Sepertinya, momen akhir tahun kemaren adalah waktu yang pas bagi banyak orang untuk merayakan hajat pernikahan. Terlihat dari banyak status Whatsapp dan postingan-postingan media sosial teman serta kenalan yang memajang sepasang mempelai entah itu mereka sendiri atau sekedar orang lain. Apalagi sejak awal bulan Desember, rasanya hampir tiap hari ada postingan acara resepsi.
Kata seorang teman, bulan Desember adalah bulan di mana orang-orang bertemu dengan jodohnya. Tapi entah, kenapa yang lahir di bulan Desember sendiri masih saja terjerat kelajangan ya? (saya). Tak papa, mungkin Desember tahun depan, atau depannya lagi, atau mungin kapan-kapan juga bisa.
Terlepas dari apakah ada hubungan spesial antara bulan Desember dengan acara pernikahan, ada satu hal menarik dalam kehidupan masyarakat kita yang berkaitan dengan hal asmara. Yakni ketika ada dua orang yang sudah menikah, maka orang-orang akan bilang bahwa dua orang itu berjodoh. Ya, mempelai laki-laki adalah jodoh bagi mempelai wanita dan begitu pula sebaliknya.
Tapi ketika semisal di belakang hari keduanya lantas bercerai dan berpisah, maka yang akan keluar dari mulut orang-orang mungkin akan jadi begini: “Ya mungkin bukan jodohnya kali ya.” Lalu seperti apa sebenarnya jodoh itu? Apakah jodoh adalah orang yang menikah dengan kita? Atau bagaimana?
Tapi sebelum lebih jauh ngomong tentang jodoh, pertama-tama, ada hal yang harus saya utarakan dalam perbincangan tentang jodoh. Bahwa membincang jodoh tanpa memiliki pasangan itu, sah-sah saja, no problem. Tidak ada teori atau hukum yang menyatakan bahwa ngomong jodoh tapi gak punya pasangan itu percuma. Begitu pula kuat dan tidaknya pendapat orang tentang jodoh tidak bisa dilihat dari ada dan tidaknya seorang pasangan. Ok, mungkin yang punya pasangan lebih berpengalaman, tapi yang tidak punya belum tentu cupu dan tak layak bersuara bukan!?
Perbincangan tentang jodoh hampir sama seperti perbincangan tentang bola. Baik pemain, pelatih, komentator, atau pun sekedar penonton semua berhak memberikan suara dan komentar terkait per-bola-an. Begitu pula tema per-jodoh-an semua layak memberi pendapat.
Baik, mari masuk lebih dalam lagi. Sebenarnya, menurut tuan-puan jodoh itu apa? Toh pada dasarnya, persoalan jodoh ini dapat dibilang sebagai perbincangan yang sudah teramat basi. Namun di balik kebasiannya itu, orang-orang cenderung akan mengangggap bahwa jodoh adalah sebuah rahasia yang disiapkan oleh tuhan dan tak ada yang tahu kecuali tuhan itu sendiri.
Ya memang, siapa yang tahu masa depan? Tapi masa depan juga bisa diusahakan bukan!?
Ok, kepercayaan dan pikiran tentang jodoh biasanya memang dominan akan diwarnai oleh norma-norma dan dogma dalam ajaran keagamaan. Paling tidak, pemahaman itu akan berbunyi seperti ini: jodoh adalah orang yang telah disiapkan oleh tuhan bagi masing-masing individu untuk kemudian dipertemukan dan dipersatukan dalam bingkai ikatan atau akad yang sah (pernikahan). Jadi jangan coba-coba bilang kalau masih pacaran itu sudah jadi jodoh, belum. Baru kalau sudah menikah itu baru jodoh, menurut pemahaman tersebut.
Tapi apa hanya dengan menikah seseorang itu akan menjadi jodoh bagi pasangannya? Bagaimana kalau nanti pisah, kalau nanti cerai, apa masih bisa dikatakan jodoh? Terus, bagaimana dengan orang yang sampai akhir hayatnya tidak menikah? Apa jodohnya tidak ada? Atau jodohnya sudah mati? Nah, hal-hal seperti inilah yang agaknya perlu direfleksikan ulang sebagai bentuk bangunan ideologis kita dalam hal hubungan asmara.
Dalam keyakinan banyak orang selama ini, terutama dari kalangan tradisionalis, ada tiga hal yang menjadi kuasa dan hak mutlak tuhan atas proses kehidupan manusia. Tiga hal itu adalah takdir (ketetapan) yang diyakini sudah ditentukan oleh tuhan bagi masing-masing individu. Tiga hal itu adalah rezeki, jodoh, dan mati. Ya memang, tidak ada yang tahu akan seperti apa dan kapan ketiga hal itu akan datang. Terutama dalam topik ini adalah jodoh.
