SEJAK pertengahan tahun 1960 kreativitas para seniman Bali telah melahirkan dua jenis seni drama. Salah satu seni drama yang dilahirkan adalah Drama Gong. Berbeda dengan dramatari-dramatari tradisional Bali yang sudah ada sebelumnya, seperti Gambuh, Topeng, Arja dan lain-lain, yang menyanjikan lakon menggunakan gerak tari yang mencakup agem, tandang, tangkep, dan tangkis, Drama Gong merupakan seni drama yang lebih menekankan akting realistis dengan dialog verbal. Sebagai elemen pendukung, digunakan set-dekorasi dan tata cahaya, tata rias dan busana, serta gamelan pengiring berupa Gong Kebyar. Jika para pelaku dramatari tradisional Bali menyajikan sebuah lakon dengan cara menari (ngigel) dan menyanyi (nembang), dengan struktur pertunjukan yang baku, para pemain Drama Gong menyajikan lakon dengan memadukan akting dan dialog verbal tanpa tembang dengan struktur pertunjukan yang berubah-ubah. Satu hal yang pasti, kehadiran dan penggunaan gamelan gong (Gong Kebyar) menjadi identitas Drama Gong.
Drama Gong sebagai bagian dari budaya Bali, wajib untuk tetap memegang prinsip 3 (tiga) dasar kesenian Bali yakni satyam (kebenaran), shiwam (kesucian), dan sundaram (keindahan) secara holistik. Kesenian yang tetap memperhatikan ketiga prinsip dasar ini akan mampu menjadi sebuah maha karya yang membahagiakan sekaligus mencerahkan.
Batasan Drama Gong
Drama Gong adalah seni drama Bali yang tergolong baru. Drama ini diciptakan dengan memadukan teknik drama modern (non-tradisional Bali) dengan unsur-unsur kesenian tradisional Bali (Sendratari, Arja, dan Prembon). Tidak terlalu menyimpang untuk mengatakan Drama Gong sebagai percampuran dari unsur-unsur budaya Barat (teater modern) dengan budaya Timur (teater tradisional Bali). Para ahli seni drama Bali memberikan nama Drama Gong kepada seni drama baru ini dengan alasan bahwa dalam pementasan Drama Gong, setiap kehadiran para tokohnya, dari tokoh utama (raja, permaisuri, putra-putri raja, patih) hingga tokoh pendukung (para abdi dan rakyat), ditandai dengan tabuh iringan gamelan gong yang khas, serta setiap aksi para pemain di atas pentas diiringi aksen-aksen gamelan, serta setiap perubahan suasana dramatiknya diikuti oleh perubahan irama dan melodi gamelan gong.
Tokoh seni drama, Anom Ranuara, mengkategorikan Drama Gong sebagai teater rakyat dengan alasan bahwa drama ini memiliki ”sifat-sifat dan bentuk yang sederhana, spontan dan menyatu dengan rakyat” (Ranuara, 1984-1985). . Walaupun jika dilihat dari tata busana dan tehnik pementasannya Drama Gong tidak bisa dikatakan sederhana, namun kesenian ini memang dibawakan secara improvisasi, tanpa berpegang kepada naskah tertulis, dan kesenian ini memang sangat dekat dengan rakyat.

Drama Gong di arena Pesta Kesenian Bali, Raja Buduh (Gede Yudana) dan Liku (Ni Ketut Sukadani) | Foto koleksi Nyoman Wija
Pencipta Drama Gong
Drama Gong diciptakan oleh Anak Agung Gede Raka Payadnya, dari desa Abianbase-Gianyar pada tahun 1966, setelah tragedi Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (PKI). Raka Payadnya mengakui bahwa Drama Gong diciptakan dengan menjadikan Sendratari Jayaprana sebagai materi utama, dengan menggunakan bahasa Indonesia. Baru dua tahun kemudian, dialog semua peran menggunakan bahasa Bali, dan pertunjukannya kemudian diperkaya dan diformulasikan mengikuti dramatari tradisionil Bali terutama Arja dan Prembon. Unsur-unsur teater modern yang dikawinkan dalam Drama Gong antara lain: dekorasi yang bercorak realis, penggunaan sound effect, akting dan tata busana yang lebih realis. Karena dominasi dan pengaruh kesenian tradisional Bali masih begitu kuat, maka semula Drama Gong disebut sebagai ”drama klasik”. Adalah almarhum I Gusti Bagus Nyoman Panji, mantan Direktur Kokar-Bali, yang menawarkan untuk menamakan drama baru ini dengan Drama Gong. Dasar pikiran untuk memberikan nama seperti ini adalah adanya dua materi baku yang melahirkan seni pertunjukan baru ini, yaitu seni drama dan gamelan gong, yakni Gong Kebyar (Listibiya Propinsi Bali, 1970)
