Kritikus sastra Bali modern, Nyoman Darma Putra, mengungkapkan kegundahan sastrawan Bali menghadapi kenyataan sekitar, banyak yang dikembangkan menjadi karya fiksi dengan latar belakang konflik kasta dan adat. Darma mencatat, kegalauan itu sudah muncul sejak tahun 1926, tatkala majalah Surya Kanta yang terbit di Bali Utara memuat drama berjudul “Kesetiaan Perempuan”. Sejalan dengan makin banyaknya lahir pengarang Bali, karya- karya yang menggarap masalah kasta dan adat pun kian ramai. Majalah Surya Kanta dikenal kukuh menentang feodalisme dan menyajikan pemikiran reformis, terbit dari Oktober 1925 sampai September 1927.
Mengapa pengarang Bali getol menggarap masalah adat dan kasta? Mengapa mereka seperti memiliki kesepakatan atau keterikatan untuk terus menerus mengungkap masalah-masalah tradisi itu tanpa khawatir terjadi kejenuhan? Apa yang mereka cari dari tema-tema yang monoton itu? Mengapa tema adat dan kasta memiliki daya pikat luar biasa bagi pengarang Bali?
Bali sering dipuji karena memiliki masyarakat dengan komunitas saling menghargai, penuh tenggang rasa, hidup dalam pola keseimbangan antara alam, pribadi-pribadi dan Tuhan. Namun sejak lama pula orang-orang tahu kehidupan adat dan kasta di Bali adalah sumber konflik di tengah masyarakat. Konflik-konflik adat itu bentuknya beraneka ragam, sangat kompleks, berlarut-larut, dan sering tergelincir menjadi dendam atau pertentangan sangat tajam antar-kelompok. Banyak warga desa adat yang terjebak dalam perselisihan ruwet yang sangat peka, yang kalau dirunut awal penyebabnya hanyalah masalah sepele, seperti perselisihan anak muda yang kemudian membawa-bawa nama desa adat.
Kehidupan adat dan kasta di Bali memang kaya ketenteraman, namun juga kaya konflik. Seorang pengarang sangat membutuhkan konflik agar cerita tampil memikat. Dalam pelajaran mengarang prosa paling dasar pun sudah diketengahkan, cerita yang datar, tanpa konflik, tak akan pernah menarik, pasti menjemukan. Sebaliknya, cerpen, novel, roman, yang sangat kaya konflik, memiliki peluang besar menjadimasterpiece. Konflik dianggap esensi sebuah cerita. Jika si pengarang lihai, ia bisa mengolah konflik itu menjadi bermacam sumber pertentangan, bermacam gaya pertikaian, yang kalau diramu dengan penokohan, akan menjadi cerita penuh pesona yang sangat menggairahkan untuk dikunyah pembaca sampai habis. Kisah Mahabharata atau perang mahadahsyat Bharatayudha, adalah contohnya.
Sungguh tak mudah mencari tema cerita yang kaya konflik. Banyak pengarang berhari- hari mencari inspirasi untuk mendapatkan konflik itu, namun tak kunjung memperolehnya. Sementara masalah adat dan kasta di Bali justru menyuguhkan konflik yang kompleks itu, yang memiliki peluang lebar untuk dimekarkan dalam cerpen atau novel.
Konflik-konflik adat dan kasta itu tidak terpaku sebagai pertentangan antar-individu, atau antar-kelompok, namun juga menjadi konflik terbuka dengan konflik batin tokoh-tokoh cerita. Keberhasilan meramu konflik-konflik adat dengan konflik batin ini tentu menghasilkan cerita yang khas daya tariknya. Seperti itulah antara lain keunggulan yang dimiliki cerpen “Ketika Kentongan Dipukul di Balai Banjar” karya Nyoman Rastha Sindu yang dinobatkan sebagai cerpen terbaik majalah sastraHorison tahun 1969.
Tatkala buku antologi cerpenis Bali dalam bahasa Inggris,Bali Behind the Scene, yang dikerjakan oleh penerjemah Vern Cork, diluncurkan di Ubud, Agustus 1996, seorang kolektor lukisan, pemilik museum dan galeri, Sutedja Neka, berbincang dengan pemerhati kebudayaan Bali, Putu Suasta, ketika rehat minum jus. Sutedja Neka berkata pada Suasta, bahwa peluncuran antologi pengarang Bali dalam bahasa Inggris itu merupakan peristiwa besar, karena baru kali itu diperkenalkan aneka karya fiksi tentang Bali oleh orang Bali atau mereka yang bermukim lama di Bali.
