Banyak orang mengisi hari-harinya di tengah pandemi dengan kegiatan yang cenderung “malas”. Mereka yang tinggal di gunung seperti saya, menghabiskan waktu dengan memancing di sungai yang kebetulan deras sehabis hujan panjang. Sebagian yang bermukim di dataran rendah melewatkan sore di lsetiap tanah lapang dengan bermain layangan. Dan memang tak ada yang salah dengan itu, karena khitah kita sebagai manusia sebagai makhluk yang suka bermain, seperti orang Yunani bilang Homo Ludens.
Akhir pekan kemarin saya menyempatkan pulang menengok orang tua di kampung, di dataran selatan pulau Bali. Dan memang setiap sore langitnya dihiasi beraneka warna layang layang ditengah derasnya hembusan angin yang bersahabat. Iseng saya lewat bersama keponakan saya, yang tak ikut bermain bersama temannya.
“Putu, kenapa tak ikut bermain bersama teman temanmu ?” tanya saya menyelidik.
”Males, Paktut, saya tak suka permainan ini, lebih baik di rumah saja main HP lebih seru”. Jawaban pendek namun cukup mengusik ingatan saya.
Tak salah kalau dia tak suka permainan ini, karena kami sebagai pendahulunya pun begitu. Dia karena godaan teknologi, kami dulu karena didikan orang tua. Sebagai kaum perantau di daerah yang agak jauh dari tempat asal, orang tua menganggap kegiatan seperti ini hanya membuang buang waktu tanpa faedah yang jelas. Saya masih ingat jelas saat suatu sore bapak memarahi kakak saya yang datang dari memancing sambil mencincang habis kail bambu yang dibawanya.
Begitupun dengan bermain layang layang, kami mesti kucing kucingan dengan bapak biar tak diketahui sedang merakit sebuah layangan. Tapi beliau juga cukup sportif, kalau urusan permainan yang lain, kami dibebaskan. Jadi setiap sore kami bisa pergi ke lapangan untuk bermain sepak bola ataupun bulu tangkis. Jadi beliau menarik batas yang tegas, antara olahraga, dengan aktifitas yang dianggap main main tanpa tujuan.
Tapi hari itu saya tak ingin mengulangi kesalahan bapak yang lalu. Sesampainya di rumah saya memberi nasehat pada keponakan saya. “Putu, sekali waktu ikutlah temanmu bermain layangan, atau pergi memancing bersama pakyan mu, jangan sampai nanti setelajh besar kau menyesalinya, karena melewatkan hari hari indah itu, seperti kami, kedua pamanmu ini.“
Tak bisa dipungkiri banyak hal positif yang kita dapatkan dari berolahraga. Semangat, kerja keras, kerjasama dan jiwa sportif adalah sebagian diantaranya. Tapi kenyataan hidup membuktikan kita juga butuh kesabaran dan keberuntungan yang diajarkan oleh hobby memancing. Dan khusus untuk main layangan, imajinasi dan keberanian meletakkan impian di langit, saya rasa adalah poin utama yang bisa kita pelajari dari sana. Sambil mengenang bulan kelahiran bapak bangsa kita Bung Karno, tak ada salahnya kita mengingat petuah beliau, ”Gantungkan cita citamu setinggi langit, andaipun kau terjatuh, kau akan terdampar di hamparan awan biru”.
Dan memang layang layang bukanlah permainan yang hanya dimainkan disini, dia bersifat universal. Hampir di seluruh dunia permainan ini dilakukan. Salah satunya di Afganisthan, negeri para mullah. Negara yang tak lekang dilanda perang, baik karena serbuan pihak asing maupun diantara sesama anak bangsa mereka sendiri. Sebuah negeri dengan kaum fundamentalis yang tega menghancurkan warisan budaya maha agung, patung Budha terbesar di wilayah Bamiyan. Yang seharusnya masih bisa dinikmati anak cucu kita nanti. Hari ini hanya tinggal cerita, pengantar tidur kita.
Ada sebuah novel yang ditulis oleh seorang diaspora Afganisthan di Amerika yang sangat memikat berjudul Kite Runner. Disana diceritakan dengan indah tentang permainan ini, tradisi tahunan di musim berangin.Terlukiskan kegembiraan seorang anak saat bisa mendapatkan layangan yang putus sehabis pertarungan, dengan perjuangan keras dan penuh pengorbanan. Juga kebanggan orang tua saat layangan anaknya dapat menjadi pemenang dalam kompetisi antar layangan.
