Merdeka Sunyi
(untuk semua yang perlahan gugur dari luka)
aku pernah jadi taman
yang menumbuhkan kabutmu
dari benih ragu yang kau bisikkan di sela embun
daun-daunku luruh
satu per satu
dan anginmu menyelipkannya
dalam buku yang tak pernah kutulis
entah ini namanya apa
kau menjelma pusat semesta
sementara aku—
bayangan yang belajar diam di balik bayangmu sendiri
lalu datang seorang yang lama menunggu takhta
duduk di kursi yang baru saja kutinggalkan
tanpa salam, tanpa pamit
hanya aroma duri
dan bisik langkah yang tak sudi ditinggal
aku tak membalas
tak ada makna di balik cermin-cermin palsu
racun tak perlu dicium
dan dendam—
tak bisa dijadikan lampu bagi malam
maka kutinggalkan lingkaran
kubuka jendela yang dulu dipaku
dan menghirup pagi yang tak lagi bernama kamu
kini aku tahu:
kehilangan bisa jadi pintu
dan sunyi—
adalah ladang yang paling jujur bagi jiwa
aku pulang
bukan ke masa lalu
tapi ke tubuhku sendiri
yang dulu kau gusur seperti badai menggusur ladang
selamat tinggal, para bayang
selamat tinggal, luka yang dulu kupeluk seperti anak
hari ini aku sunyi
dan untuk pertama kalinya:
aku tak dijajah siapa pun
Jakarta, 2025
Di Balik Topeng
kau datang seperti kabut
dengan suara lembut dan aroma gula
tapi setiap aku bicara
matahari diseret menjauh
aku larut
seperti hujan yang kehilangan langit
kau ajarkan aku menyusut
dalam cermin yang tak mengenali bayangan
teman-temanku
menjadi bayangan asing
mereka menatapku
dari sudut yang telah kau bengkokkan
luka-luka tanpa darah
tertinggal di lantai yang tak bernama
hari ini
aku tahu siapa penulis panggungnya
dan siapa tokoh yang tak pernah masuk naskah
aku turun
meletakkan topeng yang tak pernah kupilih
dan diam menjadi panggung
yang tak bisa kau ganggu lagi
Jakarta, 2025
Teman yang Diam-diam Menunggu Jatuhku
kupikir kau adalah jendela
rupanya hanya cermin yang memantulkan retakku
kau tahu:
rumahku sedang terbakar
tapi kau datang membawa minyak,
dalam senyum yang dingin
saat aku kehilangan
kau memetik yang tersisa
saat aku jatuh
kau tertawa dari balik dinding sunyi
aku menangis
bukan karena pengkhianatanmu
tapi karena aku pernah menyebutmu
dengan nama yang terlalu mulia
tapi sekarang aku tahu:
tak semua yang dekat adalah pintu
tak semua yang memeluk adalah rumah
kusapu jejakmu dari lantai dadaku
dengan sapu yang kutenun sendiri
dari bulu angsa yang tak pernah kau lihat
Jakarta, 2025
Rumah yang Kutinggalkan
aku pernah menyebutmu rumah
padahal kau tak lebih dari lorong
yang terus mengecilkan suaraku sendiri
aku masuk
dan setiap dindingmu
mengulang: salah, kurang, diam
hingga aku lupa
bahwa aku juga bisa bersinar
bahwa cahaya tak harus dibeli dengan takut
kau ambil semua:
nama-nama yang kucintai
jalan-jalan tempat aku belajar percaya
lalu kau tukar dengan keheningan yang menuduh
aku keluar
tanpa mengetuk
tanpa dendam
hanya napas yang tak mau lagi ditakar
rumahmu bukan tempat pulang
karena pulang bukan tempat
tapi keberanian untuk hidup sebagai diri
Jakarta, 2025
Sepi yang Kudekap Sendiri
setelah pintu-pintu tertutup
dan suaramu tak lagi menggema di tembok
aku mendengar sesuatu
yang sejak lama hilang dari telingaku:
diriku sendiri
sepi itu datang seperti air
dingin, jernih
dan mula-mula menyakitkan
seperti kehilangan
tapi kemudian
aku berenang di dalamnya
dan mendapati:
tak ada yang harus kujelaskan
tak ada yang harus kubuktikan
aku bisa duduk
tanpa perlu meminta izin
untuk merasa cukup
untuk merasa hidup
mereka—yang dulu menyebut diri cinta—
hari ini kulipat dalam doa
dan kupulangkan pada langit
Jakarta, 2025
Nama yang Tak Lagi Kusebut
dulu namamu
adalah mantra
yang kubisikkan pada malam yang lapar
kudoakan
agar kau jadi bagian dari halaman
yang ingin kutulis dengan tinta bersih
ternyata
namamu adalah kabut
yang menutup semua petunjuk jalan
dan seseorang
yang selalu berdiri di belakang
akhirnya duduk di singgasana
yang baru saja kutinggalkan
tak ada tangis
tak ada gugatan
karena yang kau ambil
bukan lagi milikku
aku keluar dari cerita itu
menutup buku
dan membiarkan namamu
terkubur di antara kalimat yang tak sempat selesai
kini kusebut : telah kulepaskan
dan langit menjawab dengan hening
yang paling bening
Jakarta, 2025
Penulis: Emi Suy
Editor: Adnyana Ole
[][] Klik untuk BACA puisi-puisi lain