tin.ja, kotoran atau hasil buangan yang dikeluarkan dari alat pencernaan ke luar tubuh melalui dubur, mengandung zat-zat makanan yang tidak dapat dicernakan dan zat-zat yang tidak berasal dari makanan, misalnya jaringan yang aus, mikroba yang mati; feses; kotoran i (KBBI)
SAYA akan memberikan judul tulisan ini tinja. Tinja adalah entah kata dari bahasa mana karena dalam KBBI tidak disebut asal kata ini. Siapapun tahu apa artinya. Mohon maaf karena akan menulis tentang tinja dan bukan tentang topik-topik yang biasa saya tulis. Keinginan berbagi pengalaman di tengah ramainya program pengolahan sampah berbasis sumber yang menjadi program pemerintah di Bali dan program ini sebenarnya ada dalam kerangka besar permasalahan Bali yaitu sampah terutama sampah plastik.
Saya tinggal di desa dan tidak ada program pemerintah desa mengangkut sampah ke TPA tapi membuang sampah sendiri di suatu tempat karena pada masa tahun-tahun 1970-an itu masih sangat sedikit plastik. Sebagian besar sampah yang dihasilkan di desa adalah sampah organik, sampah alam, sampah yang mudah sekali busuk dalam waktu yang singkat. Desa tidak tidak mengalami persoalan sampah.
Kota telah mengembangkan program lingkungan atau program kebersihan misalnya dengan adanya TPA. Sampah dari sumber dikumpulkan di satu bak beton, sebagai TPA perantara. Ada petugas kebersihan, truk sampah. Orang kota dilayani, tidak perlu buang sampah. Sampah tersebut ditempatkan di depan rumahnya. Nanti akan ada yang mengambil.
Model pengelolaan sampah itu pda awalnya diyakini akan menyelesaikan masalah persampahan di kota. Sementara itu, model tersebut dibawa ke desa juga. Walaupun agak lambat, desa juga kena program ini, mengambil program model penanganan sampah yang ada di kota. Masyarakat tentu tanpa pikir panjang menyambut.
Sebelum ada TPA dan sebelum ada plastik, tidak ada persoalan sampah. Model petugas sampah, truk, bak sampah perantara, dan TPA adalah cikal bakal problem sampah. Model pengelolaan sampah urban tersebut membuat warga kota atau pendudukan desa manja dan bergantung pada pihak pemerintah untuk menangani sampahnya sendiri. Masyarakat menganggap sampah itu barang tidak berguna, harus dibuang, yang penting bukan di pekarangannya sendiri. Sampah dibuang di manapun dengan cara apapun. Yang penting tidak di rumah sendiri. Tanggung jawab terhadap sampah yang mereka hasilkan tidak ada.
Program kebersihan dari kota atau di kota-kota dengan adanya pengangkutan, adanya TPA, ternyata membuat masyarakat manja dan masyarakat tidak lagi bertanggung jawab sama sekali dengan sampahnya. Sampah seolah menjadi tanggung jawab pemerintah saja. Kebiasaan ini mengubah pandangan masyarakat Bali terhadap sampah dan sampah kadang-kadang tidak ditangani dengan baik dan bisa dibuang seenaknya entah di mana asal jangan di wilayahnya sendiri atau di lingkungannya sendiri.
Karena itu, ketika mereka ke pura dan pura itu adalah bukan lingkungannya sehingga sampah yang mereka bawa dari makanan atau sesajen pun akan dibuang di lingkungan pura atau di sekitarnya. Tidak ada keinginan untuk membawa kembali sampah itu ke rumah dan untuk diolah di rumah masing-masing.
Pengolahan sampah yang berbasis TPA gagal dan menimbulkan banyak persoalan. Kini ada program pengolahan sampah berbasis sumber. Sebenarnya bukan hal baru. Pada masa lalu masyarakat Bali mengelola sampah sendiri, dengan penuh tanggung jawab menjaga lingkungannya bersih dan asri. Demikian pula untuk menangani sampah yang dihasilkan oleh setiap anggota keluarga: tinja.
Jangan lupa juga setiap individu penghasil sampah atau kotoran atau tinja. Tinja yang dihasilkan oleh setiap orang setiap hari dikelola dengan teknologi kakus, WC, atau toilet. Tidak ada yang bergantung bahwa tinja itu harus dibuang oleh dinas kebersihan ke suatu tempat. Pengelolaan tinja dengan kultur sanitasi dan interior arsitektur, dapat menjadi model pengelolaan sampah yang sudah terbukti sukses dan tidak menimbulkan persoalan lingkungan.
Pengelolaan tinja dilakukan sendiri berbasis keluarga. Setiap keluarga bertanggung jawab kepada tinjanya masing-masing dan bahkan itu aman dan tidak mengganggu lingkungan karena sudah ada standardisasinya, secara kesehatan, interior, dan arsitektur. Bercermin dari sini sebenarnya pemerintah bisa melihat sampah sebagai seperti tinja. Sehingga, program pengelolaan sampah tidak lagi harus ditangani pemerintah. Kembalikan kepada keluarga produsen sampah.
