Menjelang Hari Raya Galungan dan Kuningan di Bali, di jalan-jalan, baik jalan besar atau jalan kecil, baik di pedesaan atau pun pusat kota, akan nampak anak-anak berkeliling sambil mengarak barong bangkung, sebuah barong berbentuk babi berwarna gelap, lengkap dengan iring-iringan seperangkat gamelan sederhana. Di sepanjang jalan, masyarakat sudah menunggu kedatangan mereka dengan sangat antusias tatkala mendengar suara gamelan yang dimainkan. Anak-anak itu akan berhenti di suatu titik, kemudian menarikan barong bangkung yang mereka arak, menunjukan atraksi yang mereka siapkan. Setelah itu, masyarakat akan memberi upah, bisa uang, bisa juga bukan uang, seperti permen, jajanan khas bali, atau cemilan lainnya.
Itulah tradisi ngelawang, tradisi yang hanya dilakukan 6 bulan sekali, tradisi milik masyarakat Bali yang katanya sudah ada sejak lama. Sebenarnya tak hanya barong bangkung saja yang bisa digunakan untuk ngelawang, jenis-jenis barong lainnya pun sering dipentaskan, seperti barong ket atau barong macan, namun barong bangkung memang yang paling sering dipentaskan untuk ngelawang. Saat ini, banyak yang mengaggap tradisi ngelawang menjadi tradisi yang sangat unik dan menarik, karena dapat menjadi hiburan untuk disaksikan, baik bagi masyarakat setempat, ataupun bagi wisatawan yang kebetulan sedang melancong di Bali. “Yah, tradisi orang Bali memang sangat unik,” begitu kira-kira kata mereka.
Namun ternyata, bukan hanya orang Bali saja yang memiliki tradisi ngelawang. Jika diperhatikan, ada tradisi serupa yang dilakukan di beberapa pusat keramaian, seperti di vihara, klenteng, dan sebagainya. Tradisi yang dilakukan sama-sama unik dan manarik, sama-sama dapat menghibur masyarakat dengan tarian dan atraksi yang disiapkan, pun sama-sama dilengkapi dengan seperangkat gamelan. Bedanya barong yang digunakan bukanlah barong berbentuk babi, tapi berbentuk singa. Warnanya pun bervariasi, ada hitam, ada putih, ada hijau, kuning juga ada, merah apalagi, sudah pasti ada, karena warna merah identik dengan hari raya yang akan disambutnya.
Ya, itulah barongsai, tradisi ngelawang ala masyarakat etnis Tionghoa yang dilakukan di berbagai acara penting, seperti pembukaan restoran, pendirian klenteng, dan tentu saja saat Tahun Baru Imlek. Sejatinya sekali, masyarakat etnis Tionghoa menyebutnya hanya sebagai tarian barongsai saja, atau tarian singa oleh masyarakat etnis Tionghoa di negara-negara lain. Namun di Bali, tarian barongsai tentu dapat dikatakan sebagai tradisi ngelawang versi cina, karena antara tradisi ngelawang orang bali dan tarian barongsai memiliki beberapa persamaan. Tradisi ngelawang versi Bali biasanya dilakukan di jalan-jalan.
Mereka akan mengarak barong mengelilingi daerah tempat mereka tinggal, masuk dari satu pintu ke pintu lainnya, kemudian menerima upah dari masyarakat, baik uang ataupun jajanan. Tradisi ngelawang versi Cina juga dilakukan di jalan. Hanya saja ngelawang bagi mereka lebih dikenal dengan kirab, seperti yang dilakukan oleh warga Banjar Dharmasraya Semadhi yang menjadi umat di Vihara Dharmayana Kuta.
Dari tahun ke tahun, mereka menggelar pawai atau kirab barongsai dimulai dari Jalan Blambangan menuju Jalan Kalianget, dan Jalaan Raya Kuta serta arah sebaliknya. Di sanalah, masyarakat setempat juga akan memberi angpao, bahkan ada pula pedagang-pedagang yang menggantung angponya di depan toko mereka, dengan harapan akan lebih banyak rezeki yang datang. Di samping sama-sama dilakukan dari di jalan, dari satu tempat ke tempat lainnya, masih ada beberapa persamaan yang dimiliki oleh tradisi ngelawang dan tarian barongsai.
