Adiós
Yang diterima laut tadi sore;
Seseorang memandangi kapal berlayar. Dan,
Perempuan di salah satu kapal itu melambaikan
tangan ke pria di dermaga.
“Adiós!” katanya.
“Adiós!” sekali lagi kata perempuan itu.
Terbang burung burung camar pulang ke sarangnya
hendak bermalam
Tetapi lelaki itu masih tetap terdiam memandangi laut
Memandang kapal itu semakin jauh-pergi berlayar
melintas pulau pulau
Jiwa pria itu begitu biru membayang di laut ketika
segaris lagi malam akan tiba
Aku tak tahu siapa di atas kapal melambaikan tangannya
ia berambut hitam kecoklatan bermata coklat bening
Aku tak tahu siapa membalas pandang dengan mata hati
di dermaga begitu sedih pandangnya
Yang jelas,
Diterima laut tadi sore; satu perempuan yang semakin jauh
dibawa kapal berlayar. Dan seorang pria bernasib malang
memandanginya hingga malam.
April 2025
Dua Remaja Peminta di Bawah Kapal
Kusuguhkan cerita di dermaga,
di bawah kapal
Dua remaja tamatan sekolah menengah pertama
membuka bajunya menunjukkan kering kulit tubuh
mereka kurus kurus
Bangsa ini sudah kendor
Tapi mereka tak takut mati—sambil pake kolor,
Nyalinya sudah diawetkan garam tinggal di pesisir
“Lemparkan uang kepadaku! Lemparkan,” suara mereka terdengar
sebelum akan melompat itu ke laut.
Salah satu penumpang di atas kapal
tengah bersender mendengar itu,
Lalu ia melempar uangnya beberapa rebu menghibur diri
Melompatlah dua remaja itu sangat segera,
Berenang mereka ke sisi tubuh kapal saling berebut
Seorang mendapat uang berenang
Satu orang lagi meraih angin pergi ke tepi
Ia pergi ke rantai berkarat jangkar kapal kemudian
bergelantungan.
“Ini atraksi baru. Satu loncatan dari rantai jangkar!” teriaknya.
“Lagi uang dilempar. Lagi. Ayo!” keras suara basah asin
tenggorokannya menyeret orang-orang di atas kapal untuk
iba dalam 30 menit terakhir kapal akan berangkat.
Seorang yang lain merogoh uang dari dompetnya lagi,
Kemudian melemparkannya seperti tadi.
Segera lelaki itu melompat ke laut dari jangkar kapal,
Sambil berenang wajahnya mendongak ke atas disisakan leher-kepala
Seperti tangan menengadah di darat
Ke sisi kapal dekat dermaga,
Empat rebu melayang terbang seperti doa lelaki itu;
Ditangkapnya seperti kupu-kupu.
Banyuwangi, April 2025
Kucing di Hari Paskah
/I/
Lelaki dengan rambut putih dan wajah dikerutkan usia itu,
Berjalan agak membungkuk. Dan ia berbaju kemeja siang ini.
Dan siang ini,
Ia tak tega jika kucingnya terlindas mati dengan darah merebah
di jalan depan rumahnya
Lantas ia menangkap dan memeluk kucingnya dengan segera
ketika si kucing berhasil lolos dari
Motor kebut-kebutan.
Dipeluknya hangat,
Di pelukannya kucing itu selamat.
/II/
Lalu,
Diciuminya berkali-kali si kucing dalam pelukan
Ia sangat sayang kucing itu
Seorang anak, cucunya, datang
Menghampiri si tua itu mau bertanya
Di mana si kucing sembunyi dari main kejaran
Setelah saling berdekatan
Si tua itu menoleh membagi cintanya
Mereka tanpa bercakap apa-apa ketika itu,
hanya matanya yang bercakap sambil mulut mengulum senyum.
Tangan si anak mengelus perut setelah senyum basa-basi
Melihat kucing aman saja. Dan,
Mata mereka semakin bercakap-cakap
Seolah ada pesan sulit dikatakan
Si kucing yang tidak jadi mati
ikut juga ia menoleh ke mereka
Lalu ia mengeong seakan mengerti apa
yang dipercakapkan oleh mata manusia.
Tidak lama itu mereka satu sama lain saling menatap.
Saling melempar pesan tak mudah dimengerti;
Mata kucing.
Mata manusia.
Mata hati manusia dan kucing
—sarat makna.
/III/
Kemudian,
Dari arah timur sepulang dari gereja
Seorang perempuan datang menghampiri.
Bagi mereka perempuan itu asing.