Patut dicatat bahwa sekitar akhir tahun 1950-an dan awal tahun 1960-an, sebelum lahirnya Drama Gong, di banyak tempat di Bali telah berkembang Sandiwara atau Stambul yang diiringi dengan beberapa alat-alat gamelan, seperti gangsa, kajar, gong, kendang (Ranuara, 1984-1985). Pertunjukan Sandiwara atau Stambul tersebut banyak dilakukan di sekolah-sekolah, sebagai bagian dari pembinaan apresiasi seni sastra dan bahasa, yang biasanya didakan setiap menjelang hari kenaikan kelas. Misalnya saja, sebelum G.30.S PKI, setiap menjelang kenaikan kelas, beberapa kali Sekolah Menengah Pertama (SMP) ”Tresna Yasa” Singapadu telah mementaskan Sandiwara dengan tehnik panggung proscenium. Lakon-lakon yang dimainkan dalam Sandiwara dibagi ke dalam 4 atau 5 babak dengan menggunakan alat-alat gamelan seperti gangsa, kendang, kajar dan gong atau rebana sebagai musik pengiring. Pada setiap peralihan babak ditampilkan selipan berupa nyanyian-nyanyian dengan iringan band, demontrasi akrobat, deklamasi atau pembacaan puisi. Dua sutradara yang banyak berperan dalam pertunjukan Sandiwara ketika itu adalah I Wayan Puja dari Banjar Seseh-Singapadu dan almarhum I Wayan Sweca dari Banjar Samu, Desa Singapadu Utara.[1] Namun demikian, dalam penyajian lakon ini unsur musik gamelannya (Gong) tidak terlalu dominan karena penggunaannya lebih banyak difungsikan sebagai ilustrasi dan untuk memberi ”warna” Bali pada seni drama yang dipentaskan.
Drama lain yang sangat populer ketika itu adalah Drama Janger, sebuah seni drama bergaya realis (seperti Sandiwara) yang menjadi bagian pertunjukan tari Janger. Sudah menjadi kebiasaan dari pertunjukan tari Janger ketika itu, yang pada umumnya berafiliasi dengan salah satu dari dua partai besar yang ber-saing ketika itu, Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Partai Komunis Indonesia (PKI), untuk menampilkan sebuah drama yang menyajikan lakon yang terkait dengan visi dari partai politik yang diusungnya. Penggunaan tenda (layar latar belakang yang dilukis), penyajian kisah-kisah yang bersumber pada kehidupan sosial sehari-hari, dengan bumbu-bumbu berbau kritik sosial, dengan akting realistis, merupakan ciri khas dari Drama Janger. Satu hal yang membedakan Drama Janger dengan Sandiwara atau Stambulan, adalah sajian lakonnya yang bersambung secara utuh tanpa ada sajian selingan.
Drama Gong adalah sebuah seni drama yang pada umumnya menampilkan lakon-lakon yang bersumber dari cerita-cerita rakyat yang agak romantis yang diambil dari beberapa sumber seperti cerita Panji (Malat), cerita rakyat Bali seperti Jayaprana, Sampik Ing Tai, Dukuh Siladri, Cupak Grantang, dan lain sebagainya. Dalam membawakan lakon-lakon ini, para pemain Drama Gong tidak menari seperti penari Gambuh atau Topeng melainkan hanya berakting menggunakan sikap dasar tari Bali (ngagem atau metandang). Dialog-dialog diucapkan dalam Bahasa Bali, Bahasa Indonesia, atau campuran dari keduanya, tanpa tembang.
Peran-peran utama dalam Drama Gong diciptakan sedemikian rupa mengikuti tipe-tipe watak (stock character) dari peran-peran dramatari tradisional seperti Arja. Akibatnya dalam Drama Gong kemudian muncul pembagian peran-peran menjadi raja manis, raja buduh, putri manis, putri buduh, dan lain sebagainya. Peran-peran utama Drama Gong mengenakan busana tradisional Bali yang terdiri atas busana kebesaran upacara adat dan agama, payas agung yang paling lengkap dan payas madia yang lebih sederhana, kecuali peran-peran abdi dan rakyat yang mengenakan busana kerakyatan (orang desa). Setiap gerak pemain di atas pentas, begitu pula perubahan suasana dramatik dalam lakon, selalu diikat oleh, atau ditandai dengan perubahan melodi dan irama gamelan gong.