Keduanya Sama-Sama Diyakini Dapat Menolak Bala
Di samping sebagai perayaan atas kemenangan dharma (kebaikan) melawan adharma (kebatilan), jika dilihat dari segi makna, tradisi ngelawang dan tarian barongsai dapat dikatakan sama karena keduanya dipercaya dan diyakini dapat menolak bala, mengusir roh-roh jahat, dan menghapus pengaruh-pengaruh negatif, serta aura-aura buruk lainnya yang dapat menganggu hidup dan kehidupan manusia.
Bahkan, kata orang-orang bijak, tradisi ngelawang dan tarian barongsai juga dapat memotivasi manusia untuk lebih peduli terhadap lingkungan, sehingga mereka bisa menjaga kebersihan dan alam sekitar, seperti menjaga keberadaan hutan, sehingga tidak ada satu pun perkara tersebarnya berbagai wabah penyakit atau perkara terjadinya banjir yang cukup merugikan. Ngelawang adalah melanglang lingkungan. Makna tolak bala dari kedua tradisi tersebut berasal dari mitologi yang diyakini masing-masing oleh orang Bali dan orang etnis Tionghoa.
Mitologi Orang Bali
Tradisi ngelawang menurut orang Bali didasari pada mitologi Dewi Ulun Danu yang diceritakan pernah menjelma menjadi seorang raksasa yang kemudian membantu umat manusia mengusir roh-roh jahat yang ada di dunia. Mitologi lain yang berkaitan dengan tradisi ngelawang adalah Siwa Tatwa. Konon, di zaman dahulu, setiap hari terjadi bencana dan musibah yang menyebabkan dunia gonjang-ganjing dan penuh kehancuran. Melihat dunia sedang berada dalam keadaan yang tidak baik, Sang Hyang Siwa bersedih, kemudian memikirkan cara untuk kembali menciptakan kedamaian dan mengembalikan ketenangan dunia seperi sedia kala.
Kemudian, diutuslah para dewata untuk turun ke dunia. Masing-masing berperan sebagai penari, penabuh, dalang, dan sebagainya untuk menghibur manusia. Dunia pun kembali tenang dan damai saat semua manusia berbahagia dan terhibur oleh kesenian yang ditampilkan para dewata. Mitologi Siwa Tatwa tersebut juga dikaitkan erat dengan tolak bala dalam legenda hancurnya keangkaramurkaan Mayadanawa yang menjadi awal mula adanya Hari Raya Galungan dan Kuningan di Bali.
Mitologi Orang Cina
Sementara itu, tarian barongsai didasari oleh beberapa versi, namun Nian atau monster menjadi versi yang paling populer di kalangan masyarakat etnis Tionghoa di belahan dunia manapun. Dikisahkan, pada masa Dinasti Qing berdiri, di sebuah wilayah di negeri Tiongkok, ada seekor monster atau Nian yang selalu muncul di hari pertama tahun baru. Moster tersebut sangat merugikan masyarakat karena selalu menganggu kehidupan mereka, memakan semua ternak yang ada, sampai hasil pertanian juga dilahap habis. Bahkan, monster tersebut katanya juga suka memakan manusia, terutama anak-anak.
Akibatnya, masyarakat berada dalam keresahan dan ketakutan. Sampai pada suatu hari, muncul singa yang menghalangi monster tersebut. Alhasil, monster itu kalah dan lari tunggang langgang meninggalkan desa. Saat semua masyarakat sudah merasa aman, singa itu pergi entah ke mana. Namun siapa sangka, monster yang meresahkan itu kembali karena sakit hati dan berniat balas dendam. Masyarakat yang tidak tahu keberadaan singa yang pernah menolong mereka dulu akhirnya menciptakan kostum menyerupai singa tersebut. Sekali lagi, monster itu lari tunggang langgang karena ketakutan. Itulah yang kemudian menjadi alasan mengapa tarian barongsai kerap dijumpai menjelang Tahun Baru Imlek.
Karena diyakini dapat menolak bala, tak jarang tradisi ngelawang dan tarian barongsai dilakukan di lokasi-lokasi strategis, seperti tradisi ngelawang yang kerap berkeliling desa, masing dari satu pintu satu ke pintu lainnya, menyususri jalan-jalan di desa baik jalan besar atau pun jalan kecil. Sementara tari barongsai dapat dijumpai di klenteng dan vihara, atau lokasi-lokasi lain yang perlu dipentaskan tarian barongsai, seperti saat menjelang tahun Baru Imlek di bulan Februari tahun 2019 kemarin, tarian barongsai dipentaskan di tengah-tengah Pasar Badung (Eks Tiara Grosir) Denpasar yang kabarnya dulu adalah kuburan cina, sehingga dirasa perlu adanya pementasan tarian barongsai yang diharapkan dapat memberi keselamatan dan menetralisir aura-aura negatif yang ada.
