Apa hubungan virus, masker dan minyak?
Sebenarnya tidak ada hubungan antara ketiganya. Hanya karena efek diam di rumah dan agak kurang kerja, saya mencoba menghubungkannya.
Semoga suasana sepi, memberi kita kesempatan untuk mengamati, merenung dan berpikir, tentang apa bagaimana dan dimana posisi dan bagaimana mengharmoniskan virus corona yang menjadi hit belakangan ini.
Pandemi atau wabah jaman dahulu disebut dengan istilah grubug. Dalam kebiasaan penyebutan yang saya kenal, hewan terutama jenis unggas yang ada di sekitar manusia yang sakit disebut kena sasab, mungkin sama dengan sakit, dan kalau hewan mati termasuk juga manusia yang mati secara serentak dalam jumlah besar disebut grubug mungkin maksudnya sama dengan wabah atau pandemi.
Tetapi apapun istilahnya yang jelas maksudnya adalah bahwa ada saatnya mahluk hidup yang bisa kita lihat mengalami sakit (tidak harmonis), baik secara sendiri-sendiri maupun massal. Dalam hal ini tentu ada yang menjadi penyebab kenapa mahluk hidup yang kita lihat tersebut menjadi sakit (tidak harmonis) bisa disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Faktor eksternal inilah dalam tradisi Hindu Bali juga disebut bhuta.
Istilah bhuta atau gelap atau tak terlihat ini dianggap mahluk hidup, yang memiliki jiwa dan raga tetapi raganya tak bisa dilihat oleh mata manusia biasa. Mahluk yang berjiwa raga ini tak terlihat tetapi ada dalam waktu, mungkin itu sebabnya leluhur kita menyebutnya sebagai Bhuta Kala.
Jadi leluhur kita mengajarkan, bahwa walaupun kita tak bisa melihat “sesuatu itu” bukan berarti ” sesuatu itu” tidak ada. Contohnya adalah bau, kita tak pernah melihatnya, tetapi setelah mencari-cari sumbernya barulah kita tahu bahwa ada sesuatu mungkin bangkai tikus yang menyebarkan bau busuk atau setangkai bunga melati yang menyebarkan bau harum. Tetapi cobalah ditelisik lagi dan lagi, maka sumber yang sesungguhnya dari bau itu tidak bisa kita lihat dengan mata biasa, tetapi “sesuatu itu” ada.
Dalam filsafat samkhya yoga yang menjelaskan tentang penciptaan dan peleburan atau tranformasi energi. Semua mahluk hidup dikatakan berasal dari purusha (spirit) dan prakrti (material halus). Pada proses tranformasi energi tercipta mahluk-mahluk yang sangat halus, yang terdiri dari spirit dan material yang halus, material tanah, air, udara maupun api. Juga tercipta panca indria dan panca karnendria sebagai alat komunikasi.
Sayangnya sepuluh indria ini terbiasa kita pakai hanya untuk berkomunikasi dengan jiwa dan raga dalam ukuran yang besar, sehingga lalai berkomunikasi dengan mahluk yang berukuran kecil. Mata kita hanya tertarik melihat sesuatu yang besar dan indah, seperti melihat anjing yang cantik dan lucu, tanpa hirau pada semut terinjak oleh kaki kita.
Sudah lama kita lupa berkomunikasi dengan sesuatu yang “kecil”. Dasa indria kita mungkin juga sudah lupa bagaima caranya berkomunikasi dengan mahluk itu, sampai saat kita terperangah dengan kemunculan mahluk kecil sangat kecil yang disebut virus corona.
Dalam tradisi Hindu di Bali, selain menghargai sesama manusia, kita juga diajarkan untuk menghargai mahluk lain dan alam yang diimplementasikan dengan upacara Bhuta Yadnya Salah satunya adalah banten caru.
Dalam gelaran upacara bhuta yadnya berupa caru ini, leluhur kita memakai sarana berbagai kulit atau daging binatang, darah, nasi, minuman berfermentasi bahkan dalam beberapa tradisi juga ada persembahan berupa tahi ayam dan lain-lain yang pastilah akan menjadi tempat yang baik bagi perkembangbiakan bakteri, virus dan lain-lain. Tetapi caru dengan berbagai persembahan berbau busuk itu akan diletakan di bawah, dekat dengan, yang pada akhirnya akan ditanam di tanah atau dilarung ke laut/sungai yang mengalir.
Ada dua yang dipakai untuk mengharmoniskan “sesuatu” yang berbau busuk dalam caru, yaitu tanah dan air yang bergerak/mengandung panas dan air garam/laut yang juga mengandung panas. Tempat upacara juga tidak sampai berbau busuk karena selalu dipenuhi dengan asap dupa, dan bunga-bunga yang berbau wangi. Penggunaan sesuatu yang berbau wangi, untuk menetralisir bau busuk yang karat mata biasa dilakukan oleh leluhur kita.
Hal lain yang berkaitan dengan bau wangi juga dipraktekkan oleh para pemangku-pemangku di Bali dengan mengolesi tengkuk, kedua kening dan tekak tenggorokannya dengan bau harum, agar tak dimasuki oleh mahluk-mahluk halus yang lebih kasar. Dalam hal ini, selain ukurannya, tingkat kekasaran mahluk juga ditentukan oleh kualitas penyusun tubuhnya, yang dominan pertiwi/ tanah paling berat, yang lebih ringan yang dominan air, diikuti oleh yang dominan api dan yang terakhir adalah yang dominan udara.
Bakteri dan virus adalah mahluk yang tubuhnya dominan air yang merupakan transformati mahluk hidup yang mati/bangkai. Ia ada pada sesuatu yang berbau busuk. Ia nyaris sama dengan bau busuk itu sendiri.
Dalam ilmu perpupukan, MOUL atau bakteri dan virus bisa diciptakan dengan mencampurkan bakteri pada nasi basi, daging, buah atau sayur busuk, yang diberi gula dan asam, maka minyak akan menggagalkan transformasi energi ini. Dan bau harum dari bahan alami juga akan mampun menghalangi perpindahan mahluk ini. Karena bau harum adalah percampuran air dan panas, merupakan sesuatu yang lebih halus dari bau busuk. Jadi mungkin bisa untuk menyaring udara yang mengandung material lebih dan air,, tetapi masker yang hangat dan berbau harum alami akan mampu menghalangi mahluk yang lebih kasar salah satunya bakteri dan virus.
Bau harum dan panas bisa kita dapatkan dari bahan-bahan alami di luar diri kita dan kehangatan juga bau harum bisa kita dapatkan dari semangat ketulusan dan kegembiraan dari dalam hati kita. Salam. [T]