Manurut almarhum Agung Payadnya, Drama Gong semula diberi nama “drama klasik.” Seni drama dengan Jayaprana ini, yang diciptakannya menggunakan Sendratari Jayaprana sebagai sumber acuan, pertama kali pentas di Abianbase dan berhasil memukau penonton. Berita munculnya drama klasik ini dengan cepat menyebar ke berbagai desa yang membuat Seka Drama Gong Wijaya Kusuma mulai menerima banyak permintaan dari masyarakat untuk pentas (ngayah). Pada waktu Drama Klasik Jayaprana Abianbase pentas di Banjar Babakan Sukawati. Almarhum I Gusti Bagus Nyoman Pandji, yang ketika itu adalah Direktur Kokar-Bali, datang menonton. Seusai pertunjukan, Bapak Pandji datang ke belakang panggung sembari menyarankan agar sebutan Drama Klasik diganti dengan Drama Gong. Sejak itu, Seka Drama Klasik Wijaya Kusuma Abianbase berubah menjadi Seka Drama Gong Wijaya Kusuma.
Untuk beberapa tahun, Drama Gong Abianbase menggunakan dialog campuran bahasa Indonesia dan bahasa Bali. Baru setelah Festival Drama Gong yang diadakan oleh Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) pada tahun 1968 di Taman Hiburan Rakyat (THR) Setra Gandamayu Pamedilan Denpasar, Drama Gong Abianbase sepenuhnya menggunakan bahasa Bali ketika mementaskan lakon berjudul Mudita (dari cerita Dukuh Siladri).
Masyarakat Bali pada umumnya mementaskan Drama Gong, sebagai seni balih-balihan, yaitu seni tontonan yang bersifat sekuler, untuk berbagai kebu-tuhan, baik dalam kaitannya dengan upacara adat dan agama, maupun untu acara sosial lainnya. Seni drama ini bisa dipentaskan di halaman luar pura, balai banjar, atau di ruang-ruang publik lainnya. Satu hal yang patut dicatat, Drama Gong mengawali budaya pertunjukan di kalangan masyarakat Bali yang menggunakan panggung dan dengan penonton yang dipungut bayaran atau dikarciskan. Sebelumnya pertunjukan kesenian untuk masyarakat pada umumnya tidak dipungut bayaran alias gratis karena segala biaya untuk pementasan sudah ditanggung oleh pihak penyelenggara, baik itu desa atau banjar maupun keluarga dan perorangan.
Masa Kejayaan Drama Gong
Drama Gong mulai berkembang di Bali sejak tahun 1967 dengan puncak kejayaannya sekitar tahun 1970-an, jika tidak awal 1980-an. Puncak kejayaan Drama Gong ditandai dengan diselenggaraannya Festival Drama Gong se-Bali oleh Majelis Pertimbangan dan Pembinaan Kebudayaan (Listibiya) Bali bertempat di Gedung Lila Bhuwana Denpasar. Pada Festival Drama Gong tersebut, Drama Gong Wijaya Kusuma Abianbase, sebagai Duta Kabupaten Gianyar, keluar sebagai Juara I.
Pada masa-masa kejayaan Drama Gong, para penggemar dramatari tradisional Bali seperti Arja, Topeng, dan Calonarang, juga para penggemar Wayang Kulit, sebagian besar ”lari” ke Drama Gong. Panggung-panggung besar di Kota Denpasar, yang semula menjadi langganan Arja, Prembon, atau Topeng diambil alih oleh Drama Gong. Karena ketika itu mayoritas masyarakat Bali benar-benar kecanduan Drama Gong maka hampir setiap desa bahkan banjar memiliki sekaa Drama Gong.
Di zaman keemasan Drama Gong, di Kota Denpasar sendiri bisa terjadi antara lima sampai enam pementasan Drama Gong di tempat yang berbeda. Di antara tempat-tempat yang biasa menjadi langganan Drama Gong ketika itu di Denpasar adalah Stage Abiankapas (sebelah timur Balai banjar Abian Kapas Kaja) Stage Setra Bantas Kayumas, Panggung Tri Prasetya RRI Denpasar, Jalan Melati Denpasar, Balai Banjar Tampakgangsul, Balai Banjar Titih, dan Stage Setra Ganda Mayu Pemedilan. Setiap malam Minggu, menjelang sore hari, grup-grup Drama Gong mulai masuk kota untuk menuju tempat pementasan masing-masing.[2] Sejumlah sekaa Drama Gong yang pernah berjaya di Bali ketika itu antara lain, Drama Gong Puri Agung Singapadu, Drama Gong Semara dan Cakra Bhuwana Sukawati, Drama Gong Wijaya Kusuma Abianbase-Gianyar, Drama Gong Kertha Budaya Denpasar, Drama Gong Kacang Dawa Klungkung, Drama Gong Puspa Anom Banyuning-Singaraja, Drama Gong Bintang Bali Timur, Drama Gong Duta Budaya Bali, Drama Gong Dewan Kesenian Denpasar, dan Drama Gong Dwipa Sancaya.
