Proses Pemilihan Umum 2019 yang begitu panjang, membuat para ‘Pengawal Suara’ bertumbangan. Penyebab terbanyak karena kelelahan. Namun, tak sedikit tewas akibat kecelakaan bahkan ada yang nekat bunuh diri.
Pemilu kali ini memang paling melelahkan dari Pemilu-pemilu sebelumnya di Indonesia. Ini karena semua elit politik bertarung untuk merebut suara rakyat. Bukan cuma calon presiden dan wakil presiden. Suara mereka yang mengincar posisi di DPRD Kabupaten/Kota, DPRD Provinsi, DPR RI, hingga DPD RI juga dihitung bersamaan. Wajar, jika personel KPPS banyak yang meninggal. Mereka yang bertugas rata-rata berumur di atas 40 tahun, demi proyek Rp. 500 ribuan mereka rela begadang hanya untuk menghitung suara dan bekerja hampir 24 jam.
Salah satunya Sudarmaji (60 tahun). Warga Pasuruan, Jawa Timur itu menghembuskan nafas terakhir pada 27 april 2019. Sudarmaji merupakan anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang gugur setelah melakukan proses pemungutan suara di TPS 18 Dusun Diwet. Korban meninggalkan dua anak dan tiga cucu.
Kematian ini menambah daftar korban meninggal anggota KPPS di Indonesia. Kabar duka juga menyelimuti petugas kepolisian. AIPTU Gangsar Susanto, meninggal di Rumah Sakit Islam Nashrul Imah Lamongan, Jawa Timur. Dia dipanggil tuhan di hari yang sama dengan Sudarmaji. Sebelum meninggal Gangsar sempat mengeluh sesak nafas kepada istrinya, usai bertugas di TPS Desa Kramat.
Jumlah korban ratusan. Terhimpun pada 28 april 2019, korban meninggal mencapai 345 orang. Diantaranya; dari jajaran KPU 272 orang, jajaran BAWASLU 55 orang, dan jajaran POLRI 18 orang. Mereka meninggal dalam dedikasi untuk mengawal proses demokrasi indonesia dalam pemilu serentak.
Di sisi lain, Komisi Pemilihan Umum yang sadar hal ini menjadi sorotan publik, terus berupaya untuk meringankan duka keluarga yang ditinggalkan. Seperti tak sedia payung sebelum hujan, lalu berobat ke dokter karena meriang kehujanan. Usulan KPU ke KEMENKEU untuk memberikan santunan lewat anggaran penyelenggaraan Pemilu disetujui.
Besaran nilai santunan duka untuk ahli waris mencapai Rp. 36 juta. Bagi yang belum meninggal karena sakit, akan diberikan uang untuk berobat. Besarannya relatif mulai dari Rp. 8 juta hingga Rp. 30 juta, tergantung tingkat parahnya. Namun, nyawa tentunya tak bisa dihargai dengan uang. Keluarga yang ditinggal, tetap kehilangan sosok yang mereka cintai.
Banyaknya korban tetap menjadi perhatian sejumlah pihak. Perkumpulan Untuk Pemilu Dan Demokrasi (PERLUDEM) merasa Pemilu serentak tahun ini tak dipersiapkan dengan semestinya. Jika terus dipaksakan untuk selalu menggelar pemilu serentak, PERLUDEM merekomendasikan penggunaan teknologi dalam proses Pemilu di masa yang akan datang. Apapun bisa dilakukan agar tidak membebani petugas penyelenggara Pemilu.
Dilan
Penggunaan teknologi dalam proses Pemilu mungkin mirip Politik ‘Dilan’ Jokowi dalam upayanya untuk meraup jutaan pemilih milenial dalam Debat Capres Keempat di Hotel Sangri-La, Jakarta, Sabtu 30 Maret 2019 malam lalu. Dilan adalah singkatan dari Digital Melayani yang disebut Jokowi sebagai program baru di bidang pelayanan publik.
Kata ‘Dilan’ identik dengan tokoh di novel karya Pidi Baiq yang sudah dua kali difilmkan. Film ini berkisah tentang kehidupan anak muda bernama Dilan. Dalam pemaparan visi dan misi, Jokowi menyebut akan mengusung reformasi pelayanan publik berbasis teknologi. Seperti; Program e-budgeting, e-procurement, e-planning, e-government yang jadi ujung tombak program Dilan. Nah, KPU bisa juga membuat pemungutan suara dengan istilah e-pemilu.
Di balik semua upaya dan usulan, semua kejadian ini seharusnya menjadi pembelajaran bagi negara. UU Pemilu saat ini harus dievaluasi lagi. Ditinjau lagi apa yang dimaksud Pemilu serentak? Apakah harus harinya sama? Atau petugas lapangan harus sama? Jika petugasnya sama, harus ada jam kerja yang mengatur mereka.
Sistem Pemilu kita memang belum ramah kesehatan. Petugas KPPS di lapangan bekerja hingga 20-24 jam, atau tidak tidur selama beberapa hari. Padahal, jam kerja yang terlalu panjang ini berisiko bagi kesehatan petugas, serta tidak menjamin hasil kerja yang optimal. Hitungan bisa ngawur, dan mengakibatkan kesalahan dalam memasukkan data.
Memang, kita tidak tahu apa yang akan terjadi pada kita di masa mendatang. Semua risiko pasti ada. Tapi semua dapat dimitigasi dan diproteksi. Pemilu tak harus memakan korban jiwa. Pesta demokrasi, harus menjadi kesenangan seluruh masyarakat Indonesia, karena memiliki hasrat untuk pemerintahan yang lebih baik. [T]