Tempo lalu, di tengah merebaknya kasus Covid-19 lengkap dengan segala kekhawatiran banyak orang, saya keluar rumah untuk membeli hand sanitizer tentu saja untuk perlindungan pertama dan pencegahan tertular virus yang menakutkan itu. Selain itu saya juga sambil mencari sebuah masker wajah di salah satu swalayan, alat kecantikan, dan kebutuhan lainnya.
Saya keluar bagaikan vampir yang takut akan terkena sinar matahari. Berbalut pakaian panjang menutupi tangan dan celana jins panjang untuk menutupi kaki guna melindungi diri saat keluar rumah. Kebetulan di hari itu juga jerawat di wajah sedang mekar-mekarnya dikarenakan hormon yang melonjak tinggi. Alhasil sebagai obatnya saya bergegas untuk membeli sebuah masker wajah dengan berharap setelah menggunakannya wajah ini tidak timbul jerawat lagi.
Pada saat di swalayan mencari-cari apa yang saya butuhkan, terdapat dua remaja yang sedang kebingungan memilih skincare apa yang cocok untuk kulit mereka. Saya jadi ingat semasa remaja saya, saya tidak tau apa itu skincare. Berbeda dengan remaja sekarang. Ya begitulah perubahan selalu dinamis. Dua remaja ini membeli skincare tentu dengan maksud dan tujuan untuk menunjang penampilan dan menjadi cantik dikalangan mereka.
Yup, kata cantik merupakan kata yang sangat problematis untuk perempuan sendiri.
Cantik merupakan sebuah kata pujian yang diidam-idamkan oleh seluruh perempuan di muka bumi ini, tak terkecuali saya. Perempuan bisa melayang ke langit ke-7 tanpa ingin turun lagi ke bumi apabila ada orang di sekitarnya yang memujinya dengan kata “cantik”.
Cantik bagaikan candu di mata perempuan, semua perempuan berlomba-lomba mengejar kata cantik dan mengikuti standar kecantikan yang dibuat oleh kapitaslis alias iklan. Mulai dari cantik itu harus kulit putih, rambut panjang hitam lurus, body bak gitar spanyol, wajah mulus nan glowing, kaki jenjang, pakai rok, sepatu high heelsatau berhak tinggi dan standar kecantikan yang lainnya.
Fenomena ini dikuatkan dengan hasil survei ZAP Beauty Index tahun 2018, sebanyak 73.1 persen perempuan Indonesia menganggap cantik adalah memiliki kulit yang bersih, cerah, dan glowing. Keterkaitan persepsi kecantikan dengan definisi putih, yaitu: putih dianggap sebagai ras yang superior, dan karena itu dinormalkan dan diidealkan.
Putih adalah hal yang signifikan, bukan saja dalam kategori sebagai ras saja, melainkan juga dalam definisi dan konstruksi kecantikan, femininitas, seksualitas, dan domestisitas perempuan. Terlebih, bukan laki-laki yang mempelopori hegemoni ini, tetapi kaum perempuan sendirilah yang sesungguhnya melabeli diri sampai melabeli perempuan lain. Dan tentu para perempuan ingin memiliki semua standar kecantikan ini dalam diri nya sampai mereka lupa bahwa kita semua hanyalah manusia biasa bukan juga dewa yang jauh dari kata sempurna.
Menunjang standar kecantikan saat ini brand make upbertebaran, beauty vloggersbanyak memberikan tutorial cara ber-make-upgaya ini dan itu, baju-baju fashionable dijual dengan harga yang murah menarik minat pembeli. Salon-salon kecantikan pun bertebaran, menawarkan harga promo, dengan begitu visi misi untuk membuat wanita selalu tampil cantik dan salonnya mendapatkan profit, bisa tercapai.
Akibat standar kecantikan perempuan di-paksa untuk mengikuti standar ini demi lebelitas “cantik” dan pada akhirnya segala cara dilakukan, dari segala jenis produk pemutih, tindakan operasi, hingga memaksakan warna yang tidak cocok dengan kami dalam make-up. Tidak terhitung berapa banyaknya tenaga, waktu dan uang yang dihamburkan untuk mencapai standar cantik. Tidak itu saja, perempuan pun kini rata-rata menjaga berat badannya atau melangsingkan tubuh di pusat kebugaran setempat. Inilah bukti nyata bahwa cantik fisik itu lebih penting dari pada cantik hati atau inner beauty. Cantik memang multitafsir. Tapi sayang, ia terpengaruh oleh media iklan.
Nyatanya, di lingkungan kita perempuan Indonesia masih kurang percaya diri akan dirinya sendiri. Hal ini tentu didasari oleh faktor standar kecantikan yang dibuat oleh para kapitalis tadi. Padahal seperti yang kita ketahui bersama, bahwa Indonesia merupakan negara multicultural dan heterogen.
Di Indonesia terdapat berbagai macam suku bangsa, agama, adat istiadat, golongan, tak terkecuali etnis dan ras. Perempuan di Indonesia tak hanya terlahir dengan kulit putih, tetapi ada juga yang terlahir dengan kulit sawo matang, kulit kuning langsat, kulit hitam, coklat dan sebagainya. standar kecantikan yang selama ini ada selalu menjadi momok yang mendegradasi jati diri dan menggerus rasa percaya diri perempuan Indonesia.
Tidak sedikit perempuan menilai dirinya tidak cantik karena berkulit gelap atau cokelat. Tidak sedikit perempuan menilai dirinya jelek karena memiliki rambut ikal dan keriting. Tidak sedikit perempuan merendahkan diri karena memiliki tubuh yang gemuk dan tidak langsing. Tidak sedikit perempuan yang kurang pede apabila tidak menggunakan heels.