Mengapa persoalan sampah ini menjadi pelik karena kesalahan pemerintah memanjakan dan mengubah kebiasaan masyarakat terhadap sampah. Bukan kebiasaan hidup bersih dalam arti luas tetapi tetapi kebiasaan membuang sampah agar tidak di rumahnya. Sampah itu tidak berguna dan karena itu harus dibuang entah di mana dan dengan cara apapun. Sikap ini kemudian dikembangkan atau dibentuk oleh model penanganan sampah yang selama ini dilakukan di seluruh dunia.
Kembali kepada tinja di mana ini kontradiktif dengan sampah-sampah yang dibuang dan dibiarkan orang lain atau pemerintah mengambil. Tinja kelola dengan baik dan tidak ada persoalan. Jika WC-nya atau tangki tinjanya sudah penuh tinggal memanggil jasa penguras WC. Biayanya tidak dibebankan kepada pemerintah tetapi keluarga bersangkutan.
Nah model pengelolaan sampah tidak perlu muluk-muluk. Pengolahan sampah berbasis keluarga sebagaimana keluarga tersebut mengelola tinja mereka. Cuma di sini perlu diberi catatan, tinja memang berbeda teksturnya dan memungkinkan untuk disimpan langsung pada suatu tempat dan irit tempat. Namun sampah mungkin sedikit berbeda.
Sebenarnya hanya perlu memotong atau mencincang menjadi ukuran lebih kecil sehingga lebih cepat busuk. Dalam hal ini sudah terlalu klise mengenal kategori sampah plastik dan sampah organik. Ada perbedaan antara sampah dan tinja. Tinja secara tekstur, sudah lebih mudah dikelola. Asitektur tinja itu sudah bagus, sudah jelas dan terstandar dengan adanya berbagai toilet, interior toilet, bentuknya, jenisnya, dan dia menjadi bagian yang penting dari rumah. Tetapi, pengolahan sampah berbasis sumber atau berbasis keluarga masih belum ada arsitekturnya. Biopori sudah mengarah ke sana. Juga, teba modern.
Karena memang sampah itu beragam. Paling tidak ada dua. Sebenarnya hanya ada dua jenis; sampah yang mudah busuk dengan sendirinya dan sampah yang susah busuk. Besi adalah sampah yang mudah busuk tetapi akan busuk cepat kalau berkarat. Sebaliknya plastik ini tidak mudah busuk dan ada juga seperti gabus, streofom, tekstil, dan karet (ban). Dalam lahan yang terbatas tidak mampu mengolahnya. Memperlakukannya dengan baik, sampah-sampah yang tidak mudah busuk, dicuci dulu sebelum disimpan.
Sampah-sampah plastik itu dikemas. Setelah dikemas disimpan pada suatu tempat, sebelum dicarikan tempat untuk menjualnya, seperti rongsokan, rombengan, atau bank sampah. Dengan demikian sampah yang dihasilkan itu bersih dan mudah disimpan. Sebenarnya kalau murni sampah plastik, sangat irit tempat.
Cara menyimpan yang paling gampang adalah dipilah tentu saja, kemudian dia dimasukkan ke dalam kantong plastik yang besar dan plastik sangat irit tempat. Dia bisa tahan dalam waktu satu tahun, tidak apa-apa. Nah setelah cukup mungkin baru kita akan jual sehingga dengan demikian sampah itu tidak bercampur dan tidak kotor.
Jadi inilah yang dimaksud bahwa pengelolaan sampah berbasis keluarga atau sumber penghasil sampah. Bisa meniru cara menangani tinja. Pokoknya pemerintah tidak perlu terlalu pusing memikirkan TPA, pengangkutan dengan truk, dan lain-lain. Yang perlu pemerintah siapkan adalah tempat penampungan sampah plastik saja.
Pemerintah bisa membeli mesin press yang besar sehingga sampah plastik warga bisa dipress dan dipadatkan agar sedikit menghabiskan tempat ketika disimpan sebelum diolah atau didaur ulang. Pemerintah cukup mendirikan bank-bank sampah saja. Pemerintah membeli sampah masyarakat kemudian sampah masyarakat itu disimpan untuk sementara, atau diolah dan pada ujungnya dicarikan lagi pemasarannya.
Dengan demikian, sampah yang dihasilkan oleh masyarakat bernilai ekonomi, walaupun tidak terlalu tinggi. Namun bukan nilai ekonominya yang tonjolkan tetapi nilai lingkungannya. Sampah itu terkelola bukan di satu tangan tetapi merata. Semua orang bertanggung jawab, semua orang mengelola sampahnya. Sekali lagi analoginya di setiap rumah ada WC, ada toilet.
Sekarang mungkin sudah ditemukan arsitektur pengelolaan sampah, misalnya biopori dan teba modern. Juga ada yang lebih lama dikenal, membuat kompos atau dengan perkembangan terbaru, membuat eco enzim. Jadi dengan begitu sebenarnya tidak ribet. Persoalan sampah karena membiarkan satu pihak lain yang bertanggung jawab. Bukan karena pemerintah lemah. Nyatanya pemerintah gagal karena menempuh metode yang salah. Memanjakan masyarakat. Tenaga kerja pemerintah sangat terbatas. Masyarakat ribuan. Cara terbaik mengolah sampah sekarang adalah seperti mengelola tinja. [T]
Penulis: I Wayan Artika
Editor: Adnyana Ole
BACA esai-esai lain dari penulis I WAYAN ARTIKA