Muda, bebas, dan penuh ambisi, mungkin demikian saya menggambarkan diri ketika mengenyam pendidikan baik di bangku sarjana dan setelahnya.
Seperti umumnya seorang muda lainnya, saya selalu membayangkan akan sukses dahulu, menikah kemudian setelah mapan, kemudian membina rumah tangga kecil nan bahagia. Dalam benak, ambisi utama sebagai seorang yang suka bepergian tentu mengunjungi tempat yang belum pernah saya kunjungi.
Cara-cara berpikir seperti itu yang kemudian membawa saya memiliki kesempatan untuk melanjutkan studi keluar daerah, wara-wiri di dalam dan luar negeri, keluar masuk kota dan desa hingga beberapa daerah yang susah terjamah, memiliki banyak cita-cita jangka panjang, hingga akhirnya memutuskan untuk bekerja mengabdikan diri dan mencari pengalaman baru di bagian Indonesia timur. Hingga saat itu jalan pikiran saya masih sama.
Waktu terus berjalan, umur tak bisa disangkal. Saya menyadari diri kian beranjak dewasa. Berpikir bebas tak lagi sebebas biasanya. Pun usia juga yang akhirnya membuat saya sadar bahwa kebebasan bukan hanya milik saya sendiri. Hidup memang tak bisa seperti matematika, rasa bebas itu yang kemudian yang menjadi poin perubahan. Kebebasan yang saya rasa pada titik tertentu membuat saya merasa bahwa saya belum mencapai apapun dalam hidup ini.
Ambisi saya seketika berubah, dari yang rasanya tinggi nan muluk-muluk menjadi sangat realistis. Cita-cita kemudian tidak jauh dari membahagiakan orang tua. Caranya? Rawat mereka, mulai pikul beban keluarga selayaknya pria dewasa. Pada akhirnya, berpikir untuk menikah dengan kekasih mulai muncul ke permukaan. Dengan cara demikian, saya tidak perlu jauh dari orang tua dan kekasih lagi.
Saya yang kemudian memutuskan menikah tahun 2018 memang merasa telah siap. Saya memulai menapak dan membuat jejak baru dalam hidup, yang kini tak sendiri lagi. Saya memang terhitung belum lama menikah, pun demikian perubahan yang kami berdua rasakan memang jauh. Awal mula menjalani kehidupan berdua masih terasa seperti sejoli yang berbulan madu, seakan belum menikah.
Selang bulan kedua, kami pun kembali menjalankan kehidupan dan pekerjaan kami sehari-hari untuk menyambung hidup. Istri saya merupakan seorang tenaga medis yang tak jelas kapan libur dan waktu pulangnya. Saya, yang memutuskan berhenti bekerja di Indonesia bagian timur, mendapatkan pekerjaan untuk mengajar di beberapa perguruan tinggi di Bali. Setelah hampir lima tahun menjalin hubungan jarak jauh, saya tidak ingin hidup terpisah lagi. Banyak hal yang harus saya ketahui dari dirinya, pun dia dari saya.
Memiliki kesempatan untuk berkarir yang baru membuat saya memiliki cita cita dan pengharapan tinggi kembali. Saya mulai memiliki banyak kolega, bekerja disana dan disini. Menikmati kesibukan sebagai seorang professional. Berbeda dengan istri, jadwal saya sedikit lebih teratur, pergi jam 7 pagi, pulang jam 10 malam paling cepat.
Tuntutan hidup membuat kami merasa tak ada bedanya dengan ketika berhubungan jarak jauh yang dulu kami jalani. Kami hanya bercengkrama saat malam menjelang tidur. Tidak jarang kami tidak bertemu hingga dua tiga hari karena pekerjaan masing-masing. Walaupun perjalanan karir masih jauh, kami merasa berada dipuncak karir masing-masing terhitung hingga saat itu.
Tuhan memang maha baik, Ia dengan segala rahmatNya kemudian menganugerahi kami seorang keturunan, seorang bidadari kecil datang dalam hidup kami. Datangnya pun mengalir saja. Kami merasa berdoa biasa saja dengan panjatan pada umumnya. Tepat 12 Desember 2018, kami menjadi sepasang ayah dan ibu. Rupa anak menurut orang orang sangat mirip dengan ayahnya, terutama bagian alis, mata, hingga bibir.