Sejak pertengahan tahun 1980-an popularitas Drama Gong mulai berkurang. Salah satu penyebabnya adalah masuknya televisi ke Bali yang membuat masyarakat lebih memilih untuk menonton di rumah (di ruang tamu) dari pada harus berjalan jauh-jauh ke tempat pertunjukan. Seiring dengan semakin lesunya minat masyarakat untuk menonton Drama Gong, satu persatu sekaa-sekaa Drama Gong menghentikan kegiatannya. Di awali oleh sekaa Drama Gong ternama seperti Drama Gong Wijaya Kusuma Abianbase-Gianyar, Drama Gong Kertha Budaya Denpasar, Drama Gong Kacang Dawa Klungkung, Drama Gong Puspa Anom Banyuning-Singaraja kemudian disusul oleh sekaa-sekaa Drama Gong lainnya. Menjelang milenium baru, Drama Gong yang sudah ”kehilangan gongnya” sepertinya sudah benar-benar hilang dari peredaran (Dibia, 2003).[3]
Munculnya Drama-drama Baru
Setelah Drama Gong, kreativitas tanpa henti dari para seniman Bali kembali melahirkan dua seni drama baru. Kedua seni drama yang dimaksud adalah Drama Klasik dan Drama Lawak.
Drama Klasik pada dasarnya adalah seni drama yang menyajikan lakon-lakon klasik pewayangan, baik yang diambil dari epos Mahabharata maupun Ramayana. Dalam penggolongan Anom Ranuara, Drama Klasik dimasukkan ke dalam kelompok teater transisi dalam pengertian sebuah seni drama yang bersumber dari teater tradisional tetapi dengan gaya penyuguhan yang sudah dipengaruhi oleh teater Barat (Ranuara, 1984-1985). Berbeda dengan yang terjadi dalam Drama Gong, dalam pertunjukan Drama Klasik gamelan pengiring tidak terlalu mengikat aksi pemain di atas pentas bahkan pada bagian-bagian tertentu gamelan hanya berfungsi sebagai ilustrasi, atau pengisi kekosongan tatkala terjadi pergantian adegan. Selain itu, penabuh gamelan tidak pernah ditampilkan di atas pentas, mereka disembunyikan di luar arena atau di balik layar. Jalannya lakon, pergantian adegan, dan dialog para pemain Drama Klasik dituangkan ke dalam sebuah naskah yang disusun oleh seorang sutradara. Hal ini berbeda dengan Drama Gong di mana naskah tidak pernah menjadi penentu penampilan pemain di atas panggung. Kemudian, dalam membawakan lakon, para pemain Drama Klasik mengenakan busana dengan desain bergaya wayang, setiap pemain berakting secara realistis, menggunakan dialog berbahasa Indonesia seperti gaya Sandiwara tempo dulu, atau menggunakan bahasa Bali dengan gaya deklamasi.
Drama Klasik diciptakan oleh seorang tokoh drama dari Denpasar, Ida Bagus Anom Ranuara, melalui sanggar bernama Teater Mini Badung yang dipimpinnya dan bermarkas di Kota Denpasar. Drama ini mulai muncul menjelang akhir tahun 1970-an yang kehadirannya banyak didorong oleh Televisi Republik Indonesia (TVRI) Stasiun Denpasar. Dalam perjalanannya kemudian, penampilan Drama Klasik karya Anom Ranuara sebagian besar di layar kaca. Pada awalnya Drama Klasik bisa tampil hampir setiap minggu di TVRI, beberapa tahun kemudian menjadi satu kali dalam sebulan.
Berbeda dengan Drama Gong, dalam Drama Klasik tidak digunakan peran punakawan untuk menerjemahkan atau mengelaborasikan dialog dari tokoh-tokoh utama dalam lakon yang dibawakan. Set dekorasi dan properti panggungnya yang realistis menjadi salah satu kekuatan dari Drama Klasik. Satu hal lagi, durasi Drama Klasik jauh lebih singkat, antara 1 sampai 2 jam, jika dibandingkan dengan Drama Gong yang biasa pentas semalam suntuk. Pada masa jaya-jayanya, Drama Klasik menjadi salah satu nomor andalan dari program TVRI Denpasar.