Ia mengenakan gaun biru muda bermotif bunga.
Selain wangi ia datang pula membawa bingkisan
Makanan macam-macam.
Tangan perempuan itu menyodorkan bingkisan itu ke anak
yang sibuk memeluk perutnya sendiri dengan mata sayu.
“Selamat Paskah,” katanya sambil melempar senyum.
Lelaki tua dan si cucunya itu tersenyum terkecuali
si kucing mengeong. Suaranya halus.
Sehalus sutra dan seputih salju turunnya ia pembawa rezeki.
Barangkali Tuhan mendengar mengeongnya si kucing,
Mendengar perut lapar si anak dan, melihat jiwa si tua itu
yang tulus menjadi juru selamat kucingnya setiap hari.
Ini Hari Paskah,
Pertolongan tak terduga sebagaimana hari-hari setelahnya
dosa disucikan atau budak dibebaskan dari kutukan Mesir
ribuan tahun lalu.
Perempuan itu pergi setelah berpamitan,
Langkahnya diiringi kasih yang tak terucap
dari sorot mata mereka tulus berterima kasih.
“Tuhan memberkati. Tuhan memberkati.” kata Si Tua itu
sambil melihat langit mengelus kucing.
Bali, 2025.
Tissue
ini tissue, Nona.
aku beli
di sela
pengamen
bernyanyi di lampu merah
dan ini aku mengemis di sampingmu,
“tenang sedikit,
mari dikusut apa yang muram dari hidup.”
Bali, 2025
Kau Pergi Tanpa Menoleh
Di satu jalan utama
Kota Singaraja yang gerimis
di trotoar kiri jalannya aku,
masih terjaga.
Dan,
ke arah selatan, Denpasar itu
kau baru saja melewatiku
bersama bapak dan ibundamu
di dalam mobil. dan,
dalam batinku yang meracau basah;
Aku,
Mencintaimu
Aku Mencintaimu
Sementara di ujung gapura selamat tinggal kota ini,
dalam terakhir ucapan “Aku..”
kau terus melaju pergi…
tanpa menoleh—percaya
jika lanjutannya masih sama;
“..mencintaimu
Aku Mencintaimu..”
Singaraja, November 2024
Menengok Diri di Cermin
Menampakkan apa yang tersisa malam malam
Apa yang masih tersisa itu dariku setelah sore
“Cermin menampakkan kesakitanku yang samar samar.”
Di antara darah mengalir dan tulang
Tempat mengerang maut dibukanya
Dipantulkan cermin mautku di lantai.
Malang, April 2025
Ke Langit Aku Ingin
ketika itu maut
tak lagi rahasia, Ibu.
dan kesunyian
sudah tak lagi mendapat tempat
saling beradu merias diri lebih genting
tanpa tahu hidup yang mengerikan
adalah membawa busuk!
dan itu melebihi
sakitnya sekarat mati tanpa cinta
yang dikubur di tubuh sendiri hidup hidup
dalam keadaan tertunduk
orang-orang membawa kepalanya.
tubuhnya. tanpa sesal keluar rumah
atau melompati jendela.
O, aku takut ibu
aku takut seperti itu
dan ingin aku pergi saja jauh dari pada membangkai
pergi ke langit tanpa tubuh terus bersemayam
di bintang-bintang
Ibu. O, lihat aku bercahaya…
Bali, 2025
Dalam Cinta, Bu
Selalu takut aku jatuh cinta. Jatuh cinta rasanya asin.
Tenggelam pada cinta, seperti tenggelam pada laut biru.
Aku tidak bisa berenang. Aku takut mati di kedalaman.
Dalam hidup, Bu. Aku selalu takut jatuh cinta.
Jatuh cinta baunya anyir. Aku takut membusuk
Robek kulit berdarah daging kropos tulang.
Aku selalu takut remuk tubuh melayang jiwa tak bertubuh.
Dan di jalanan di luar rumah yang jauh kita,
Cinta selalu menakutkan, Bu. Aku menggigil.
Aku biru selimut harganya mahal. Pertolongan harganya mahal.
Semua harus dibayar. Semua berbayar pada pertukaran indah pada mata.
Hanya cinta ibu yang murah,
—tapi sulit dibayar.
Sebab itu,
Darah dan tulang
Seluruh rangka tubuh dan jiwa—
“Nyawa sebagai pelunasan satu-satunya!”
Tiada lagi,
Tiada lagi.
Malang, April 2025
*
Penulis: Sonhaji Abdullah
Editor: Adnyana Ole
[][] Klik untuk BACA puisi-puisi lain