawin Dharma Sunya. Sementara itu, dari teks tutur seperti Sang Hyang Kamahayanikan dan Sarasamuccaya yang beliau terjemahkan, kita seperti diingatkan agar selalu menjunjung etika atau sasana.
Di sisi lain, terjemahan-terjemahan beliau yang bertemali dengan historiografi tradisional mengingatkan kita tentang pentingnya nilai-nilai sejarah baik secara geneologis maupun ideologis. Terjemahan berbagai babad lintas soroh seperti Dwijendra Tattwa, Prasasti Pande, Babad Pasek, Babad Blahbatuh, dan Kayuselem itu mengingatkan kita bahwa di satu titik, manusia yang hidup saat ini akan mencoba mencari jati diri-hulu kehidupan yang menghadirkannya. Pada saat itulah, teks-teks babad menjadi titian jembatan generasi kini untuk menembus lorong waktu masa kuno. Sampai di tujuan, terserah orang boleh memilih bangga atas jasa-jasa leluhurnya lalu fanatik membabi buta atau malahan jengah karena capaian hidup di zaman dengan berbagai fasilitas ini belum mampu menghasilkan apa-apa. Kedua hal itu sah adanya.
Melacak Model Terjemahan IGB Sugriwa: Studi Kasus Kakawin Ramatantra
Di antara pijar terjemahan IGB Sugriwa yang sudah disinggung di atas, Kakawin Ramatantra merupakan salah satu karya yang memuat keistimewaan karena di dalamnya terdapat pertanggungjawaban penulisnya terhadap setiap detail satuan bahasa. Karya terjemahan yang dijadikan sumber dalam catatan kecil ini diperoleh dari budayawan I Wayan Westa sekitar tahun 2015. Menurut penuturannya, buku tersebut didapatkan dari seorang penekun arsitektur Bali sekaligus founder Museum Wiswakarma, I Ketut Pradnya. Kala itu, I Ketut Pradnya masih mengajar di Perguruan Rakyat Saraswati. Di Perpustakaan Perguruan Rakyat Saraswati itulah ia mendapatkan terjemahan Kakawin Ramatantra yang diyakini dikerjakan oleh IGB Sugriwa. Keyakinan itu tumbuh karena masa tua IGB Sugriwa (sejak 1 Februari 1973) memang dihabiskan di perpustakaan Saraswati. Dari atmosfer Perguruan Rakyat Saraswati itulah embrio terjemahan Kakawin Ramatantra dirintis dan bidani hingga lahir dalam bentuk buku.
Buku tersebut agaknya belum sampai di tangan penerbit seperti buku-buku lainnya yang difasilitasi oleh Pustaka Bali Mas. Itulah sebabnya, naskah buku terjemahan Kakawin Ramatantra masih dalam versi aslinya, dalam artian belum mendapatkan sentuhan penyuntingan dari tangan penerbit. Buku itu berbahan kertas dengan ukuran panjang 38 cm dan lebar 25 cm. Buku Kakawin Ramatantra berjumlah 140 halaman ditulis bolak-balik menggunakan aksara Bali yang ditulis secara manual. Belum jelas jenis tinta yang digunakan karena sumber data yang digunakan berupa foto copian.
Seluruh aksara yang digunakan dalam terjemahan ini adalah aksara Bali. Karakter tulisan aksara Balinya yang ngawindhu (bulat) terkesan sangat indah. Kekonsistenannya mengatur ukuran dan jarak aksara dari awal sampai akhir buku menunjukkan kesadaran ruang sekaligus kompetensi penulisnya yang telah terbiasa menulis menggunakan aksara Bali.
Berangkat dari sisi aksara Bali ini pula kita diyakinkan bahwa penulis terjemahan Kakawin Ramatantra ini adalah IGB Sugriwa. Hal itu diketahui setelah membandingkan karakter tulisan tangan IGB Sugriwa dalam karyanya yang lain yaitu Kakawin Sutasoma. Perbandingan terhadap carik agung, ong kara, aksara ang kara, aksara ja, na kojong yang penulisannya termasuk rumit menunjukkan kemiripan yang sangat tinggi antara Kakawin Ramatantra dengan Kakawin Sutasoma. Oleh sebab itulah, karya terjemahan Kakawin Ramatantra dari bahasa Jawa Kuna ke dalam bahasa Bali disertai uraian ini diyakini digarap oleh IGB Sugriwa, meskipun Ia sendiri tidak menulis dengan terang namanya dalam karya ini baik pada bagian manggala ataupun kolofonnya. Barangkali karena karya ini belum diterbitkan sehingga pencantuman nama beliau juga belum dilakukan.
