Pak Wayan Wijasa, atau lebih dikenal dengan sebutan Yan Nano. Salah satu sesepuh di Kapal CC ini, dulu, sangat suka main sepeda di medan offroad. Melibas turunan yang tajam. Sebuah sepeda gunung yang dilengkapi double suspensi jenis 29er bermerek Specialized, merek sepeda ternama di dunia, dengan memakai sepeda ini, membuatnya enteng bermain di jalan yang becek. Tungganggannya memang sudah yahud, jadi bisa mengurangi rasa kawatir.
Tapi sejak peristiwa kecelakaan di Lombok beberapa tahun silam, Pak Yan Nano mulai takut bermain di medan cross country. Kecelakaan sepeda setelah bermain di bukit-bukit di Lombok itu membuatnya harus operasi di wajah. Membekaskan rasa trauma yang dalam.
Sekarang bukan waktunya lagi ngebut di medan yang susah. Kini dia lebih asyik menggunakan sepeda hybrid, jenis sepeda yang diperuntukkan di jalan raya, dengan bannya yang tipis-tipis seperti belut. Bersepeda di jalan raya yang mulus. Bermain aman dan hati-hati. Jaraknya tidak tanggung-tanggung. Bisa seratus kilometer dalam sehari.
Semakin tua, daya tahan tubuh Yan Nano semakin kuat. Ibaratnya tua-tua keladi, semakin tua tambah perkasa dan tahan banting. Meski usianya sudah mencapai 59. Yan Nano adalah seorang penggemar sepeda yang mempunyai ciri khas tersendiri. Setiap purnama, dia pasti mengayuh sepedanya menuju pura terjauh dari rumah.
Dari tempat tinggalnya di sebuah kawasan perumahan di Penatih, Denpasar Timur, Bali, kadang dia meluncur ke Besakih. Seorang diri. Lonely ride. Kadang juga start dari Denpasar ke Pura Rambut Siwi yang terletak di kabupaten Jembrana, sampai ke Pulaki di Buleleng. Sungguh gila, karena hanya mengandalkan energi dari gerakan otot dan napas. Kalau kita memakai sepeda motor, entah berapa liter sudah menghabiskan bensin. Bersepeda dengan jarak tempuh seperti itu, menghabiskan ribuan kalori.
Sehari-hari Yan Nano mengurus sebuah warung makan di jalan raya Penatih. Sebuah warung makan yang memiliki banyak pelanggan, menyediakan kuliner khas Bali, yaitu lawar babi. Kalau pas purnama atau tilem, Yan Nano akan keluar dari kesibukannya itu. Urusan warung diserahkan kepada karyawan yang sudah dipercaya. Di saat hari-hari suci ini, tujuannya hanya pura. Dan selalu bertirtayatra dengan sepeda. Menempuh jarak ratusan kilometer dengan ribuan kali kayuhan. Modalnya hanya dengkul. Tentunya dengkul yang sudah terlatih.
Pernah Yan Nano mengalami hal pahit, yaitu kehilangan 3 buah sepeda gunung sekaligus. Padahal ketiga sepeda itu sudah dirantai dengan kuat di teras rumah. Padahal juga pagar rumahnya sangat tinggi. Ah, pencuri memang nekat. Diperkirakan maling itu beraksi sekitar pukul 2 pagi, saat tidur para penghuni rumah sedang lelap-lelapnya, dan gang di depan sangat sepi. Agaknya sebelum aksi pencurian dilancarkan, sindikat itu sudah mengamati kalau Yan Nano punya sepeda mahal-mahal.
Bapak tiga putri ini memang betul-betul konsisten di dunia sepeda. Sebagai sesepuh di Kapal CC, bertahun-tahun dia telah akrab dengan dunia pedal. Kecelakaan motor yang telah membuat kakinya patah tidak pernah menyurutkan semangatnya. Istirahat beberapa bulan, sekarang dia kembali turun gunung. Semangat telah membuatnya cepat sembuh. Kembali ke medan aspal yang panas. Entah sudah berapa kali dia keliling Bali bersepeda. Selalu sendiri. Gowes spiritual menuju pura-pura besar di Bali.
Kalau ada kendala di jalan seperti ban bocor atau rantai putus, dia enggan menghubungi Grab. Karena sekali meng-klik aplikasi Grab, itu tandanya menyerah. Yan Nano pantang mengibarkan bendera putih hanya karena kendala kecil seperti itu. Maka dia akan mengganti ban, atau menyambung rantai yang putus itu sendiri, kemudian melanjutkan perjalanan lagi. Meskipun saat itu di malam hari.
Sialnya lagi, saat perjalanan gowes spiritual justru dia sering mengalami bocor ban. Barangkali Tuhan sedang mengirimkan teknik bersabar untuk menguji mentalnya. Seorang petualang pencari Tuhan dengan sepeda. Menolak bertirtayatra dengan cara yang nyaman. Sebab, perjalanan mencari Tuhan adalah perjalanan yang susah. Harus ada rintangan-rintangan untuk menguji seberapa jauh kesabaran kita.
Itu seperti mendaki ribuan anak tangga menuju Pura Lempuyang Luhur. Setelah kita bersabar naik anak tangga sampai penghabisan dan mengalahkan rasa lelah, sembahyang di puncak pun menjadi semakin kusyuk. Seperti yogadan semadi. Raga diolah dulu biar sehat, meditasi pun menjadi semakin hening.
Biasanya kalau Yan Nano kemalaman dalam perjalanan, dia akan mekemit di pura, kemudian besoknya melanjutkan perjalanan lagi menuju pura yang lain. Memang luar biasa. Yan Nano sudah makan banyak garam di dunia persepedaan. Ibarat di dunia persilatan, Yan Nano adalah salah satu pendekar yang menyepi. Menurut penuturannya, dia sudah bersepeda sejak tahun 2007, 12 tahun silam.
Kalau ada rekan pembaca yang kebetulan sembahyang saat purnama di sebuah pura bertemu dengan laki-laki memakai jersey sepeda, udeng, kamen, saput, sepatu sambil nuntun sepeda, barangkali beliau adalah Pak Yan Nano ini. Silakan berkenalan. Bapak yang ramah dan suka bergaul ini akan dengan suka cita menceritakan pengalamannya malang-melintang di dunia sepeda, dari A sampai Z.[T]