Drama Lawak adalah seni drama yang berisikan adegan-adegan penuh humor (comedy). Drama ini merupakan kelanjutan dari seni drama berdialog verbal, Drama Gong maupun Drama Klasik Bali. Berbeda dengan kebiasaan pada seni drama tradisional Bali yang muatan dramatiknya cenderung untuk menyeimbangkan proporsi adegan lucu (comedy) dengan yang serius (tragedy) sehingga melahirkan sebuah drama campuran yang tragi-komedi (tragicomedy), Drama Lawak hanya mengutamakan humor (comedy).
Drama Lawak pada dasarnya suatu bentuk pertahanan, atau ungkapan rasa kangen pentas, dari para pelawak Drama Gong dari beberapa grup yang berbeda. Untuk menampung dorongan pentas mereka lalu dibentuk semacam paguyuban lawak yang mempertemukan mereka. Drama Lawak ini menggabungkan bukan saja pelawak-pelawak Drama Gong, melainkan juga pemain Bondres dari Calonarang, Topeng, dan Arja Laki-laki (Arja Cowok). Tidak jarang, Drama Lawak juga melibatkan para penyanyi lagu Pop Bali. Pelawak-pelawak Drama Gong yang sering muncul dalam Drama Lawak ini antara lain Pidada sebagai Dadab Subrata sebagai Petruk, Tarma sebagai Dolar, Suarsana sebagai Dogler, dan Arimbawa sebagai Lolak. Pemain Bondres Calonarang yang sering muncul adalah Suanda sebagai Cedil. Tiga orang pemain Arja Cowok yang biasa tampil dalam Drama Lawak adalah Cilik sebagai Dek Cilik, Sugama sebagai Codet, dan Juana sebagai Dadong Rerod. Dari Bali Utara, beberapa pemain yang juga acapkali ikut bergabung dalam pertunjukan Drama Lawak adalah Durpa sebagai Ngurah Toni, Sudika sebagai Susi. Dalam pementasan Drama Lawak para pelawak ini pada umumnya mempertahankan “identitas” asli dari seni drama yang melahirkan mereka. Misalnya, Subrata (Petruk), Tarma (Dólar), Pidada (Dadab), Rukeg (Kiul) dengan Drama Gongnya, Swanda (Cedil) dengan Calonarangnya, Durpa (Tony) dengan Topengnya. Dengan ditampilkannya pelawak-pelawak dengan “warna dan identitas” yang berbeda-beda ini maka terciptalah sebuah pertunjukan baru yang dapat disebut sebagai “prembon lawak” atau drama lawak campuran dari para pelawak yang berasal dan beridentitas berbagai jenis seni drama Bali.
Sejak dua dekade belakangan ini muncul sebuah pertunjukan “kola-borasi” yang memadukan Wayang Kulit, lagu Pop, dan Drama Lawak. Dengan judul yang aktual seperti: “Cedil Nyaleg” (Cedil Menjadi Calon Legislatif), “Dolar Dadi Cagub” (Dolar Menjadi Calon Gubernur), pertunjukan gabungan ini sering kali ditampilkan sebagai hiburan rakyat yang bernuansa komersial, politis, dan hiburan.
Terlepas dari wujudnya yang campuran, Drama Lawak termasuk tontonan yang sangat diminati oleh penonton dewasa ini. Penampilan mereka di layar kaca (TV Denpasar, BaliTV, DewataTV) selalu ditunggu-tunggu, dan pementasan mereka di panggung-panggung besar seperti di Open Stage Ardha Chandra, Taman Budaya, selalu dipadati penonton. Hal ini mengukuhkan Drama Lawak sebagai salah satu wujud perkembangan seni drama rakyat yang masih populer di Bali hingga saat ini. Ketika kemudian muncul gagasan untuk membangkitkan Drama Gong, para pelawak ini dimasukkan kembali ke dalam Drama Gong. Hasilnya munculah Drama Gong berlakon Panji dengan punakawan bernama Dadab dan Kiul, atau Petruk dan Dólar, dari pada Punta dan Wijil. Beberapa tahun kemudian, banyak terjadi pertunjukan Prembon yang menampilkan punakawan atau lawakan dengan nama-nama seperti ini.
Di balik perbedaan konsep estetiknya, Drama Gong, Drama Klasik, dan Drama Lawak adalah tiga bentuk seni drama yang memiliki perkembangan yang saling terkait. Drama Gong banyak merangsang munculnya Drama Klasik dan Drama Lawak. Belakangan ini Drama Lawak banyak mempengaruhi Drama Gong. Satu hal yang pasti, Dalam kurun waktu yang berbeda, ketiga seni drama ini menjadi seni pertunjukan dramatik yang pernah merajai panggung-panggung pertunjukan di Pulau Dewata.