Karya terjemahan ini dimulai dengan judul Kakawin Ramatantra lalu diikuti dengan Ong awighnamastu namo siddham. Di bawahnya diisi jenis wirama yang digunakan lengkap dengan perhitungan guru-lagu dan jumlah suku kata. Tahap penerjemahan karya sastra ini disajikan dalam tiga bagian. Bagian pertama memuat teks kakawin dalam bahasa Jawa Kuna yang disajikan dalam empat baris dari atas ke bawah. Pada bagian awal baris pertama dimulai dengan carik agung, sementara itu pada bagian akhir baris ditandai dengan carik siki. Sedangkan di bagian akhir setiap bait ditandai dengan cari pamada. Bagian kedua memuat terjemahan dalam bahasa Bali. Setiap awal terjemahan selalu ditandai dengan panten dan diakhiri dengan carik kalih. Setiap baris terjemahan ditandai dengan carik siki. Bagian ketiga, memuat pidharta. Kata pidharta dalam bahasa Bali bermakna pidato dan uraian (Tim Penyusun, 2016: 367). Dalam konteks bagian terjemahan ini, makna uraian lebih tepat untuk menerjemahkan kata pidharta. Pemberian pidharta dalam terjemahan inilah yang menjadi kelebihan proses kreatif IGB Sugriwa dalam Kakawin Ramatantra. Bertitik tolak dari bagian pidharta ini pula kita bisa melacak strategi penerjemahan yang dilakukan oleh IGB Sugriwa.
Terjemahan yang dilakukan IGB Sugriwa dalam karya sastra ini sejatinya memiliki tantangan tersendiri karena tidak berbentuk prosa atau parwa melainkan kakawin. Kakawin sebagai puisi Jawa Kuna menggunakan aturan persajakan khusus seperti (1) terdiri atas empat baris dalam satu bait (kecuali wirama Raitiga); (2) jumlah hitungan suku kata tertentu dalam setiap baris; (3) penempatan guru-laghu dalam setiap baris. Intinya, aturan persajakan itu menyebabkan kakawin penuh dengan pemadatan gagasan yang diekspresikan melalui media bahasa.
Hal itulah yang menyebabkan menerjemahkan kakawin dikatakan memerlukan pergulatan tersendiri. Berhasil menerjemahkan kakawin dengan tantangan seperti itu, kita dapat memastikan pelakunya adalah seorang pecinta kata yang menyerahkan diri tanpa syarat kepadanya.
Isi Kakawin Rama Tantra
Kupasan-demi kupasan mahligai kata yang dilakukan IGB Sugriwa mengantarkan kita pada sari dari kakawin Ramatantra. Melalui isi karya sastra ini pula kita semakin yakin bahwa IGB Sugriwa menaruh perhatian yang khusus terhadap pemangunggalan Shiwa Buddha. Sebab, pengarang Kakawin Ramatantra yang tidak diketahui identitasnya juga memuja Sang Hyang Sri Atma Suddha yang sangat utama dalam Buddha paksa Mahayana sebagai manggala. Jika dibandingkan dengan ajaran Siwapaksa, beliau disejajarkan dengan Hyang Parama Siwa.
Secara naratif pengarang Kakawin Ramatantra [pemerintahan Rama] memulai karyanya dengan mengisahkan kembalinya Rama bersama Sita ke Ayodya pasca memenangkan peperangan melawan Rawana di Negeri Alengka. Belum lama merasakan kebahagiaan, Sita akhirnya harus dibuang ke tengah hutan dekat sungai Gangga karena faktor ketidakpercayaan masyarakat Ayodya terhadap kesucian Sita. Sebagai pemimpin yang harus mendahulukan kepentingan rakyat, Rama tidak punya pilihan lain. Melalui Laksmana, Sita akhirnya ditinggalkan di hutan. Untung Bhagawan Walmiki berkenan memungut Sita yang di dalam perutnya kala itu sedang mengandung dua orang putra.