Tarian barongsaii di Pasar Badung tersebut tentu saja menarik, karena tak hanya dirayakan oleh masyarakat etnis Tionghoa saja, namun juga oleh para pedagang dari seluruh agama yang ada, baik Hindu, Kristen, ataupun Islam. Bahkan, para pedagang tersebut juga ikut mengahaturkan sesajen berupa buah-buahan, makanan, dan minuman. Mereka juga memohon berkah dan rezeki dengan memberi angpao kepada para penari barongsai saat barongsai tersebut ditarikan mengelilingi los dan kios dagangan mereka. Harapannya, rezeki mereka akan dimudahkan dan dilipatgandakan.
Keduanya Sama-Sama Sakral dan Magis
Tradisi ngelawang dan tarian barongsai bisa dikatakan merupakan tradisi yang sakral, karena berangkat dari mitologi dan filosofi dewa-dewi serta hal-hal gaib lainnya. Namun, bukan itu saja yang menjadikan tradisi ngelawang dan tarian barongsai sakral. Keduanya selalu dihubungkan dengan kekuatan dan kesaktian magis. Keduanya pula diyakini sebagai jembatan yang dapat menghubungkan manusia dengan alam supranatural.
Kesakralan Tradisi Ngelawang
Pada awalnya, tradisi ngelawang dikategorikan sebagai sebuah tindakan keagamaan yang bersifat seremonial dan tertata, sakral dan magis. Biasanya, barong, rangda, serta benda-benda keramat lainnya diusung ke luar areal pura, di jalan-jalan, diusung mengelilingi lingkungan desa atau banjar setempat. Benda-benda keramat tersebut tentu digolongkan sebagai benda yang memiliki tingkat kesucian yang tinggi, yang telah melewati tahap sakralisasi untuk menghapus noda-noda atau leteh yang ada pada bahan-bahan pembuatannya, sampai ritual menempatkan kekuatan gaib yang meminta sendiri untuk berdiam di dalam benda-benda keramat tersebut. Hal tersebut tentu menambah kesakralan tradisi ngelawang yang ada di Bali. Pengusungan benda-benda keramat keliling desa secara niskala diyakini sebagai perlindungan bagi seluruh masyarakat desa setempat dan diibaratkan sebagai pembersihan terhadap segala energi-energi kotor yang ada di sekitaran desa dan di sekitaran masyarakat.
Contoh nglawang sakral tersebut dapat ditemui di Desa Pekraman Banjar Serokadan, Susut, Bangli. Setiap hari raya Kuningan, masyarakat adat di sana rutin menggelar Ngelawang Agung, atau disebut juga Barong Nguya yang mengusung seluruh duwe desa berupa 8 barong yang disakralkan. Di sana, ada duwe yang dipercaya berusia lebih dari 1000 tahun. Karena dianggap sangat sangkral, apabila ada bulu-bulu barong yang jatuh tercecer, maka warga akan memungutnya, menyimpannya, kemudiannya menjadikannya sebagai obat mujarab, jimat atau benda bertuah lainnya.
Kesakralan Tarian Barongsai
Tarian barongsai juga dianggap sakral karena memiliki kekuatan magis, namun kesrakralannya juga diperkuat oleh makna-makna yang terkandung dalam barongsai itu sendiri. Barongsai menjadi sakral karena sarat akan makna. Warna-warni pada kostum barongsai memiliki makna yang berbeda-beda. Warna kuning melambangkan bumi (pusat), hitam melambangkan air (utara), hijau melambangkan kayu (timur), merah melambangkan api (selatan), dan putih melambangkan logam (barat). Di bagian kepala sang barongsai, tanduk menjadi lambang kehidupan dan regenerasi, yang juga melambangkan unsur perempuan. Telinga dan ekor menjadi simbol kebijaksaaan dan keberuntungan. Tulang belakangnya yang mirip ular menggambarkan pesona dan kekayaan. Dahi dan jenggotnya yang menyerupai naga mewakili kekuatan, kepemimpian, dan juga unsur laki-laki. Terakhir, punuk belakang pada punggung Barongsai menyerupai kura-kura menjadi simbol panjang umur dan umur panjang.