Drama Gong Sebagai Pengemban Bahasa Bali
Dominannya penggunaan bahasa Bali dalam pertunjukan Drama Gong menjadikan seni drama ini menjadi kesenian pengemban bahasa Bali. Dengan ini dimaksudkan bahwa Drama Gong merupakan ajang dan ruang bagi masyarakat untuk mempelajari dan mengetahui penggunaan Bahasa Bali dengan berbagai tingkatannya. Konsekwensinya, ketika Drama Gong menjadi pengemban bahasa Bali, banyak penonton yang berharap bisa untuk belajar bahasa Bali melalui pertunjukan seni drama ini. Oleh sebab itu, para pemain Drama Gong dituntut agar mampu menggunakan bahasa Bali yang baik dan benar sesuai tata krama, tata titi, dan anggah-ungguh kruna bahasa Bali, sesuai peran yang dibawakan dan seturut dengan suasana dramatik dari sebuah lakon yang dibawakan.
Sebagai perbandingan, Arja sering dikatakan sebagai seni drama pengemban tembang macapat. Hal ini tiada lain disebabkan oleh penggunaan tembang macapat yang begitu dominan dalam pertunjukan Arja. Hampir semua peran menggunakan tembang dengan pupuh yang berbeda-beda. Bahasa yang digunakan dalam tembang-tembang Arja dominan bahasa Bali, baik yang alus dan madya, maupun kasar yang di sana sini diperkaya, bahkan dituakan, dengan kata-kata bahasa Kawi. Dalam Drama Gong, bahasa Bali digunakan dalam bahasa sehari-hari, bukan dalam bentuk tembang, namun dengan cara ungkap dan percakapan beretorika tertentu.
Dalam pertunjukan Drama Gong, sesuai peran yang dibawakan, dan sesuai suasana dramatik yang digambarkan, para pelaku menggunakan bahasa Bali dengan ketiga tingkatannya yang biasa dikenal dengan Bahasa Bali alus, madya, dan kasar dengan berbagai tingkatannya. Dalam mengucapkan bahasa-bahasa ini para pemain menggunakan bahasa gerak sesuai peran yang dibawakan.
Secara umum dapat dikatakan bahwa Bahasa Bali alus digunakan untuk berkomunikasi atau menyebutkan orang-orang atau tokoh yang patut ditinggikan atau dihormati dengan menggunakan kata-kata Bali alus. Biasanya bahasa alus diucapakan dalam suasana formal atau tenang, dengan iringan tabuh-tabuh yang tenang dan agung seperti legod bawa, atau bapang gede. Dalam suasana seperti ini, ketika seorang abdi mempersilahkan seorang patih, atau orang yang belum dikenal untuk makan digunakan kata ngajengang, untuk raja digunakan ngerayunang. Menyebut makanan untuk patih atau orang yang tidak dikenal digunakan kata ajengan, untuk raja digunakan rayunan.
Bahasa Bali madya digunakan untuk berkomunikasi atau menyebutkan orang-orang atau tokoh yang setingkat atau sejajar, termasuk orang yang tidak dikenal. Raja dengan permaisuri, abdi dengan sesama abdi, atau dengan orang yang belum dikenal, menggunakan bahasa Bali madya yang menggunakan kata-kata Bali madya. Biasanya bahasa madya diucapakan dalam suasana tenang dan ceria dengan iringan tabuh-tabuh yang tenang dan gembira seperti bapang atau gegaboran. Dalam suasana biasa dan tenang, ketika seorang abdi mempersilahkan abdi lainnya untuk makan maka kata medaar yang digunakan, untuk duduk kata negak yang digunakan, untuk tidur digunakan kata pules. Untuk panggilan kamu, maka kata cai atau nyai biasa digunakan. Untuk memanggil orang yang belum dikenal biasa digunakan kata jero.
Bahasa Bali kasar digunakan untuk berkomunikasi atau menyebutkan orang-orang atau tokoh yang dianggap lebih rendah, atau yang ingin direndahkan bahkan dinistakan. Biasanya bahasa madya diucapakan dalam suasana tegang dan mencekam dengan iringan tabuh-tabuh yang bersuana seperti batel atau kale. Contohnya, seorang abdi yang dengan marah dan kecewa menyuruh abdi lainnya untuk makan, yang bisa saja menggunakan kata ngamah, ngleklek, pantet dan lain-lain. Ketika seorang raja menyebutkan mulut abdinya, ia bisa saja menggunakan kata bungut. Atau ketika seorang raja yang marah lalu menghardik abdinya bisa saja menggunakan kata-kata cicing cai, bangken kuluk, atau jelema matemah cai, dan lain-lain.
