Musim layang-layang telah tiba, anak-anak lelaki menemukan dunia mereka yang telah hidup kembali. Dunia penuh rasa, yang merangkai angin, langit, bumi dan segenap sahabat. Dunia anak-anak, ringkasnya adalah dunia yang penuh gerak dan pengembaraan. Seperti layang-layang yang menjelajah angkasa, berdamai dengan angin yang mengantarkannya kian jauh melampaui gugusan awan, yang sedang bersantai menghangatkan diri dari sinar mentari yang selalu hangat.
Bukan masalah, akankah ia akan kembali ke bumi untuk esok mengangkasa lagi, ataukah lenyap oleh kekalahan dan jatuh ke bumi lain, dalam hutan yang sunyi atau ladang yang telah ditinggalkan penggarapnya. Namun tak selalu demikian, layang-layang putus mungkin lebih sering akan menjadi rebuatan yang selalu menggoda dan menantang. Anak-anak lelaki yang tak peduli rasa takut, melompati pagar rumah tetangga dan merelakan segala lututnya memar demi sebuah layang-layang putus, yang harganya tak lebih dari tiga ribu rupiah.
Sesuatu menjadi bernilai, saat kita menghargainya dan mendapatkannya dengan sebuah perjuangan. Tiga ribu rupiah yang bahkan tak bisa ditukar dengan sebungkus nasi tempe dan sambal, dalam wujudnya sebagai layang-layang putus dapat membuat kegemparan sekomplek perumahan warga. Karena ia telah memicu keributan, lantaran teriakan demi teriakan sekelompok anak-anak lelaki, pagar rumah yang penyok ditabrak, juga gonggongan anjing yang bingung tak karuan tak paham keadaan.
Sebuah layang-layang yang telah terseok-seok tak lagi punya arah akibat kekalahannya di angkasa, telah menjadi daya tarik yang tak terpikirkan. Dengan menakjubkan telah mengobarkan gelora semangat anak-anak lelaki menemukan kehidupan yang sebenarnya, yang telah membuat tegang segenap otot-otot tubuhnya dan memacu jantungnya memompa darah lebih giat. Sungguh, energi kehidupan riil yang bebas rekayasa dan perintah orang tua. Meski pada generasi yang lain, di kalangan orang dewasa, ini telah menimbulkan kejengkelan yang tak main-main. Mungkin karena terlampau lekas melupakan masa kanak-kanak dulu yang indah dan penuh energi.
Itulah yang juga sempat saya alami. Sudah lima hari ini wifi di rumah tak berfungsi, trouble. Saat teknisi providernya datang melakukan pemeriksaan, rupanya sebuah layang-layang nyangkut pada sirkuit kabel wifi yang menuju ke kediaman saya. Lima hari tanpa sambungan internet di masa pembatasan sosial ini, jelas merupakan urusan serius. Hampir emosi, namun bayangan masa anak-anak dulu, saat ikut berburu layang-layang putus, telah mendudukkan persoalan ini menjadi lebih baik buat saya. Pembatasan sosial, memang telah merebut kehidupan dunia anak-anak yang penuh gerak dan kebersamaan.
Maka wacana pelonggaran bertahap pembatasan sosial telah gayung bersambut dengan musim layang-layang yang telah tiba. Ya, ini klop, mirip seperti sajian hidangan hangat di saat kita lapar. Atau kekasih yang tiba-tiba muncul di depan rumah saat asmara dan rasa rindu sedang menggebu. Sebuah momen selalu memberi makna dramatis bagi manusia di dunia.
Namun kita memang sering kehilangan momen dan spirit kehidupan, yang sederhana dan sehari-hari. Hujan gerimis misalnya, hanyalah peristiwa sehari-hari yang biasa dan tak penting menjelang musim hujan. Kita lupa bertanya, di manakah rumah-rumah air yang sebentar lagi berdatangan dibawa hujan?
Hujan gerimis takkan pernah bernilai saat kita lupa memastikan rumah-rumah mereka adalah hutan-hutan yang telah kita babat. Sampai hujan deras mengguyur dan banjir datang lalu merebut rumah-rumah kita, desa dan kota kita, juga hidup kita, maka kita pun merindukan hujan gerimis yang bersahabat. Atau, hingga kini pun saya masih bisa mengingat, perasaan saya yang sering kesal lantaran disuruh berkeliling jualan es, meski itu setelah selesai bermain bersama teman-teman. Sekarang baru saya pahami, itu pun sebuah momen penting bagi masa kanak-kanak saya sebagai sebuah penghormatan terhadapa waktu penentu kehidupan ini.
Sikap abai dan tak suka menghargai hal-hal kecil pada akhirnya kelak membawa kita akan abai dan lalai menghargai hal-hal yang besar sekalipun. Maka, mari belajar dari layang-layang dan anak-anak kita. Layang-layang yang nilainya tak lebih dari tiga ribu rupiah, namun menjadi sedemikian berharga bagi anak-anak yang telah merasakan, betapa perjuangan itu begitu nikmat dan hangat. Ia menjaga kehidupan tetap sehat, pada setiap otot dan darahnya. [T]