Sebelum tarian barongsai dipentaskan, ada beberapa rangkaian ritual yang harus dilewati. Barongsai yang akan ditampilakn pertama-tama diletakan di atas altar, lengkap dengan sesajen berupa buah-buahan. Di Bali, tak jarang masyarakat etnis Tionghoa juga menggunakan banten dan sebagainya. Melalui ritual ini, diharapkan pertunjukan dan pementasan barongsai akan berjalan lancar tanpa halangan apapun. Para pemain barongsai juga harus melaksanakan ritual agar para dewa datang menyaksikan atraksi mereka dan memberkahi mereka dengan kekuatan dan keselamatan. Para pemain harus sembahyang sebelum atraksi dimulai, kemudian kertas yang bertintakan darah dari upacara potong lidah ditempelkan pada kepala sang barongsai oleh pemangku ritual yang terlebih dahulu sudah dirasuki roh leluhur. Pentingnya ritual-ritual yang harus dilewati sebelum pementasan barongsai menjadikan perkumpulan-perkumpulan barongsai berada di bawah naungan klenteng.
Ada banyak barongsai sakral yang dapat ditemui di Bali, seperti di Vihara Dharmayana Kuta, ada barongsai sakral yang dibuat dan didatangkan dari Semarang, Jawa Tengah, sejak tahun 2002, saat tradisi, kebudayaan, dan masyarakat etnis Tionghoa sudah mendapat hak yang sama di depan publik. Di teras vihara sebelah kiri jika posisinya dilihat dari depan vihara, terdapat sebuah lemari kaca dengan tinggi kurang lebih 1 meter dan bertengger di atas meja besar. Di dalam sana, barongsai sakral tersebut di simpan. Dupa-dupa bekas sembahyang juga dapat dilihat di depan lemari kaca tersebut.
Barongsai sakral tersebut tidak bisa sembarang dimainkan. Jika tidak ada upacara keagamaan, maka barongsai sakral tersebut tidak akan dikeluarkan. Sang barongsai akan tetap disimpan di dalam lemari. Uniknya, barongsai sakral tersebut juga mendapat perlakuan khusus. Sehari-hari, umat setempat melakukan pemujaan dan persembahyangan, itulah mengapa disediakan tempat dupa di depan lemari penyimpanan barongsai sakral tersebut. Saat hari besar keagamaan, mereka akan menghaturkan sesajen, baik banten maupun buah-buahan saat upacara keagamaan, seperti Tahun Baru Imlek atau Cap Gomeh.
Kilin, Hewan Rekaan Tersakral dalam Budaya Tionghoa
Di Indonesia, ada juga barongsai sakral dan langka yang memiliki perlakuan amat spesial, yaitu Barongsai Kilin, hewan rekaan jenis barong yang menduduki kasta tertinggi di dalam kebudayaan Tionghoa. Satu-satunya perguruan di Indonesia yang masih melestarikan Barongsai Kilin dengan segala ritual budayanya adalah Perguruan Gerak Badan (PGB) Bangau Putih, Bogor. Keistimewaan Kilin ini berawal dari keyakinan orang-orang Cina bahwa Kilin adalah tunggangan para dewa-dewi, keluarnya pun tidak bisa sembarangan. Hanya saat upacara keagamaan saja. Itupun jika para dewa dan roh-roh leluhur mengkehendakinya.
Dilihat dari perawakannya, Barongsai Kilin memiliki ukuran yang relatif sama seperti barongsai pada umumnya, namun Barongsai Kilin berwarna hijau, memiliki bulu yang lebih sedikit, terlihat dari sisik dan kepalanya yang minim bulu. Perawaknnya lebih dominan sebagai seekor naga ketimbang barongsai karena memiliki tanduk di kepalanya dan juga jenggot yang panjang.
Karena kedudukannya yang istimewa, para pemain juga memerlukan keterampilan khusus. Pasalnya, Kilin merupakan perwujudan 13 unsur hewan yang berbeda. seperti tanduk rusa menjangan, sisik naga, empat kaki dari binatang yang berbeda seperti kuda, dan bebek, sedangkan ekornya kura-kura, sehingga saat mementaskan Barongsai Kilin, para penarinya harus melakukan gerakan yang sangat kompleks. Orang yang memainkan Barongsai Kilin pun tidak boleh sembarangan, harus memenuhi persyaratan tertentu, seperti ahli bela diri silat minimum sabuk merah, dan berusia minimal 15 tabuh dengan perawakan yang proporsional.