Uraian singkat di atas menunjukkan bahwa dalam pertunjukan Drama Gong, begitu juga drama-drama tradisional Bali lainnya, bahasa kasar tetap bisa digunakan. Jadi, penggunaan Bahasa Bali kasar sudah biasa dan oleh sebab itu tidak dilarang dalam seni pertunjukan. Berdasarkan pentunjuk para seniman dan tetua di masa lampau, ungkapan memisuh tidak pantas dilakukan di depan umum atau ruang publik seperti kalangan tempat pertunjukan.
Pada dasarnya memisuh, yang berbeda dengan bahasa kasar, adalah ujar kata yang menggunakan kata-kata kotor dalam Bahasa Bali. Kata-kata pisuhan seperti endas keleng, sakit gede, bangsat dan lain-lain. Para seniman tua tidak membolehkan para muridnya memisuh di atas pentas karena ungkapan kotor seperti ini bisa menodai kesucian kalangan sebagai sebuah tempat yang sudah disucikan dengan sesaji prayascita. Di samping itu, memisuh diyakini bisa mengotori sajian seni sebagai ciptaan Tuhan.
Demikian beberapa hal yang kiranya bisa dijadikan bahan dalam upaya kita meningkatkan kualitas karya seni yang akan disajikan di forum festival bergengsi seperti Pesta Kesenian Bali. Hal ini wajib secara sinergis kita lakukan jika kita ingin memuliakan seni budaya Bali.
Drama Gong Puspa Anom Banyuning Singaraja
Pada puncak kejayaann Drama Gong ada 2 (dua) sekaa yang menjadi idola masyarakat dan yang dapat dikatakan paling digemari di Bali. Kedua sekaa ini adalah Drama Gong Wijaya Kusuma Abianbase Gianyar dan Drama Gong Puspa Anom Banyuning Singaraja. Sekaa Drama Gong Abianbase adaah reperesentasi seni drama gaya Bali Selatan yang dikagumi dengan kemampuan akting dan improvisasinya para pemainnya, sementara Drama Gong Banyuning merupakan representasi seni drama gaya Bali Utara dikabumi karena teknik pentas dan dasar dramaturginya. Kedua sekaa ini sering tampil saling silang, Drama Gong Abianbase tampil ke beberapa desa Bali Utara sedangkan Drama Gong Banyuning pentas ke beberapa tempat di Bali Selatan
Mendengar nama Drama Gong Puspa Anom Banyuning para penggemar Drama Gong akan teringat dengan seni drama yang menggunakan set dekorasi realis berupa tenda-tenda gulung beserta set dekorasinya, cerita romantis-tragis Sampik Ingtai, dan dialog ceplas ceplos dialek Buleleng. Ketiga hal ini menjadi penciri dan identitas dari Drama Gong Banyuning.
Puluhan tenda gulung yang biasa digunakan dalam pertunjukan Drama Gong Banyuning. Di pasang sebagai latar belakang, setiap tenda dilukis dengan berbagai panorama seperti kerajaan, taman, pura, pedesaan, persawahan, hutan, dan lain sebagainya. Tenda-tenda ini dipilih berdasarkan lakon yang dibawakan. Dalam lakon Sampik Ingtai, misalnya, hampir dapat dipastikan akan ada tenda pemandangan alam dengan rumah kecil, kamar tidur, balai bertingkat, kuburan dengan makam berwarna biru bertulisakan Sampik dalam huruf Cina, yang semuanya disebut dalam Gaguritan Sampik Ingtai. Lakon ini biasanya ditulis dalam sebuah naskah, lengkap dengan pembabakan, adegan, dan dialog serta petunjuk panggung, yang dijadikan pegangan oleh para pemain. Penggunaan naskah tertulis seperti ini membuat lelucon Drama Gong Banyuning tidak bisa keluar dari, apa lagi bertentangan dengan, alur cerita yang dibawakan.
Salah satu lakon unggulan dari Drama Gong Banyuning adalah Sampik Ingtai, cerita rakyat Bali yang berisikan kisah percintaan dua remaja Cina, yaitu Sampik dan Ingtai, yang telah berjanji sehidup semati. Cerita ini ditulis di Bali pada tahun 1918. Cerita Sampik Ingtai, yang romantis walaupun berakhir tragis, merupakan sebuah lakon yang tergolong lengkap, serba berisi (pada misi), ada romannya, lucunya, sedihnya, tegangnya, yang melintas di sepanjang perjalanan lakon. Di awal cerita, penonton disuguhi adegan lucu yang sedikit menggelikan oleh ucapan dan perilaku Suntiang, ayah Sampik, yang kaya namun kikir. Pada bagian berikutnya penonton dibuat gemas dengan Sampik yang tidak mampu menangkap bahkan mengabaikan ”rayuan dan godaan” sicantik Ingtai yang telah mencintainya sejak pertemuan pertamanya mereka di sebuah persimpangan jalan. Di tengah-tengah perjalanan lakon, air mata penonton mulai dikuras dengan kesedihan Sampik yang berakhir dengan kematiannya akibat patah hati setelah lamarannya ditolak Ingtai. Di akhir pertunjukan penonton disuguhkan adegan tegang ketika Macun panik kehilangan Ingtai yang menceburkan diri ke liang kubur Sampik yang sangat ia cintai.