Dalam situasi kesedihan yang mendalam, secara bertubi-tubi Rama dimintai bantuan oleh para pendeta untuk menumpas raksasa yang mengganggu pertapaannya. Syukur dalam satu pertempuran sengit melawan raksasa Madu di pertapaan Bhagawan Kencana, Sang Satrughna berhasil menang. Sampai pada akhirnya, Rama melaksanakan upacara besar untuk mengobati rasa bersalah atas kepergian Sita dengan menggelar upacara Aswameda Yadnya. Segala persiapan dilakukan. Pendeta-pendeta yang berasal dari seantero negeri Bharata Warsa diundang untuk menuntaskan acara Aswameda Yadnya itu. Saat itulah Bhagawan Walmiki datang bersama Kusa dan Lawa yang tiada lain adalah putra biologis Rama sendiri. Saat upacara besar itu berlangsung, Kusa dan Lawa menyanyikan Kakawin Ramayana tentang kisah perjalanan ayah dan ibu kandungnya sendiri. Menyadari kisah yang dibaca itu adalah tentang perjalanan hidupnya, Rama lalu menanyakannya kepada Bhagawan Walmiki. Bhagawan Walmiki mengkonfirmasi bahwa mereka berdua memang putra kandung dari Rama yang dilahirkan oleh Sita ketika berada di pasraman Walmiki. Betapa terharunya Rama ketika melihat putra yang sangat mirip secara fisik dengannya itu karena memang dia adalah guru rupakanya [orang tua yang memberikan warisan berupa kemiripan wajah].
Pada saat yang sama, Bhagawan Walmiki juga meminta Sita dijemput agar hadir dalam upacara Aswameda Yadnya itu. Sita datang untuk membuktikan kepada Rama bahwa desas- desus yang beredar itu sejatinya tidak benar. Cara yang ditempuh Sita adalah dengan cara memanggil Dewi Medini atau Pertiwi. Setelah memanggil Dewi Pertiwi sebanyak tiga kali, tanah akhirnya terbelah. Seekor naga keluar dan menjemput Sita untuk kembali ke pangkuan ibu bumi selama-lamanya. Rama berduka lagi karena istri yang dipertaruhkannya dengan perang besar pada saat di Negeri Alengka untuk kedua kalinya meninggalkannya. Duka hati yang belum benar-benar kering itu berhasil ditenangkan oleh penjelasan pendeta tentang hakikat hidup dan mati. Oleh sebab itulah Rama bisa melanjutkan lagi tugas sebagai raja. Ketika Rama berhasil pulih dari keadaan terpuruknya, seorang Resi Garga datang meminta bantuannya untuk memerangi raksasa di kerajaan Kekaya. Rama mengutus Bharata dan anak-anaknya untuk menumpas ulah para raksasa di negeri itu. Termasuk juga membagi sejumlah kerajaan untuk putra Bharata dan Laksamana.
Pada bagian akhir, terjemahan Kakawin Ramatantra ini dilengkapi dengan kedatangan Kala yang berjwujud berwujud pendeta untuk memberitahukan kepada Rama bahwa waktu kembali ke alam shunya telah tiba. Pembicaraan itu sangat rahasia, tetapi konon seorang Resi bernama Durwasa karena ketinggian jnyananya ingin mendengar isi dialog itu, tapi sia-sia karena Bhatara Kala lebih dulu kembali ke kahyangannya. Seiring kepulangan Bhatara Kala dan Sang Pendeta, berakhir pula terjemahan Kakawin Ramatantra.
Model Penerjemahan IGB Sugriwa
Isi Kakawin Ramatantra di atas mustahil dapat dinikmati tanpa keberhasilan IGB Sugriwa memindahkan maknanya ke dalam bahasa Bali. Bersandar pada terjemahan Kakawin Ramatantra ini pula kita dapat memformulasikan tahap-tahapan penerjemahan yang dilakukan IGB Sugriwa. Tahap-tahapan terjemahan itu dilakukan mulai dari pemahaman terhadap aspek kosabasa (leksikal), lalu diikuti aspek kreta basa (gramatikal), basita paribasa (stilistika), dan basita mandala atau (konteks budaya) terjemahan yang dilakukan. Formula ini adalah tafsir penulis setelah membaca berulang-ulang karya sastra ini termasuk pula sempat menyalinnya dalam sebuah naskah lontar.