Hal itu berkaitan dengan ketahanan fisik saat memainkan Barongsai Kilin yang gerakannya bisa sangat lambat bisa juga sangat cepat, dan kekuatan kepala dan badan Barongsai Kilin yang harus ditopang dengan seimbang. Bahkan, para pemain dalam satu tim pun diharuskan berpuasa, tidak makan daging, atau hewan yang bernyawa selama 15 hari sebelum ditampikannya Barongsai Kilin. Selama 15 hari itu, juga dilakukan berbagai ritual lainnya, seperti meminta restu dari leluhur, hingga memandikan Barongsai Kilin itu sendiri. Tambur yang digunakan untuk mengiringi atraksi dari Barongsai Kilin pun berbeda dengan barongsai pada umumnya. Ketukan-ketukan khusus menjadikannya lebih terkesan berwibawa dan sakral.
Keduanya
Sama-sama Tidak Bisa Berdiri Sendiri
Di luar konteks magis dan seni yang ada pada tradisi ngelawang dan tarian barongsai, keduanya merupakan tradisi yang memang harus dipentaskan secara bersama-sama. Tradisi ngelawang dan tarian barongsai tidak bisa dilakukan hanya oleh satu orang saja. Jika hanya satu orang, tidak akan ada yang memainkan badan barong, atau tidak ada yang memainkan kepala barong. Kalau pun berhasil sendiri entah dengan cara bagaimana, masih ada iringan gamelan yang harus dimainkan untuk mendukung pementasan dan atraksi saat ngelawang ataupun menarikan barongsai. Keduanya harus dilakukan bersama-sama, para pemain barong dan para pemain gamelan harus bersinergi. Hal tersebut sekaligus menjadi upaya untuk mempererat hubungan satu dengan yang lainnya.
Di dalam satu tim pementasan tradisi ngelawang dan tarian barongsai yang biasanya terdiri dari para pemain dan penabuh, dibutuhkan sebuah bentuk kerjasama yang melebihi sebuah definisi tentang kata pengertian satu sama lain sehingga dapat menampilkan suatu atraksi yang kompak. Perasaan saling menerima antarpemain tentu akan menimbulkan rasa aman dan nyaman, sehingga sikap dan rasa peduli mereka terhadap suatu masalah yang dihadapi oleh teman-teman antarpemain akan semakin terdorong dan semakin tinggi. Pada akhirnya, sebuah hubungan timbal balik akan lahir, mereka akan saling memberi dan saling membantu sesama. Mereka juga akan menjadi satu rasa. Kesulitan satu orang pemain adalah kesulitan bersama, sama-sama dirasakan. Sebaliknya, apabila tidak ada kekompakan antarpemain, tentu permainan dan atraksi yang ditampilkan menjadi berantakan dan mereka akan gagal untuk menampilkan atraksi terbaik. Itulah yang menjadi salah satu alasan mengapa tradisi ngelawang dan tarian barongsai harus disiapkan dengan matang. Bahkan para pemain tarian barongsai harus berlatih keras agar bisa menampilkan atraksi-atraksinya yang dominan menampilkan seni bela diri kungfu saat menarikan barongsai.
Perkumpulan kelompok pelaku tradisi ngelawang dan tarian barongsai umumnya beranggotakan anak-anak dan remaja, dan umumnya lagi, anak-anak dan remaja memiliki emosi yang masih agak labil. Tak heran jika kemudian saat berlatih, ada sedikit ketersinggungan atau kesalahpahaman saat ada yang memberikan kritik dan masukan tentang gerakan-gerakan yang mereka lakukan, yang berujung pada keributan kecil, namun tetap dapat diselesaikan secara bersama tanpa menyisakan dendam. Saat di luar latihan atau di luar perkumpulan pun mereka tentu masih menjadi teman, dan selayaknya seorang teman, mereka dapat berbagi keluh kesah masing-masing. Mereka boleh bercerita tentang apa saja, tentang kehidupan mereka, tentang kegiatan mereka, atau tentang masalah-masalah yang mereka hadapi, sehingga nantinya mereka bisa membantu satu sama lain.
