Teruntuk Bapak, Ibu dan seluruh pihak yang turut membantu secara mental, saya ucapkan banyak terimakasih. Tanpa kalian, saya takkan bisa sesehat itu ketika diwisuda tempo hari. Tulisan ini mungkin sedikit terlalu dini bagi saya untuk dituliskan. Namun disisi lain, saya rasa ini sangat bijak jika digunakan sebagai pengingat kelak di masa tua.
Tanpa bermaksud mengulur waktu untuk pendahuluan yang terlalu panjang, saya ingin secara langsung masuk kedalam resah yang ingin saya bahas. Beberapa bulan sebelum tali toga terpindahkan, saya sempat berada pada masa-masa paling mengkhawatirkan. Sebuah fase dimana ketakutan saya atas tak bisa menepati janji dengan orang tua muncul. Kala itu, saya khawatir tak bisa menepati janji tuk bisa lulus tahun ini.
Di antara puluhan imajinasi yang datang kedalam benak saya, salah satu yang paling mengganggu daya khayal saya ialah sebuah kondisi dimana orang tua saya sedang bercengkrama di dalam kamar mendiskusikan tentang anak-anak mereka. Saya membayangkan betul detail suasana seperti itu. Jikalau saya telaah suasana nya dalam sebuah percakapan singkat, mungkin kurang lebih seperti ini;
Ibu: “Pak, Putu sekarang sudah mau tamat. Kira-kira kalau semisal Putu gak bisa tahun ini, apa bapak masih ada biaya untuk kuliahnya?”
Bapak: (terdiam…..)
Ibu: “Made juga lagi butuh uang untuk biaya praktik kuliahnya. Komang minggu depan harus bayar biaya Study Tour. Apa tabungan kita masih cukup pak?”
Bapak: “Ibu tenang saja. Jangan khawatir. Tabungan kita masih cukup kok. Kalaupun seandainya kurang, nanti Bapak bisa ambil kerja tambahan di kantor”
Ibu: “Kalau Bapak ngambil kerja tambahan, apa Bapak nanti nggak kecapean? Bapak kan punya diabet. Ibu takut sakit Bapak kambuh karena kelelahan dan salah makan”
Bapak: “Kalau itu Bapak nggak takut karena Ibu pasti selalu ingetin Bapak. Iya kan?”
Ibu: “Ah Bapak”
Bapak: “Pokoknya, kalau masalah pendidikan anak-anak itu tanggung jawab kita sebagai orang tua. Sebisa mungkin kita harus bantu mereka setidaknya sampai lulus kuliah. Setelahnya, itu tanggung jawab mereka. Kita hanya bisa mendukung apapun pilihan mereka dan membimbing jalan yang mereka ambil Bu”
Ibu: “Iya Pak. Ibu ngerti. Nanti Ibu juga bantu masalah biaya. Cicilan motor, pinjaman Bank dan semuanya biar bisa kita lunasi satu per satu Pak. Bapak kalau ada masalah apa cerita sama Ibu. Ibu gak mau Bapak stroke karena banyak pikiran. Kalau Bapak sakit, Ibu sama anak-anak gak tahu harus bergantung sama siapa lagi”
Bapak: “Iya Bu, tenang. Bapak masih kuat kok. Cuma sering pegel aja hehe”
Sebuah imajinasi tentang seorang Ayah yang mencoba begitu tegarnya menafkahi keluarga. Hal yang saya ketahui hanyalah Ayah adalah seorang pegawai kantor yang berangkat setiap jam 8 pagi dan pulang jam 5 sore. Sebelum berangkat, ia selalu ingin diseduhkan secangkir kopi lalu ketika pulang, ia langsung mengganti pakaian kemudian memilih untuk tidur atau langsung berolahraga.
Sedangkan Ibu, Ibu hanyalah seorang Ibu Rumah Tangga yang terkadang harus mengemban tugas sebagai Ibu PKK juga WHDI (Wanita Hindu Dharma Indonesia) oleh karena Ayah adalah seorang PNS. Begitulah kedua orang tua saya. Dibalik keberbincangan kami di ruang tamu yang itupun tak setiap hari kami lakukan, saya selalu percaya bahwa momen yang muncul dalam khayal saya pastilah sempat terjadi sesekali atau bahkan sering dalam kenyataan. Prihal kedua orang tua saya yang berdiskusi di dalam kamar membahas tentang anak-anak mereka, hutang piutang disana-sini serta kesehatan mereka masing-masing yang kian hari kian menua.
Kini saya tlah bekerja sebagai Guru. Maksud hati ingin membantu beban orang tua, apadaya penghasilan saya masih tak cukup tuk membantu Ayah membiayai biaya pendidikan adik-adik. Penghasilan saya kini hanya cukup sebatas membayar uang sewa kos di rantauan serta untuk membeli makan sehari-hari. Beberapa kali saya kerap menghubungi Ibu untuk sekadar berkabar prihal saya yang baik-baik saja di rantauan. Di lain kesempatan, saya menghubungi Ayah untuk memberitahu bahwa saya butuh biaya ini itu untuk kebutuhan diluar rencana alias kebutuhan mendadak. Dan lagi ia merasa tak apa jika saya repotkan.
“Kalau ada keperluan bilang saja sama Bapak. Nanti pasti Bapak bantu. Tekuni apa yang sudah kamu jalani nanti rezeki ana mengikuti” ucap Ayah via WhatsApp
Saya semakin merasa tak enak. Saya sadar disatu sisi mereka ingin membantu kami, anak-anaknya. Tapi dilain sisi, saya tak pernah tahu sudah berapa banyak pengorbanan dibelakang layar yang tak mereka lisankan kepada kami. Saya pun tak bisa egois dengan mengagungkan idealis saya sebagai anak muda yang tlah bekerja untuk tak meminta pertolongan dari orang tua lagi. Saya paham, mereka masih ingin membantu kami selagi mereka memang masih sanggup. Mungkin saya pun kelak demikian dengan anak-anak saya nanti. Hal ini mengingatkan saya akan pesan seorang teman. Ia berkata bahwa tidak apa-apa untuk meminta bantuan ke orang tua kendatipun kamu sudah menghasilkan gajimu sendiri. Sungguh menenangkan sekali ucapan teman saya itu.
Saya percaya, sedekat apapun kita dengan orang tua kita, senyaman apapun obrolan kita di ruang keluarga kala itu, pasti ada masa dimana yang seharusnya terungkap di ruang keluarga, malah hanya terungkap di ruang tidur. Iya, ruang tidur kedua orang tuamu. Hal-hal yang hanya mereka simpan berdua untuk kebaikan anak-anaknya, untuk tak terlalu dipikirkan oleh anak-anak mereka.
Sebuah rahasia di dalam sebuah jarak yang nyaris tak terlihat dalam konteks cinta diantara orang tua dan anak. Beberapa rahasia mungkin akan diungkapkan seiring kita bertumbuh dewasa, namun beberapanya lagi kekal dibawa hingga mati. Teruntuk kalian yang kini tengah berfoya-foya diluar sana, kalian yang kerap mencari-cari pelarian dari tanggung jawab menuntaskan tanggung jawab kuliah, coba sesekali tengok kamar orang tuamu dikala malam. Kali saja, mereka membicarakanmu. [T]