Memahami Kosabasa merupakan langkah pertama yang dilakukan IGB Sugriwa dalam menerjemahkan makna kosakata bahasa Jawa Kuno dalam bahasa Bali. Dengan wawasan dan kesabaran penuh, kata demi kata diberi perhatian yang sama. Kata sebagai satuan terkecil bahasa memang menanggung beban makna yang tidak tunggal. Maksudnya, kata-kata itu memiliki makna yang jamak. Di titik inilah penguasaan makna kata seorang IGB Sugriwa teruji. Kata tantra misalnya memiliki dua makna yaitu pemerintahan dan ajaran yang dipraktikkan. Dalam konteks rāmatantra, IGB Sugriwa memaknainya dengan pemerintahan Rama. Sedangkan dalam kompositum lain, kata Smaratantra dimaknai sebagai ajaran melakukan hubungan seksual atau pertemuan smara.
Memahami Kretabasa merupakan langkah lanjutan sebagaikemampuan terhadap tata bahasa atau gramatika, baik dalam bahasa Jawa Kuna maupun dalam bahasa Bali. IGB Sugriwa sangat rinci memperhatikan aspek tata bahasa itu sampai pada level penulisannya dalam aksara Bali. Hal tersebut dibuktikan ketika membahas mengenai penulisan kata jadian mākadi dan sakadi dalam bahasa Jawa Kuna yang mungkin sering salah diterjemahkan sesama rekan penerjemahnya. IGB Sugriwa menjelaskan bahwa kata makādi harus ditulis makādi (dengan a dirga pada suku kata kedua) sebab kata dasarnya adalah adi yang mendapatkan prefiks maka-. Dengan demikian makna kata makādi bermakna yang utama atau dalam bahasa Bali pingajeng atau makauttama. Sementara itu, kata sakadi bentuk dasarnya adalah kadi yang mendapatkan prefiks sa-. Oleh sebab itu, makna sakadi adalah seperti yang dalam aksara Bali tidak ditulis menggunakan a dirga. Kemampuan tata bahasa atau gramatika juga tampak ketika IGB Sugriwa menerjemahkan kata gosti dalam bait kakawin “arṣāmbĕk śrĩ narendra ng raghu suta kalawan sang maharṣi n pagoṣtya”. Kata “pagostya” dijelaskan berasal dari bentuk dasar “goṣṭi” yang artinya bicara, “magoṣṭi” artinya berbicara, “pagoṣṭya” artinya sesuatu yang dibicarakan. Dari berbagai perubahan bentuk dan implikasinya pada perubahan makna seperti yang dijelaskan IGB Sugriwa itu, kita tahu beliau memiliki kemampuan tata bahasa yang mumpuni.
Memahami Basita Paribasa merupakan langkah berikutnya yang sangat ditekankan oleh IGB Sugriwa dalam proses penerjemahan. Karya sastra memang seni bahasa yang menggunakan ungkapan atau kata-kata bersayap yang sulit ditangkap maknanya. Tak jarang pula antara yang dinyatakan dengan dimaksudkan dalam ungkapan-ungkapan itu tidak beririsan maknanya. Namun demikian, IGB Sugriwa tidak mudah terjebak pada gaya bahasa tersebut. Hal itu dapat dilihat ketika beliau menerjemahkan kata meru pada Kakawin Ramatantra. IGB Sugriwa menjelaskan bahwa meru dapat bermakna “gunung mahameru”, “Himalaya”, dan tempat suci yang bertumpang tumpang. Sedangkan ungkapa meru dandha tidak bermakna “tiang yang bagaikan gunung”, tetapi IGB Sugriwa menyatakan bahwa makna dari ungkatan tersebut adalah “tulang gigir” atau tulang punggung sebagai tempat cakra-cakra yang ada dalam tubuh manusia.
Basita Mandala atau konteks budaya karya sastra yang diterjemahkan merupakan pelengkap yang mesti dipahami oleh seorang penerjemah. IGB Sugriwa memahami betul konteks budaya yang melatarbelakangi karya sastra Kakawin Ramatantra. Dalam suatu fragmen ketika pertemuan Rama dengan seseorang yang tengah melakukan tapa brata bernama I Sambuka. Pengarang Kakawin Ramatantra megisahkan bahwa I Sambuka yang berasal dari kasta sudra melakukan tapa brata karena ingin menjadi dewa dan moksa tanpa jazad. Saat itulah, Rama menghunus pedang candrahasa lalu memotong kepala I Sambuka. Menerjemahkan fragmen ini, IGB Sugriwa dalam pidarta atau keterangan menyatakan sebagai berikut: i sambuka kabaos tan nganutin agama antukan turunan sudra nglaksanayang tapa, ngiwangin dharma. punika mawinan wenten babawos haywa nyambuka, hda nyambuka, hda nulad solhane i sambuka. Babaos nyambuka wantah wenten ring agama Hindhu Dharmma kewanten. Ring agama Hindu Bali nenten wenten nyambuka, antukan nenten wenten sudra, sami wnang nglaksanayang tapa, sami wnang dados pandita pinandita sakadi padanda resi, bhagawan, mpu, dukuh, sangguhu, pamangku, jro gede, prawayah, baliam, dalang. Dalam bahasa Indonesia IGB Sugriwa memberi keterangan bahwa “I Sambuka disebut tidak mengikuti agama karena turunan sudra melaksanakan tapa, melanggar dharma (kewajiban). Itulah sebabnya ada ungkapan jangan haywa nyambuka, hda nyambuka, hda nulad solhane i sambuka. Ungkapan nyambuka hanya ada dalam agama Hindu Dharma. Dalam agama Hindu Bali tidak ada nyambuka karena tidak ada sudra, semuanya boleh melaksanakan tapa, semuanya boleh menjadi pandita, pinandita seperti padanda resi, bhagawan, mpu, dukuh, sangguhu, pamangku, jro gede, prawayah, balian, dalang.
