“Ayat-ayat memaksa, merajam manusia. Surgamu yang mana?” – Tashoora, Terang.
SEKITAR dua pekan lalu, sebuah poster masuk ke ponsel kami. Sebuah tawaran memutar film dokumenter berjudul “Atas Nama Percaya”. Tawaran yang tentu saja kami tindaklanjuti.
Kesepakatan terjalin. Lokasi dipilih. Jadwal disusun. Pemantik diskusi, dipercayakan pada saya. Poster dibuat, kemudian disebar.
Kami sepakat, film itu diputar di Rumah Belajar Komunitas Mahima, pada Sabtu (4/1/2020) lalu.
Selang beberapa waktu setelah poster disebar, telepon saya beberapa kali berdiring. Beberapa kawan yang saya ketahui bekerja sebagai intelijen di lembaga negara, menanyakan detail acara.
Saat itu pula pikiran saya berkecamuk. Muatan apa yang ada dalam film ini. Sehingga kawan-kawan intelijen begitu intens menghubungi saya. Terlebih saya belum menonton film ini. Hanya sempat menonton trailernya.
Saya hanya bisa menduga-duga. Apakah film ini semacam film “Tanda Tanya (?)” dengan sutradara Hanung Bramantyo yang dianggap film sensitif? Apakah semacam film “Kucumbu Tubuh Indahku” dengan sutaradara Garin Nugroho yang dipersepsikan secara berbeda oleh beberapa pihak?
Jangan-jangan film ini seperti Sexy Killers garapan Dandhy Dwi Laksono dan Ucok Suparta yang membongkar hubungan para pengusaha dengan penguasa?
Pikiran saya berkecamuk. Jangan-jangan setelah film diputar dan diskusi berlangsung, saya akan dibawa ke sebuah ruangan gelap. Diinterogasi. Jari kaki saya dijepit kaki meja yang diduduki seorang petinggi sambil menodongkan pistol di kepala saya.
Jika benar, saya harus meminta perlindungan ke sejumlah pihak. Ke asosiasi profesi. Ke kolega saya di mabes. Minta perlindungan ke Interpol, FBI, CIA, MIB, pokoknya kemana saja. (Baiklah, dua paragraf ini sudah terlalu lebai).
Saat itu saya hanya berpikiran positif. Mungkin rekan-rekan saya hanya ingin nonton film. Apalagi undangan nonton film ini disampaikan secara terbuka. Gratis pula.
* * *
MENYAKSIKAN film ini, membuat pikiran saya melayang pada masalah-masalah yang terjadi karena agama. Terutama masalah larangan beribadah. Hanyadengan dalih “kesepakatan bersama”.
Padahal berdasarkan amandemen kedua, pasal 28E Undang-Undang Dasar 1945, negara wajib memberikan perlindungan bagi warganya. Hal itu sudah dijelas dalam ayat (1) dan ayat (2).
Tanpa perlindungan dari negara, maka warga tidak bisa memeluk agamanya dengan nyaman. Tidak bisa beribadah dengan damai.
Saat larangan beribadah pada hari besar keagamaan muncul, pemerintah bukannya memberikan perlindungan dan memberikan fasilitas. Misalnya memberikan balai kota atau minimal balai desa sebagai lokasi ibadah. Pemerintah justru menyarankan agar beribadah di rumah masing-masing. Seolah lepas tangan saat seharusnya memberi perlindungan.
Agama dan keyakinan sebenarnya hal yang kompleks. Puluhan tahun silam, para penghayat kepercayaan dianggap tak beragama. Padahal mereka jelas-jelas percaya pada Tuhan Yang Maha Esa. Bedanya, para penghayat kepecayaan belum tentu punya rumah ibadah dan belum tentu punya kitab suci.
Para penghayat kepercayaan tidak diakui oleh negara. Jangankan penghayat kepercayaan, sejumlah penganut agama seperti Bahai, Syeikh, Yahudi, juga kesulitan mendapatkan pengakuan dari negara.
Syukurnya kini penghayat kepercayaan telah diakui keberadaannya oleh negara. Mereka memiliki hak untuk memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan mencantumkan kepercayaan mereka di dalamnya.
Tapi masalah tidak berhenti di sana. Bagaimana bila nanti mereka menikah. Bisakah mendapatkan akta perkawinan? Saat anak-anak mereka lahir, bisakah anak-anak itu mendapatkan akta kelahiran? Setelah cukup usia sekolah, apakah mereka mendapatkan pendidikan dari negara?
Belum lagi bila mereka meninggal dunia, bagaimana mereka diperlakukan? Bila kepercayaan mereka mengizinkan kremasi, selama ada krematorium, tentu bukan persoalan besar.
Bagaimana bila kepercayaan yang dianut mengharuskan mereka dikubur? Sementara pemerintah belum menyediakan pemakaman umum. Dimana mereka akan dikubur. Apakah fenomena larangan simbol agama tertentu akan muncul di pekuburan? Jangan-jangan warga akan menolak mereka dikubur.
Setidaknya hal-hal seperti itu yang muncul sepanjang diskusi pada Sabtu malam lalu. Pemerintah tak boleh lepas tangan. Hak para penganut agama dan penghayat kepercayaan, harus dilindungi. Bahkan sejak lahir, hingga meninggal dunia.
* * *
KAWAN saya yang bertugas sebagai intelijen itu, benar-benar datang malam itu. Ia menyaksikan film dari awal sampai akhir. Mengikuti diskusi dari awal hingga akhir.
Sesekali ia mengangguk-angguk. Beberapa kali pula urun rembug selama diskusi. Menceritakan pengalaman, saat bersentuhan langsung dengan para penghayat kepercayaan di kampung halamannya.
Malam itu, tidak ada pelarangan pemutaran film. Tidak ada pembubaran diskusi. Semua mencurahkan isi hatinya malam itu.
Saya akhirnya bisa memahami pemikiran kawan saya itu. Di kota ini tidak ada bioskop. Saluran berbayar macam Netflix diblokir. Saluran televisi berlangganan cukup mahal. Situs bajakan macam IndoXXI diblokir. Ketimbang menyaksikan sinetron recehan di televisi, menonton film dokumenter sambil berdiskusi tentu lebih menjanjikan. [T]