Sebuah penggambaran yang utuh dan memikat tentang sebuah permainan, yang sayangnya tak saya temukan tulisan serupa yang menggambarkan kemeriahan pestival ataupun lomba layang yang tak kalah megah di lapangan Padang galak Sanur misalnya. Dimana rombongan pengantar layang-layang biasanya cukup panjang dan memacetkan jalan yang dilewati.
Akhirnya memang sesuatu akan terasa lebih indah dan layak dikenang saat itu dituliskan, karena memang menulis sendiri adalah jalan keindahan, menuju keabadian.
Selain tentang layang layang, buku ini menurut saya juga sebuah penggambaran yang utuh tentang bangsa Afganisthan. Bangsa yang tak bisa dikalahkan oleh kekuatan adikuasa manapun. Uni Soviet dulu, dan Amerika beberapa tahun yang lau, meninggalkan negeri ini dengan muka tertunduk karena tak bisa menakklukkan rakyat Afganisthan. Sebuah negeri yang pluralis, dengan suku Pasthun sebagai mayoritas.
Ada kutipan menarik tentang puak ini ditulis, “saat kau dalam kesulitan, berbahagialah kau terlahir sebagai orang Pasthun, Semua temanmu pasti tak sampai hati untuk meninggalkanmu”. Bangsa yang setia kawan, mempunyai kesetiaan tinggi pada nilai nilai yang mereka yakini. Saat ada kematian seorang yang dihormati, mereka mengikat kepalanya dengan kain hitam selama beberapa hari sebagai tanda berduka cita. Tapi tetap ada pihak yang mesti dijadikan sasaran ketidak adilan .
Kaum minoritas Hazara menjadi pihak yang didiskriminasi dalam kehidupan sehari hari mereka, meskipun mereka satu keyakinan. Dan dari literatur lain yang saya baca, suku ini merupakan keturunan orang Mongol, ratusan tahun yang lalu menginvasi wilayah Asia ten gah termasuk Afganisthan. Jadi ada dendam turun temurun di alam bawah sadar suku lainnya bahwa orang Hazara adalah orang lain. Hampir sama dengan nasib sebuah suku di tanah air kita sendiri, yang kehadirannya dianggap belum sejajar dengan anak bangsa dari puak lainnya.
Apa yang perlu kita ambil hikmah dari cerita dari novel ini dan bisa kita jadikan cermin untuk kita bersatu sebagai suatu bangsa cukup banyak. Penyesalan dari tokoh yang terpaksa melarikan diri ke luar negeri karena situasi bangsanya yang dilanda perang tak berkesudahan. Kota Kabul yang indah dengan tradisinya yang menarik, seperti festival layangan tadi. Saat ini sudah kehilangan segalanya, sudah menjadi kota yang ditinggalkan.
Dan itu semua berawal dari perpecahan diantara anak bangsanya sendiri, yang sampai mengundang pihak asing untuk datang membantu.Yang ujungnya pasti mencari keuntungan atas situasi buruk yang dialami pemilik asli negeri itu. Situasi terakhir di perumit dengan hadirnya kelompok fundamentalis yang membawa kebenarannya sendiri, dan menafikan keberadaan orang lain yang dianggap tak sepaham dengan mereka. Lengkap sudah status Afganisthan, sebagai the sick man of middle Asia.
Kita bangsa Indonesia perlu bersyukur dan tetap bersyukur mempunyai elemen perekat sebagai sebuah bangsa. Meski terdengar klise, Pancasila tak terbantahkan adalah tali kuat yang menyatukan kita. Terlepas dari beberapa penyelewengan yang dilakukan beberapa pihak dengan mengatasnamakannnya.
Di bulan Juni ini bulan kelahiran Pancasila, kita semua bukan hanya pemerintah mesti mengejewantahkan kembali nilai nilai luhur Pancasila dalam kehidupan nyata sehari hari. Bukan hanya sebagai pemanis di bibir saja. Di tengah pandemi penyakit yang belum berkesudahan, para pemimpin muda yang tak amanah, dan wakil kita yang seperti tak punya nurani. Mari bersama kita simak sebait lagu dari iwan fals, terima sebagai sebuah kritik membangun, agar Pancasila bisa kembali Jaya.
Dan coba kau dengarkan
Pancasila itu bukanlah rumus kode buntut
Yang hanya berisi harapan
Yang hanya berisi khayalan