Dengan dialog berdialek Bali Utara, dalam sajian Drama Gong Banyuning penonton disuguhkan bahasa Bali yang lengkap dan utuh dalam ketiga tingkatannya (alus, madya, kasar). Para pembaca Gaguritan Sampik mungkin masih ingat dengan bait-bait hujatan Suntiang terhadap Ingtai, penyebab kematian anaknya. Di salah satu bait dari Gaguritan ini tertulis kalimat ”. . . Ingtai bangsat” namun dalam pertunjukan kata pisuhan ini hampir tidak pernah dilontarkan. Bukan karena para pemain tidak setia dengan isi Gaguritan melainkan karena mereka tahu dan sadar bahwa ujaran memisuh merupakan sesuatu yang tidak patut diungkapkan di depan umum.
Itulah beberapa hal yang menjadi keunggulan dari Drama Gong Banyuning Singaraja, yang pernah menjadi idola masyarakat Bali. Sayang sekali, seiring dengan memudarnya popularitas Drama Gong, kesenian dari Bali Utara ini nyaris terlupakan walaupun masih dirindukan khususnya oleh para penonton yang pernah menyaksikannya. Oleh sebab itu, kehadiran Drama Gong Puspa Anom Banyuning di Pesta Kesenian Bali akan mampu mengobati, walaupun tidak sepenuhnya, bukan saja kerinduan masyarakat terhadap Drama Gong lawas melainkan juga menyajikan sebuah model Drama Gong yang memiliki ciri khas dengan sajiannya yang mengintegrasikan ketiga prinsip dasar kesenian Bali, yakni satyam, shiwam, sundaram.
Penutup
Walaupun merupakan sebuah kesenian pendatang baru di ranah kesenian Bali, Drama Gong adalah karya seni yang memiliki posisi strategis dalam pelestarian seni budaya Bali. Kendatipun kehadirannya banyak dipengaruhi oleh kesenian-kesenian tradisional yang telah ada namun dalam pertunjukannya kesenian-kesenian ini juga kemudian banyak mengadopsi unsur-unsur pertunjukan Drama Gong. Dengan sajian yang secara konsep menyeimbangan adegan serius dan lucu, pertunjukan Drama Gong menjadi tontonan yang sarat tuntunan. Dalam kaitan inilah ungkapan dan ujaran yang beretika, dalam kemasan estetika dan berdasarkan pada logika, menjadi sangat penting untuk dipegang oleh para pragina Drama Gong yang telah memilih jalan sebagai guru loka (guru masyarakat). [T]
Referensi
Dibia, I Wayan Dibia. 2003. ”Drama Gong Kehilangan Gongnya”, makalah dibacakan dalam Sarasehan Drama Gong se Bali, dalam rangka Pesta Kesenian Bali ke XXV di Natya Mandala, STSI Denpasar, tanggal 23 November.
Listibiya (penerbit). 1970. Hasil Seminar I Drama Gong se Bali. Denpasar: Listibiya Propinsi Bali.
Ranuara, Anom. 1984-1985. Teater Di Bali Dari Masa ke Masa (Denpasar: Proyek Pengembangan Ksenian Bali, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departeman Pendidikan dan Kebudayaan.
[1]Ketika masih duduk di bangku SMP, yaitu SMP Tresna Yasa Singapadu, beberapa kali penulis ikut terlibat sebagai pemain gamelan. Namun sebutan ”drama gong” belum pernah terdengar ketika itu.
[2]Antara tahun 1966 sampai 1973 penulis ikut terlibat sebagai penabuh (pemain kendang), dari Sekaa Gong Patra Kencana Singapadu yang mengiringi Drama Gong Jayaprana Puri Agung Singapadu, dan Drama Gong Kertha Budaya Denpasar. Setiap kali pentas, penulis harus melek dari pukul 10.00 malam sampai pukul 05.00 pagi (keesokan harinya).
Penulis: I Wayan Dibia
Editor: Adnyana Ole
- BACA JUGA: