AKHIR Mei kemarin, Kompas menerbitkan sebuah feature bertajuk ‘Sastrawan Tak Bisa Menggantungkan Hidup pada Sastra.’ Liputan ini dibuka dengan narasi lirih tentang Martin Aleida yang terbaring lemah di kursi roda, melawan stroke dan kondisi ekonomi yang memburuk. Beberapa karyanya memang mendapatkan penghargaan dan dipuji kritikus, tapi hari ini, yang tersisa adalah tubuh renta dan beban hidup yang tak kunjung reda.
Penyebabnya, menurut narasi feature ini, adalah minimnya perhatian negara dan apatisnya masyarakat terhadap dunia sastra. Tidak ada skema jaminan sosial yang berpihak kepada pekerja budaya, tidak ada sistem royalti yang berpihak pada penulis, dan tidak ada pasar yang sanggup menghargai kerja artistik sebagai kerja produktif.
Feature ini lantas memberi penilaian moral bahwa negara dan masyarakat gagal merawat ‘harta intelektual bangsa.’ Bahwa ini semua adalah akibat dari abainya negara dalam membangun ekosistem literasi, serta kesalahan masyarakat karena hanya menyukai hiburan murahan.
Namun, alih-alih menyodorkan solusi kritis atau membongkar kompleksitas ekosistem sastra, termasuk praktik internal dunia sastra itu sendiri, feature ini malah memilih jalur ‘lagu lama kaset kusut’: melantunkan tembang sumir dunia sastra sebagai lanskap kesedihan struktural, tempat negara dan masyarakat dijadikan kambing hitam abadi.
Glorifikasi Penderitaan: Wacana Mutakhir Sastra?
Tak kurang dari enam narasumber dikutip dalam feature Kompas tersebut, mulai dari nama penting seperti Martin Aleida, Putu Wijaya, Sasti Gotama dari perspektif editor, sampai Maman S. Mahayana yang akademisi sekaligus kritikus.
Digarap menggunakan pendekatan state-centric explanation, narasi Kompas meletakkan negara sebagai pusat gravitasi semua penderitaan. Seolah-olah jika negara ideal, puisi pun akan laku dan sastrawan sejahtera. Masyarakat juga kena getahnya: dianggap tak membaca, tak peduli, dan terlalu malas mengapresiasi sastra.
Kalaupun yang diharapkan dari feature tersebut adalah membangkitkan simpati publik dengan perspektif solutif, framing yang seharusnya muncul adalah bagaimana kita bisa sama-sama bergerak dari sini: mengumpulkan dana crowdfunding misalnya atau menyorot acara-acara penghargaan sastra yang bisa memberikan dampak ekonomi, sekecil apapun itu jumlahnya.
Yang justru menggelitik, tidak ada satu pun perwakilan negara atau masyarakat di feature tersebut dijadikan narasumber. Dengan mengabaikan prinsip cover both sides, ia mengandung kelemahan argumentasi dasar dan mempopulerkan misleading dari kompleksitas persoalan.
Apa betul negara benar-benar absen dari kesusastraan mutakhir kita hari ini? Apakah adil mengharapkan semua sastrawan bisa hidup dari menulis, bahkan ketika di banyak negara maju pun sastra adalah kerja sambilan? Apakah penderitaan fisik dan finansial harus selalu dibaca sebagai ‘kegagalan’ dunia sastra Indonesia, atau justru sebagai bukti ketahanan dan daya hidupnya di tengah banyak keterbatasan?
Kalaupun secara implisit sastrawan lantas dipuja sebagai pejuang idealis yang menulis karena panggilan jiwa bukan demi uang, pujian tersebut terdengar seperti ucapan belas kasihan yang dibungkus romansa. Di satu sisi, sastra dielu-elukan sebagai warisan luhur bangsa. Di sisi lain, derita para penulisnya yang terombang-ambing di antara finansial dan kesehatan, dijual jadi wacana utama.
Jelas ini bukan kekaguman, tapi glorifikasi penderitaan. kita seolah melanggengkan anggapan bahwa kemiskinan adalah harga mulia yang pantas dibayar demi mencintai sastra.
Lagu Lama Kaset Kusut Dirilis Ulang
Dalam banyak perbincangan publik, kita sering melihat kecenderungan konstruksi media untuk menyalahkan negara setiap kali muncul masalah sosial, budaya, atau ekonomi. Pola ini muncul karena negara dianggap sebagai pihak yang paling berkuasa dan bertanggung jawab atas kehidupan masyarakat.
Publik lantas berharap negara hadir memberi perlindungan, bantuan, dan solusi, termasuk di bidang sastra dan kebudayaan. Karena harapan itu tinggi, ketika kenyataan tidak sesuai, negara pun mudah dijadikan kambing hitam.
Dalam analisis framing praktik jurnalisme dan kritik media, pola ini sering disebut sebagai cara redaksi membingkai masalah dengan menempatkan individu atau kelompok sebagai korban dari kegagalan negara. Pendekatan ini bisa berasal dari berbagai cara pandang: mulai dari anggapan bahwa masalah pribadi berasal dari sistem besar yang dikuasai negara, hingga kritik yang melihat negara lebih berpihak pada industri dan bukan pada pekerja budaya.
Dus, media pun kerap mereproduksi narasi yang menyalahkan negara sebagai pelaku pasif atau aktif dari kegagalan tersebut. Ini disebut juga dengan mentalitas menyalahkan negara atau refleks menyalahkan pemerintah, sebuah respons yang umum terjadi saat saluran dukungan non-negara masih sangat terbatas. Dalam rangka inilah idiom ‘Sastrawan Tak Bisa Menggantungkan Hidup pada Sastra’ hendak saya tempatkan sebagai upaya mengangkat ulang wacana lagu lama kaset kusut.
Alih-alih menjadi wacana baru, narasi ini justru mengulang satu pola lama: menjadikan kesusastraan sebagai ruang keluhan moral tanpa kejelasan arah perbaikan. Dan mungkin, justru di sinilah kita menemukan simpul penting dalam sejarah wacana sastra Indonesia mutakhir.
Namun sebelum esai ini terjebak pada kritik media massa semata, saya akan membatasi pada sesuatu yang menarik muncul secara tak terduga di balik glorifikasi penderitaan ini.
Perkaranya begini. Dengan melacak apa-apa saja yang sudah kita lewatkan sejak polemik Balai Pustaka versus Pujangga Baru, Lekra vs Manikebu, Sastra Koran vs Sastra Cyber, Boemipoetra vs TUK, polemik revitalisasi Taman Ismail Marzuki (TIM) dan seterusnya, tema kesejahteraan sastrawan boleh jadi merupakan simpul wacana mutakhir kesusastraan kita hari ini.
Sebab alih-alih mendorong pembaruan, kebanyakan polemik terdahulu justru berakhir pada fragmentasi yang mandek. Lalu apa yang tersisa darinya? Apakah benar identitas nasional lebih penting dari kearifan lokal (polemik Balai Pustaka versus Pujangga Baru)? Apakah menangnya liberalisme menunjukkan superiornya atas gagasan luhur sosialisme dunia (polemik Lekra vs Manikebu)? Kemana sekarang redaktur sastra media cetak pasca transformasi media digital (polemik Sastra Koran vs Sastra Cyber)? Apakah betul TUK telah benar-benar hancur hari ini dan komposisi DKJ sekarang jadi lebih egaliter (polemik Boemipoetra vs TUK)? Apakah revitalitasi alias degradasi dan perubahan modern besar-besaran TIM hari ini sebagai kompleks berkeseniannya sastrawan di bawah naungan JakPro bisa dibendung (polemik revitalisasi TIM)?
Kalau dulu perdebatan lebih banyak tentang siapa menang dari pertarungan aktualisasi, ideologi dan legitimasi, sudah saatnya memang fokus kita bergeser ke arah yang lebih ‘maju’ sekaligus juga ‘primitif’: hajat primer bagaimana yang sebenarnya dibutuhkan untuk menghidupi sastra?