Sekali lagi jalan hidup kami berubah. Kami yang semula sangat getol mengejar karir, mulai teralihkan pada anak. Kami berbagi tugas. Pada awal kelahiran anak kami, istri yang masih dalam masa cuti dari pekerjaannya mengembil alih tugas merawat buah hati. Saya tetap menjalankan rutinitas yang saya sebutkan di atas tadi, penuh tanggung jawab. Sesampai rumah pun susah sekali menghabiskan waktu dengan anak. Tidak jarang harus sering tidur lebih larut karena mengerjakan pekerjaan kantor, pun ketika pulang tepat pukul 10 malam saya merasa sangat lelah dan harus istirahat.
Anak kami semakin bertumbuh, matanya mulai melihat sosok orang tuanya, mulai mendengar bisikan-bisikan kami dan merespon dengan gerakan. Sebagaimana bayi pada umumnya, ia akan menangis ketika lapar maupun mengantuk, tertawa saat bercanda, dan tidur saat selesai minum susu. Akan tetapi, anak selalu menangis ketika saya mengajaknya bercanda, ataupun ketika saya gendong. Nangisnya bukan main. Tangannya akan selalu bergetar seakan marah, menolak memandang saya, hingga berontak. Alhasil, istri harus berusaha lebih untuk menenangkan keadaan anak.
Kejadian ini terus berulang, hingga pada satu titik, saya merasa harus bisa lebih dekat dengan anak. Saya dan istri berdiskusi beberapa kali. Saya kemudian memutuskan berhenti dari pekerjaan utama karena berbagai alasan. Pertama, masa cuti istri segera berakhir. Ini berarti kami harus berpikir bagaimana mengasuh anak kami. Mencari perawat maupun pengasuh bayi sempat menjadi opsi. Namun kami merasa anak adalah tanggung jawab kami. Segala tumbuh kembangnya sangat bergantung pada kami. Maka jadilah keputusan kami untuk bertukar peran, hingga saat ini.
Berhenti dari pekerjaan anda, terutama ketika kita memiliki cita cita besar memang terasa rumit. Belum lagi jika anda memikirkan aspek sosial dimana anda sebagai laki-laki (mungkin) dianggap kurang bertanggung jawab sebagai kepala keluarga.
Tidak jarang anda akan ditanya, saat ini sibuk ngapain? Pekerjaan bagaimana? Anda kan memiliki pendidikan yang mumpuni, kenapa di rumah? Akan selalu ada anggapan-anggapan berbeda dari orang disekitar anda. Kami terus terang kurang peduli dengan hal semacam itu. Kami sebagai sebuah keluarga kecil sadar betul bahwa anak adalah asset utama yang tidak akan terbeli dengan apapun.
Maka jadilah kami bertukar peran, setidaknya hingga saat ini. Kendati saya tidak sepenuhnya berhenti dari bekerja, secara finansial memang sangat terasa bedanya. Pendapatan kami memang menurun drastis. Istri saya memang bekerja kembali, tetapi dia pun tetap harus membagi waktunya bekerja agar juga bisa bersama dengan anak, yang juga berarti pendapatannya juga menurun.
Pertanyaannya kemudian, apakah itu setimpal? Saya katakan tidak. Kami mulai merasa bahwa karir merupakan segelintir kebahagiaan, sama sekali tidak setimpal dengan kebahagiaan yang kemudian kami dapatkan bersama anak. Harga sebuah rasa bahagia jauh dari setimpal jika kami bandingkan dengan karir.
Saya harus bersyukur pada Tuhan, yang memberikan jalan rasa bahagia disegala keterbatasan. Berkat keputusan tersebut, saya beserta istri mempu memperhatikan tumbuh kembang anak setiap hari dan akan terus demikian setidaknya hingga ia sedikit lebih besar.
Stigma sosial lain yang datang kami lupakan dengan melihat senyum di wajah anak kami. Dia yang dulu selalu menangis ketika saya gendong, kini tidak lagi. Malah lebih sering tidur dalam pangkuan ayahnya. Dia yang selalu berontak ketika saya ajak bercanda, kini berlaku sebaliknya.
Tangan dan mimik wajahnya lebih sering mengajak bercanda daripada berontak menolak. Elena Dharmesta, begitu kami menamai putri kami. Namanya memiliki arti cahaya terang dari semesta alam. Sesuai namanya, Ia membawa rasa cerah dalam kehidupan kami. Ia merupakan anugerah alam semesta agar kami mampu berbuat lebih sungguh demi keluarga.
Terdengar aneh mungkin, tapi memang seperti kata sepotong bait lagu,
harta yang paling berharga adalah keluarga,
istana yang paling indah adalah keluarga,
puisi yang paling bermakna adalah keluarga,
mutiara tiada tara adalah keluarga. [T]