Maka dengan menjamurnya standar kecantikan yang keliru ini mengakibatkan kata “cantik” itu mendapat predikat cantik itu luka. Cantik itu memaksa. Memaksa mu untuk mengikuti standar kecantikan, apabila kamu tak mengikutinya kamu tidak ada mendapatkan kata “cantik” itu.
Saya pernah mengikuti ajang yang memberikan sebuah pengalaman membekas mengenai standar kecantikan sampai saat ini. Saya pernah mengikuti sebuah ajang kecantikan yang menonjolkan 3B (Beauty, Behavior, Brain). Pada saat mengikuti ajang ini saya kurang pede(Percaya Diri) akan diri saya, karena jika dilihat-lihat saya jauh kata dari perempuan yang pantas masuk ajang kecantikan. Bukannya tanpa alasan, saya tidak percaya diri karena saya belumnya berpenampilan “dekil” alias buluk atau kusam. Ya, tentu jauh dari standar kecantikan.
Tapi jika dilihat ajang ini juga memperlihatkan Behavior dan Brains. Selain itu terdapat dorongan keras dari kakak saya untuk mengikuti ajang ini padahal saya sudah pesimis karena kurang merasa percaya diri. Namun pada akhirnya saya termakan bujuk rayunya dan akhirnya saya ikut. Dan saya pun mendaftar dan saya lolos. Saya masuk sebagai kandidat finalis didalamnya. Maka setelah menjadi finalis saya harus menjalani karantina kurang lebih 5-7 hari. Kami dibekali berbagai keterampilan untuk menunjang diri nantinya di atas panggung.
Pada saat karantina terdapat hal terberat yang pernah saya lalui yaitu menggunakan heels atau sepatu/sandal dengan tinggi minimal 13cm-18cm. Tentu untuk perempuan buluk seperti saya merupakan sebuah tantangan berat karena sebelumnya saya jarang dan bisa dikatakan belum pernah menggunakan heels setinggi itu. Menggunakan heels adalah sebuah standar kecantikan yang dibuat selain kulit putih. Mau tidak mau saya harus mengikutinya dalam menjalani fase karantina ini.
Awal karantina saya sering terjatuh karena heels tinggi itu sampai kaki saya bengkak dan sampai rumah saya harus merendam kaki saya dengan air garam agar otot – otot kembali pulih pasca tegang menggunakan heels. Saya berlatih setiap hari demi mendapatkan hasil yang maksimal.
Pada saat perkuliahan di saat waktu senggang saya sedikit berkeluh kesah dengan salah satu dosen saya mengenai penggunaan heels ini. Dan dosen saya menanggapinya dengan nada bercanda; dan ia berkata “yang membuatmu cantik bukanlah heels itu tapi rasa percaya diri, mencintai dirimu sendiri dan hatimu. Semua orang akan bisa menilainya dan yang terpenting cantik itu bukan soal fisik melainkan hati dan kualitas intelektualmu”.
Mulai saat itu pikiran saya mulai tercerahkan bagaikan sinar matahari setelah hujan mengenai apa itu cantik. Saya mulai untuk percaya diri dan lebih mencintai diri saya sendiri karena cantik itu ada ketika kita bisa menghargai diri kita sendiri.
Cantik nggak hanya diukur dari level putih dan seberapa miripnya dengan model di majalah. Ada banyak tolak ukur bagaimana menilai cantiknya perempuan. Bisa tentang bagaimana ia menampilkan diri, bagaimana ia merasa nyaman dengan kulitnya sendiri, atau dengan pemikiran-pemikirannya yang bijaksana. Jadi para perempuan Indonesia sudah bukan saatnya lagi ada rasa tidak percaya diri akan dirimu sendiri.
Sudah saatnya kita bersyukur akan rahmat Tuhan dan pemberian dari-Nya. Saatnya kita menghargai diri kita sendiri. Seperti yang dikatakan oleh Rolene Strauss Miss World 2014 menurutnya Cantik adalah ketika seseorang menjadi dirinya sendiri dan bagaimana cantik itu terpancar dari dalam diri seseorang.
Selain itu hal serupa juga di katakana oleh Miss World 2019 yang baru saja terpilih yaitu perempuan yang berasal dari Afrika Selatan; Zozibini Tunzi. Zozibini adalah perempuan berkulit hitam pertama yang memenangi kontes Miss Universe sejak Leila Lopes pada 2011. Ia merupakan penyokong kecantikan alami. Walau ia lahir dengan kulit hitam dan rambut keriting, namun ia tetap mencintai dirinya dan menghargai dirinya. Menurutnya cantik ketika kamu bisa mencintai dirimu dan bersyukur akan anugrah tuhan.
Definisi cantik bukan hanya soal fisik wahai para perempuan se-Indonesia terkhusus untuk para pembaca tulisan ini. Cantik itu ketika setiap perempuan bisa menghargai dirinya sendiri, ketika dia bisa mencintai dirinya sendiri, dan percaya akan dirinya sendiri. Rambut keriting, kulit hitam dan tubuh gemuk pun mereka tetap cantik semasih mereka perempuan. Jangan korbankan dirimu untuk mengikuti standar kecantikan, Tuhan menganugrahkan setiap manusia dengan keunikannya masing-masing. Dan saya yakin setiap perempuan terlahir cantik dengan cara masing-masing. Mereka cantik dengan hatinya yang tulus. Mereka cantik dengan kulitnya yang gelap. Dan mereka cantik dengan tubuhnya yang gemuk. Semua perempuan cantik dengan jalannya masing-masing.
Just be your self girls, kamu gak perlu putih untuk cantik, gak perlu langsing untuk jadi cantik. Kamu cantik dengan caramu. Kamu hebat dan luar biasa. [T]