Megah dan kuat. Kepalanya bulat mendongak, mata selalu awas dan delapan lengannya menelusuk endapan pasir seakan menggenggam ibu pertiwi. Tanpa tulang, binatang cerdas ini bisa masuk ke dalam atau ke luar ruang yang tergolong sempit.
Itulah gambaran octopus giant berwujud gurita raksana yang dibuat Ketut Putrayasa. Seni instalasi itu dibuat serangkaian Berawa Beach Art Festival (BBAF) ke-2 dengan tema “Deep Blue Spirit” di Pantai Berawa, Desa Tibubeneng, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung, Mei lalu.
Octoputus itu adalah seni instalasi yang bercerita tentang pantai, laut, lingkungan, alam, dan sampah plastik, serta hal-hal lain yang menjadi kecemasan dan juga jadi harapan. Pada ajang BBAF ke-2 itu Putrayasa mengingatkan banyak orang tentang pentingnya wawasan kelautan, termasuk apa-apa yang ada di dalamnya, dan apa-apa yang ada di luarnya.
Meski BBAF sudah berlalu, namun peringatan itu akan terus bergaung, bukan hanya di Pantai Berawa, namun juga di pantai dan wilayah keluatan lain di Bali, di Indonesia, bahkan dunia.
Octupus itu dibuat kokoh berdiri di tepi pantai. Narasinya bisa dibuat sesuai imajinasi. Misalnya gurita raksasa itu keluar dari tempatnya karena tempat tinggalnya penuh dengan sampah plastik. Ia keluar dan berada kokoh seperti penjaga Pantai Berawa. Dalam BBAF, octopus itu digunakan sebagai tempat pertunjukan seni akbar dengan kolaborasi tata cahaya yang kuat.
“Octopus giant upaya mengangkat “spirit kelautan” dengan intensi yang lebih kuat sebagai suatu “manifesto kesadaran”. Octopus giant ini inspirasi visual yang punya konten sebagai metafor kecerdasan dalam membangun narasi spirit kelautan nusantara,” kata Ketut Putrayasa, sang kreator.
Dalam kontek keindonesiaan, kata dia, kelautan adalah soal yang sangat luas dan menentukan dalam konstelasi negara bangsa serta peradaban. Kelautan sebagai kosmosa ekologis dan kultural dengan segala dimensinya. Saat ini perlu mendapat “penyegaran narasi” yang dapat menjadi kanal untuk memicu berbagai konten kesadaran ihwal kelautan. “Intinya, spirit kelautan “blue spirit” bisa menjadi tagar kunci dalam wacana dan sosialita kelautan, bisa memicu tagar turunan, seperti “blue cultural”, “blue economic” dan sebagainya,” imbuhnya.
Bali, dalam tatanan kosmologi, menempatkan segara atau laut sangat vital sebagai sumber budaya dan spiritual. Esensi kosmologi kelautan Bali adalah keharmonisan berkesinambungan dalam pola hubungan hita karana manusia dan alam. “Suatu intensi kedalaman spirit yang kemudian melahirkan kearifan lokal, yang kini terformalkan dalam dresta desa mawecara, semacam regulasi adat yang menjadi koridor praksis pada masing-masing wilayah praktek kebudayaan,” papar Putrayasa.
Seniman nyentrik yang berasal dari Banjar Tandeg Tibu Beneng, Canggu Kuta Utara menambahkan, kearifan lokal budaya kelautan ini sejatinya adalah modal kultural yang bisa menjadi landasan regulatif dalam mengelola dan menjaga lautan dari bahaya destruksi peradaban, serta landasan kultural dalam upaya mengawal pembangunan berkelanjutan. Bali, pada kenyataannya tidaklah terhindar dari bahaya kerusakan lingkungan, bahkan kasus-kasus kerusakan lingkungan telah memicu berbagai tegangan sosial.
“Bali kini berada pada situasi orkestra kompleks, antara keriuhan ritus ritual, perlombaan eksploitasi sumber daya alam, serta berbagai kepentingan yang beresiko menghasilkan disharmoni peradaban,” ucapnya.
Membangun suatu narasi yang kuat melalui pendekatan seni rupa bukanlah soal yang sederhana, mengingat tipologi praktek persenirupaan pascamodern saat ini dengan segala kompleksitasnya terasa minus dalam soal spirit bernarasi.
“Gelaran seni rupa instalasi octopus giant, secara kontekstual mecoba menawarkan ajakan kultural, menggugah kesadaran serta kepekaan masyarakat tentang persoalan kelautan, karena sejatinya nilai kontekstual suatu karya terletak pada kekuatan menimbulkan berbagai dampak, misalnya; dampak sosial, moral, politik, dan sebagainya,” jelasnya.
Gurita raksasa ini dibentuk dari anyaman bambu yang acak menghasilkan drama artistik formal yang unik dan memiliki sense ekologis. Beberapa obyek lain, seperti ikan juga dari anyaman bambu, masing-masing wujudnya mengandung rasa metaforik, terdisplay secara acak melengkapi nuansa ekologis kelautan.
“Pemilihan gurita sebagai objek utama, karena memiliki alasan inspiratif. Wujud alamiahnya yang unik, memiliki potensi metaporik dan simbolik yang luas,” ujarnya.
Sebagai elemen interaktif, gurita rakasasa itu diekploasi dengan tarian kolosal yang tata tariannya bersifat merespon secara bebas objek, ruang dan area ivent. Inilah visual art projek yang secara keseluruhan, hadir sebagai lanskap visual yang total.
Pantai Berawa sebuah ruang normal“ tersubversi” menjadi ruang seni rupa pertunjukan yang interaktif, mampu meng-advertais ruang dan audien, yang pada galibnya akan memicu efek lanjutan, yaitu munculnya ruang-ruang kesadaran sebagai bagian dari bangkitnya spirit kelautan.
Putrayasa berharap, acara ini bisa menggugah partisipasi masyarakat abad digital yang tentunya potensial memperkaya ruang-ruang kesadaran ekologis kelautan dalam realitas virtual. Sebagai karya outdoor, dari idiasi konsep memakai pendekatan seni rupa pertunjukan dengan penekanan pada aspek interaktif.
Sebagai fokus utama adalah objek gurita raksasa dari anyaman bambu yang berukuran sangat gigantik, dengan juluran kaki yang panjang memungkinkan meng-instalasi area pantai yang luas. Objek diperluas kontennya menjadi ruang/stage pertunjukan. [T]