Putu Suasta melengkapi pendapat Sutedja Neka itu dengan mengatakan, bahwa karya-karya fiksi tentang Bali dalam bahasa asing (Inggris) sudah lumayan banyak, namun harus diakui tidak sebanyak karya nonfiksi. Banyak antropolog, sosiolog, dokter, ahli linguistik, penulis pariwisata, penari, sejarawan, koreografer, musisi, yang menulis kehidupan masyarakat Bali dalam bahasa asing. Banyak diantara buku itu yang dicetak ulang berkali-kali, menjadi best seller,bahkan menjadi buku klasik, tersebar luas, dicari-cari oleh mahasiswa, para pakar, dan pembaca umum dari berbagai bangsa.
Tapi, mengapa sedikit cerpenis, novelis asing yang menulis tentang Bali? Kesulitan apakah yang mereka hadapi? Padahal cukup banyak pengarang asing yang pernah tinggal lama di Bali. Mereka justru kemudian menulis catatan perjalanan atau tulisan yang mengarah pada pengkajian antropologi atau sosiologi yang cenderung menjadi tulisan populer.
Adat istiadat Bali, tentu termasuk hal ihwal kasta di dalamnya, punya keunikan sangat menarik untuk diamati, namun justru tidak gampang untuk ditulis dalam bentuk fiksi oleh orang luar. Dalam karya nonfiksi si penulis bisa berdiri bebas dengan kacamata objektivitas, menulis dengan kaidah yang sudah teruji, dengan teori-teori klasik atau modern yang sudah mereka kuasai. Mereka punya jarak dengan objek yang ditulis, karena mereka menggunakan pengamatan tanpa perlu melibatkan perasaan. Kalau ingin sukses menulis cerpen atau novel tentang komunitas di Bali, mereka mesti melibatkan perasaan.
Karena adat istiadat Bali kompleks dan ruwet, perlu waktu pendalaman cukup lama untuk bisa masuk memahaminya, agar bisa menghadirkan tokoh cerita yang terlibat dalam kemelut konflik adat dan kasta itu. Soal pematangan inilah yang menyebabkan karya-karya pengarang fiksi dari Barat tentang China atau Jepang tidak sanggup menyuguhkan irama seindah kalau ditulis sendiri oleh pengarang China atau Jepang. Karya-karya Pearl S. Buck tentang masyarakat Tiongkok tidak seindah karya pengarang China. Shogun karya James Clavel kalah indah dan kalah memikat tinimbang Musashi atau Oshin, tidak sekuat karya-karya Yasunari Kawabata dan Yukio Mishima.
Itulah kelebihan karya fiksi. Ia menjadi karya otentik, khas, karena tidak seperti karya ilmiah yang menggunakan metode sudah ada milik orang lain. Karena itu, karya-karya yang punya orientasi kultural tampaknya jauh lebih bagus kalau digarap oleh mereka yang mengalaminya langsung, oleh mereka yang lahir dan dibesarkan di lingkungan yang mereka tulis.
Ditilik dari peluang untuk menghasilkan cerita yang bagus, sebenarnya bersyukurlah para pengarang Bali, karena mereka memiliki adat istiadat yang tak hanya terus menerus menjadi penyangga harmoni kehidupan, tetapi juga merupakan sebuah warisan yang memiliki banyak titik terciptanya konflik. Namun, kendati konflik-konflik itu sudah tersedia di depan hidung seorang pengarang, tetap saja dituntut keterampilan tinggi untuk menuliskannya untuk menjadi cerita memikat, tidak terjerembab menjadi cerita hasutan. Salah menuliskan, konflik adat dan kasta yang menarik dari kaca mata pengarang fiksi, bisa menjadi alat memperparah keadaan anti-kemapanan.
Sebaliknya, keberhasilan mengangkatnya menjadi cerita menarik, akan meluruskan kekeliruan pemahaman tentang nilai-nilai tradisi, dan memperjelas pengertian posisi dan peran kasta. Ia akan menjadi kisah-kisah kemanusiaan tentang masyarakat yang memperjuangkan harkat dan kebebasan mereka. Sebab, banyak adat istiadat ketinggalan zaman yang dipertahankan, tanpa diiringi kemampuan mengaktualisasikannya, yang justru memperkeruh keadaan, dan menyuburkan feodalisme.[T]
*Tulisan ini disampaikan Gde Aryantha Soethama dalam Seminar Internasional Sastra Indonesia di Bali yang diselenggarakan di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya, Denpasar-Bali, 10-13 Oktober 2019