Apa sejatinya yang beliau sebut sebagai Hindu Bali sesungguhnya bisa ditelusuri dalam karya sastra Kakawin Ramatantra ini dengan cara mengikuti bagian pidarta yang beliau tulis. Akan tetapi, kita sisakan dulu topik itu sebagai pemantik tulisan berikutnya.
Wasana Wakya: Catatan Akhir Tanpa Titik
Demikianlah strategi IGB Sugriwa dalam mengalirkan jernih aliran sastra dengan terjemahan ke berbagai telaga zaman. Tahap-tahapan kosabasa, kerta basa, basita paribasa, dan basita mandala boleh jadi merupakan kekhasan terjemahan ala IGB Sugriwa. Proses yang dilakukan beliau itulah yang sejatinya disebut sebagi aktivitas mabebasan. Mabebasan dapat dimaknai sebagai usaha mengupas helai-demi helai lapisan bahasa untuk sampai pada rasa sastra. Tanpa proses yang matang dalam mabebasan, seseorang tidak akan sampai pada marerasan [ring wwang tan wruha ring subhāsita mapunggung mangraseng sad rasa].
Rasa adalah unsur halus dari air atau apah. Rasa dibedakan menjadi enam dengan sebutan sad rasa. Sad rasa sendiri terdiri atas rasa manis, pahit, asam, asin, pedas, dan sepat. Rasa karya sastra tidak akan didapatkan oleh seseorang tanpa mengupas berbagai lapisan bahasa tersebut. Sama seperti rasa asin yang tidak akan didapatkan seseorang tanpa memakannya secara langsung. Mengecap rasa sastra itulah tujuan tertinggi proses mabebasan. Jika orang yang mabebasan tidak sampai pada rasa sastra, ia tak ubahnya seperti seseorang setiap saat menjinjing susu dengan kendi. Padahal susu itu ada di atas kepalanya, tapi ia tak dapat rasakan manfaatnya untuk kesehatan tubuhnya sendiri. Rasa sastra itulah yang menjadi puncak pencarian dalam aktivitas mabebasan. Pada gilirannya rasa sastra itu pula yang akan dijadikan bekal untuk mencapai “pembebasan”.
Merenungi apa yang telah dilakukannya untuk peradaban batin Bali, kita merasa rugi tidak hidup sezaman dengan IGB Sugriwa. Akan tetapi, tentu akan lebih rugi lagi jika buku-buku yang beliau wariskan tidak sempat dibaca saat ini, baik sebagai makanan pikiran maupun nutrisi rohani!
* Catatan ini pernah disajikan dalam sebuah Seminar IGB Sugriwa yang dilaksanakan pada tanggal 25 Oktober tahun 2019. Bertempat di Aula Citta Kelangen, ISI Denpasar.
* IBG Agastia, salah satu murid yang meneruskan spirit IGB Sugriwa dalam lanskap bahasa dan sastra pernah bercerita, meskipun ketika itu Ia menjadi mahasiswa tunggal di Program Studi Sastra Bali, pembelajaran tetap dilaksanakan dengan penuh kedisiplinan dan etos belajar yang tinggi. Pembacaan terhadap Kakawin Nitisastra dilakukan dengan membaca kata demi kata karya sastra yang diyakini mengandung basis kepemimpinan ala Nusantara itu.
* Kepada Guru I Wayan Westa tulisan ini berhutang budi.