Dalam konteks inilah, narasi ‘Sastrawan Tak Bisa Menggantungkan Hidup pada Sastra’mendapatkan tempatnya: kebutuhan fisiologis sastrawan. Meminjam pandangan Maslow’s Hierarchy of Needs, kebutuhan fisiologis inilah fondasi utama yang harus dipenuhi sebelum seseorang bisa mengembangkan potensi diri secara penuh. Begitu pula sastrawan: jika kebutuhan dasar seperti penghidupan layak dan kesehatan tidak terpenuhi, mustahil bagi mereka untuk berkarya secara optimal.
Mungkin memang sudah saatnya kita berhenti menulis ulang kaset kusut penderitaan, dan mulai menulis ulang sistem yang membuatnya tetap diputar.
Indonesia Gelap, Makassar Terang
Hampir bersamaan dengan terbitnya feature yang tengah jadi fokus utama di esai ini, sebuah peristiwa sastra berlangsung di bagian timur Indonesia yang menghadirkan lanskap berbeda, bukan tandingan sempurna, tetapi petunjuk arah baru.
Di saat lagu lama gelapnya masa depan sastra dinyanyikan ulang, sekumpulan pegiat sastra lewat wadah Makassar International Writers Festival (MIWF) 2025 menghadirkan lanskap yang berbeda, lebih muda, lebih cair, dan lebih kolektif.
Dari pantauan media sosial @makassarwriters dan kesaksian seorang teman yang hadir langsung, terlihat bahwa festival ini tidak hanya merayakan sastra, tetapi juga memperluas partisipasi. Gen Z hadir bukan sebagai penonton pasif, melainkan sebagai moderator, pembaca puisi, fasilitator diskusi, bahkan pengelola kegiatan. Mereka tampak tak terbebani warisan konflik sastra masa lalu: ideologisasi, glorifikasi penderitaan, atau ego warisan angkatan.
Salah satu inisiatif penting tahun ini adalah terbentuknya Konsorsium Festival Sastra Indonesia. Di dalamnya, 19 pengelola festival dari berbagai kota duduk bersama, berbagi praktik baik, menyusun kalender bersama, dan menjajaki kerja kolaboratif.
Menariknya, negara turut hadir, namun tidak tampil sebagai penyelamat. Melalui Direktorat Jenderal Kebudayaan, negara menjadi bagian dari percakapan yang lebih luas: membicarakan tata kelola, bukan sekadar memberi pengakuan simbolik. Dalam atmosfer ini, narasi tentang ‘sastra diabaikan oleh negara terasa kurang relevan. Yang terlihat di Makassar justru sebaliknya: negara, masyarakat, dan komunitas sastra saling menjajaki kemungkinan.
Yang perlu dicatat, konsorsium ini belum menjanjikan penyelesaian langsung atas problem kesejahteraan sastrawan, tetapi ia menunjukkan bahwa penguatan ekosistem bisa dimulai dari pengelolaan, bukan hanya keluhan.
Saya pribadi mengusulkan bagaimana konsorsium ini bisa berkaca pada dunia seni musik di Indonesia, khususnya pada pergerakan musisi independen yang lahir di era 90-an, melata di tahun 2000-an, dan menjadi raja di industri musik kita hari ini dan menuliskan idiom baru bahwa ’Musisi Indonesia kini bisa menggantungkan hidupnya pada musik’. Cetak biru skena musik independen inilah yang kiranya patut ditelisik lebih jauh.
Jangan sampai inisiasi tata kelola ekosistem sastra terjebak jadi agenda politik praktis yang selalu mulai lagi dari nol setiap berganti rezim pasca Pilpres 5 tahunan, apalagi sekedar jadi sastrawan musiman yang muncul hanya ketika hibah Dana Indonesiana dibuka.
Penutup: Jangan Matikan Lampu
Dalam feature tersebut, kita bisa melihat penekanan kutipan Martin Aleida yang memandang masa depan sastra Indonesia tampak ‘gelap.’ Sebuah pernyataan getir yang mencerminkan kekhawatiran mendalam tentang arah dunia sastra kita hari ini.