Keduanya Sama-sama Mengalami Perubahan
Jika ditinjau secara seksama, rupaya tradisi ngelawang di Bali dan tarian barongsai pada umumnya di Indonesia sudah berubah jika dibandingkan dengan bentuk keduanya di masa lalu. Mengutip perkataan seorang Budayawan Bali, I Wayan Dibia, yang dimuat kumparan.com, bahwa tradisi ngelawang memang mengalami perubahan seiring dengan perkembangan zaman yang terjadi. Sebagaimana maknanya sebagai penolak bala, zaman dahulu, tradisi ngelawang dilakukan sampai masuk ke rumah-rumah warga, memberi “ruatan” pada beberapa sudut halaman rumah yang dianggap memiliki aura negatif. Sedangkan saat ini, sedikit sekali tradisi ngelawang yang benar-benar sampai masuk ke rumah warga, kebanyakan hanya ngelawang di jalanan. Ia juga melihat ada yang harus dibenahi dari tradisi ngelawang saat ini dilihat dari segi kualitasnya mengingat anak-anak memiliki antusiasme yang sangat tinggi dalam melestarikan kesenian dan kebudayaan Bali. Baginya, tradisi ngelawang saat ini lebih condong ke tujuan sekuler, yaitu mencari uang, bukan untuk melengkapi dan menyambut hari raya Galungan dan Kuningan.
Dibia juga menyebutkan tradisi ngelawang saat ini cenderung tidak didukung kemampuan yang memadai oleh pemainnya, baik kemampuan musik ataupun kemampuan teatrikal. Tabuh sering kali hanya sebatas bunyi, penari hanya sekadar menari, keduanya tidak menjadi sesuatu yang memadai. Oleh karena itu, ia berharap tradisi ngelawang dilakoni dengan kualitas dan persiapan yang matang sehingga ngelawang dapat menjadi tradisi yang tak hanya lestari dari segi eksistensi, tapi juga dari segi kualitas.
Tarian barongsai saat ini juga mengalami perubahan. Dulu, Tarian Barongsai hanya ditampilkan di halaman dan lingkungan klenteng atau vihara saja dengan harapan para dewa-dewi dan roh para leluhur akan datang menyaksikan atraksi tersebut sambil membawa berkah. Terkadang, Tarian barongsai juga dimainkan di luar wilayah klenteng, seperti saat upacara akan menempati gedung baru, menyambut tamu agung, dan upacara-upcara agama lainnya. Namun, saat ini, tarian barongsai juga ditampilkan di ruang publik, seperti Mall, Televisi, bahkan dalam kegiatan yang sarat akan nuansa politik. Penampilan barongsai di ruang publik menyingkirkan kepentingan ritualitas keagamaan, dan beralih ke tujuan komersial. Pementasan barongsai di ruang publik pun menghilangkan unsur sakral yang ada. Tidak ada ritual pemujaan dan penghormatan kepada para dewa. Tidak ada berkah dan restu dari roh para leluhur. Tarian barongsai pun akhirnya hanya bersifat menghibur, dan sang barongsai pun masuk ke dalam pasar hiburan. Bisa dikatakan, tarian barongsai saat ini mengalami proses desakralisasi.
Saat ini, tarian barongsai juga dianggap mulai ditinggalkan oleh generasi penerusnya. Itulah yang dirasakan oleh Ario Rubbik, seorang sutradara yang menggarap Satu Jam Saja, Hijabers in Love dan Si Doel Anak Pinggiran, saat mendengar penuturan pamannya, Rano Karno, saat berkunjung ke daerah tempat tinggal keturunan peranakan Tionghoa Benteng pada tahun 2008. Katanya tradisi barongsai mulai ditinggal anak-anak muda. Nah, berangkat dari sana, Ario kemudian ditpercaya untuk menggarap sebuah film drama keluarga bertemakan budaya Tionghoa dengan Barongsai sebagai permasalahannya. Ario pun kemudian menggarap film berjudul The last Barongsai, sebuah film dari adaptasi novel berjudul sama yang ditulis oleh Pere Sumbada pada 2010. Tentu, melalui film yang akhirnya dirilis pada 26 Januari 2017 tersebut dapat mengingatkan anak-anak muda etnis Tionghoa sebagai generasi penerus untuk dapat melestarikan tradisi dan kebudayaan Tionghoa yang ada, khususnya tarian barongsai.
Tradisi nglawang dan tarian barongsai adalah contoh warna-warni kebudayaan yang ada di Indonesia, khususnya di Bali. Kehadiran keduanya menjadi penanda sebuah hari besar yang akan datang dalam waktu dekat. Keduanya juga membawa berkah, maka seandainya bertemu dengan salah satu dari mereka di jalan, di klenteng, atau di vihara, cobalah memohon berkah, dan jangan lupa doakan agar tradisi Bali dan kebudayaan Tionghoa, khususnya tradisi ngelawang dan tarian barongsai agar tetap lestari, baik dari segi eksistensi, ataupun dari segi keualitas. [T]