Saya rasa, bila jodoh sekedar dikategorikan dengan sudah dan tidaknya menikah itu masih kurang. Sebab bisa saja di kemudian hari pernikahan akan ambyar dan berakhir perpisahan. Maka harus ditambahi satu hal lagi, yakni kelanggengan. Dalam artian terus bersama sampai salah satu dipisahkan oleh usia (mati). Jadi dapat dikatakan jodoh itu syaratnya ada dua, sudah menikah dan langgeng sampai akhir hayat.
Namun, hal ini akan menjadi berbahaya bagi bangunan ideologis bila dikaitkan dengan ketiga takdir tuhan tadi. Akan menjadi berbahaya bila dibawa pada pemahaman tentang kasus bahwa ada orang yang sampai mati tidak mendapatkan pasangan, begitu pula dengan kasus perceraian dalam pernikahan. Kalau sudah begitu apa kita akan mengatakan bahwa jodohnya orang yang tidak menikah itu sudah mati? Atau memang tidak ada alias tidak disiapkan sejak lahir? Atau kita akan mengatakan tuhan sedang ngeprank ketika ada orang yang menikah lalu di kemudian hari bercerai? Bahaya kan!?
Ok, mungkin syarat menjadi jodoh itu harus dengan pernikahan bisa disetujui. Tapi untuk kelanggengan? Siapa yang bisa menjamin? Atau mungkin kita ubah saja pemahamannya jadi: ok selama dua orang menikah, mereka adalah jodoh sampai ada hal yang memisahkan mereka baik karena perceraian atau salah satunya meninggal. Bila kemudian salah satunya cerai dan nikah lagi, maka dia itu bertemu dengan jodoh baru sementara yang lama sudah bukan jodoh lagi. Segitu fleksibel-kah?
Selama ini, yang bisa saya tangkap dari pemahaman tetang jodoh, bahwa jodoh itu adalah orang. Orang yang akan dipasangkan dengan kita kelak pada suatu hari sebagai sebuah produk dari takdir tuhan. Tapi apakah banyak yang sadar bahwa bila jodoh itu adalah orang, lalu itu dikaitkan dengan takdir tuhan, maka akan muncul ketidakpastian tentang hal tersebut. Bisa saja kelak orang itu akan menghilang, atau memutuskan untuk bercerai, selingkuh, dan kemungkinan-kemungkinan lainnya. Lantas di mana letak kepastian takdir tuhan itu?
Kalau jadi demikian, mari coba alihkan pemahaman tentang bahwa jodoh itu orang menjadi jodoh itu adalah komitmen. Bila jodoh adalah komitmen, kepastian takdir akan tetap terjaga di balik kefleksibelan pemahaman kita. Kalau sama-sama komitmen maka akan langgeng dan sampai mati (berjodoh). Tapi bila tidak berkomitmen atau komitmennya rendah ya akhirnya bisa pisah alias nggak berjodoh. Dengan begitu, takdir tidak hanya sekedar ketetapan, tapi di dalamnya pula bahwa takdir itu adalah usaha.
Kalau boleh saya katakan, saya adalah orang yang setuju dengan pendapat “tuhan hanya menentukan prinsip bahwa semua makhluk itu berpasang-pasangan. Perkara siapa akan berpasangan dengan siapa itu tergantung usaha manusianya.” Bukan tuhan yang menetapkan kamu akan menikah dengan siapa, tapi manusia hanya meneruskan ketetapan yang tuhan ciptakan dan berusaha mencari pasangannya sendiri di balik sejuta manusia yang telah tuhan ciptakan.
Akan menjadi mudah pemahamannya bila begini: tuhan sudah menciptakan hukum (prinsip/ketentuan) bahwa semua makhluk itu berpasang-pasangan laki dan perempuan dengan cara menumbuhkan rasa cinta dan suka dalam hati masing-masing. Tinggal bagaimana selanjutnya manusia akan berusaha menangkap sinyal-sinyal hukum tuhan tersebut. Bila sudah berusaha dan berkomitmen maka kamu akan bertemu dengan pasanganmu, melanjutkan komitmen kebersamaan sampai akhirnya bersama sepanjang hayat, atau dalam bahasa lain kalian itu berjodoh.
Kalau pemahamannya begini, bangunan ideologis kita jadi aman kan!? Jadi jodoh itu bukan semata takdir tuhan yang mana kita tinggal terima jadi tanpa melibatkan usaha. Tapi jodoh adalah kesatuan antara hukum atau prinsip semesta yang sudah tuhan ciptakan kemudian kita teruskan dengan usaha dan daya kita. Sehingga kembali lagi, bahwa jodoh adalah komitmen, bukan orang.
Sebab secocok, seserasi, secinta apapun orang itu dengan kita kalau tanpa diiringi komitmen dan rasa tanggung jawab, bisa saja sebuah hubungan akan berakhir sebab beberapa hal. Dan seperti apapun proses pernikahan yang kita lakukan entah itu via perjodohan atau memang direncanakan dan saling suka sejak awal kalau di dalamnya terdapat komitmen yang kuat maka hubungan akan terus berlanjut sepanjang hayat. [T]