Mungkin itu bukan deskripsi objektif, melainkan cermin kegelisahan sastrawan generasi Boomer yang merasa asing di tengah perubahan. Tapi dari kegelapan itu, kita justru bisa memeriksa ulang sumber cahaya yang kini mulai menyala, bukan dari pusat-pusat kekuasaan budaya, melainkan dari kolaborasi kecil, teknologi terbuka, dan partisipasi publik yang lebih cair.
Dan kalau pun gelap, hari ini kita punya banyak cara untuk menyalakan cahaya, bahkan yang absurd sekalipun. Bayangkan saja hari ini: siapapun bisa membuat akun ChatGPT dan mengunggah lima cerpen Putu Wijaya misalnya. Dengan langkah tiga jurus, kita bisa mengetikkan perintah (prompt), “Dari cerpen yang saya unggah, buatkan cerpen baru bergaya Putu Wijaya tentang pencabutan diskon token listrik 50 persen.”
Hasilnya? Sebuah cerita sureal muncul: seorang pria yang kesurupan token listrik, bertemu petugas PLN dalam mimpi, lalu kehilangan sinyal saat mencoba memahami tagihan listriknya. Semua terjadi saat long weekend yang terlalu panjang hingga akal sehat ikut libur. Terdengar konyol, tapi bukankah absurditas adalah salah satu estetika khas Putu Wijaya sendiri? Ulangi lagi langkah yang sama untuk sastrawan lain, kumpulkan jadi satu bunga rampai, cetak dan nikmati sendiri hasilnya.
Sampai di titik absud ini, masihkah kita memerlukan sastrawan sementara kecerdasan buatan semacam ChatGPT yang menawarkan hal sama tanpa banyak drama? Jawabannya bisa banyak, dan mungkin akan saya sajikan pada esai panduan praktis di kesempatan lainnya.
Yang jelas, eksperimen semacam ini belum bisa menggantikan kedalaman manusiawi dari karya yang lahir dari pergulatan batin. Ia juga menandakan satu hal: bahwa proses penciptaan kini hadir di ruang yang lebih cair, dan absurditas khas Putu Wijaya justru menemukan ladangnya yang baru di dalam sistem yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Di sinilah titik pentingnya. Ketimbang terus mengulang kaset kusut penderitaan, mungkin kita perlu mulai mengganti rekaman lama itu dengan partitur yang baru. Dalam rangka inilah MIWF 2025 dan forum konsorsiumnya memberi kita isyarat bahwa narasi baru sedang tumbuh: narasi yang tidak melupakan luka masa lalu, tapi tidak mau terjebak di dalamnya. Sebuah narasi yang tidak lagi menjadikan kemiskinan sebagai kredensial utama, tetapi mengupayakan agar sastra bisa tumbuh di ruang yang lebih sehat dan berkelanjutan.
Sebab inilah kenyataan kita hari ini: AI dan teknologi sebagai kotak pandora, sebagai bagian dari lanskap literasi yang bisa kita maknai bersama. Generasi muda membacanya dengan cara baru, menulisnya lewat kanal baru, dan mendistribusikannya tanpa perlu izin pusat-pusat otoritas lama.
Jadi, apakah masa depan sastra Indonesia benar-benar gelap?
Mungkin hanya jika kita terus menutup jendela, enggan membuka tirai, dan mengabaikan cahaya yang perlahan tumbuh di luar sana: dari komunitas, festival, teknologi, hingga footage ala Gen Z yang membaca puisi lewat rekaman Instagram Reels dan video TikTok.
Mungkin juga masa depan sastra justru sedang lahir di tempat yang tak kita sangka: dari suara-suara baru, teknologi yang inklusif, dan semangat gotong royong yang tidak sibuk menasbihkan diri sebagai pusat.
Sebab sastra tidak harus selalu miskin untuk tetap bermakna. [T]
Penulis: Pry S.
Editor: Adnyana Ole