Naungan Kecil
Hiduplah aku pada batas-batas
Terkadang pada ruang yang jemu
Terkadang pada cinta semu
Terkadang pula tersesat pada dahaga yang utuh
Tubuhku menyerah disetubuhi
Telingaku seperti kuali besar yang tak tuntas dimasak
Mataku terus menyayat jejak kenangan yang terpaksa lebur
Tanganku seperti kayu bakar pada tungku
Sedangkan bibirku justru tak lagi dinanti
Segala mantra beralih pucat pasi
Kadang aku bersembunyi di balik hilang
Maka kubiarkan langkahku tinggal
bersama arah yang kehabisan pulang
Denpasar, 5/12/2022
Omong Kosong
Ujar Yah, apa leherku bisa diikatnya,
sehingga tunduk pada yang tak tertulis
Ujar Yah, hanya masalah yang bisa kuberi,
mana bagian indah yang Bunda terima
Ujar Bapak, setidaknya tanyakan kabarnya,
walau cinta tak pernah diberinya
Ujar Bapak, semoga aku masih hidup di perantauan,
walaupun tanpa inderanya sekalipun
Ujar Ayah, anak perempuan satu-satunya ini terbaik,
meskipun ia tinggal pergi selamanya.
Ujar Ayah,
Al-fatihah
Buleleng, 11/8/23
Baik Kugenggam Erat
Seperti bintang, ditunggu banyak pasang mata
Bahkan butapun merindu
Lakumu seperti selimut
Mendekap hangat dari gigil
Seperti genggaman bayi
Seperti udara pagi di pantai mertasari
Segala hal baik kau miliki
Kecuali aroma sangit yang kucumbu
Setiap kali kau ingin terbang
Terbang yang bukan bersamaku
Lenggang yang bukan apapun
Nyenyak yang bukan pelukku
Sedikit kecil kau rumpang
Perihal beberapa lompatan ruang
Do’a cinta yang karam
Alkohol dengan kamar gelap
Bahkan musik yang kuanggap bising
Bintang belum beranjak
Hurufku enggan berhenti
Mengisahkan bintang jatuh di Peninsula
Sebab hal-hal terajut tak hanya waktu
Tuhan adil, kali itu.
Kurasa kali ini Tuhan juga bijak
Gemuruh langit tak kunjung runtuh
Sedangkan mataku terlanjur basah
Membayangkan benar kepergiannya
Dengan mohon yang sungguh
Dengan serak yang sisa
Dengan tangan yang beku
Mengampun
Memaksa
Memaksa
Memaksa
Bersungguh
Langit memang angkuh
Tapi bintang ini milikku
Buleleng, 8/8/23
Apakah Aku Pelacur?
Apakah aku pelacur?
Melacurkan cinta sesuka hati
Kubebaskan ia meniduri segala milikku
Kuberikan ia ruang istirahat
Namun kurasa ia hanya ingin nikmat
Hanya ingin segera usaikan
Tak peduli rasa dan inginku
Kulacurkan cintaku
Kau pinjami aku cicip
Tanpa membiarkanku cukup
Kuberikan kau dadaku
Kau sudahi penatmu
Tanpa tanya bagaimana senyumku
Lalu terus kau lacurkan aku
Dihadapanku kau merindu
Kau hanya penjilat
Dengan ludah menyilang
Aku adalah pelajur bagi orang tuaku
Denpasar, 3/4/23
Lampu Kost Kita, Awalnya
Lampu kamar mandi kost
mati sebulan yang lalu
Katamu, akan segera beli baru
Kapan ya kira-kira ia kembali hidup?
Nafasmu sengal terlalu
Bantal tebal kau rebut lembut
Satu tipis, satu tebal dan guling kesukaanmu
Sedang aku bertumpu pada waktu
Kita berdo’a selalu tidak khusyuk
Kau tak suka pakai selimut
Tetap kusiapkan supaya hangat memeluk
Pilihanmu tetap jatuh pada tubuhku
Kau sebut peluk sebagai pulang
Betul, sungguh, betul, sungguh, pulang
Darimana asalku, tak sabaran segera lenggang
Ucapkan sekali lagi janjimu
Bangun esok pagi dan hidup lebih lama
Dengan jumawa pada telingaku,
Teriakkan saja
Mulutmu terkunci
Jalanmu diiringi
Bayangmu tak terlihat lagi
Membayang di mimpi
Lampu kamar kost tetap hidup, tapi redup
Biar yang mati tetap mati
Kau belum
Hanya pulang ke rahim mamak, kan?
Tunggu aku, ya?
Denpasar, 11/9/24
Sertakan Sepotong Amin
Kalau kabul hanya sekeping-keping
Seremah-remah bahkan berserakan
Kupunguti lalu habis kutelan
Membekas pada gingsulmu, sayang
Pantai Lovina jadi tuan rumah
Kakiku hampir terkikis laut
Disambut oleh seteguk hangat
Habis kita tenggak
Di sepanjang Jl. Ahmad Yani
Sertakan nama depanku setidaknya
Pada potongan do’a pendekmu
Yang tak kunjung teraminkan itu
Walau kadang,
Rasanya Tuhan pun paham
Tubuh kita menyatu
Seperti anggrek pada pinggulmu
Nanti kusemogakan dadamu
Untuk Tuhan dan adilnya
Denpasar, 29/11/24
Kepala Perempat Malam
Malam malam kosong tergeletak
Butuh bir di hidung
Tembakau terlanjur tersedak
Buket bunga masih berlindung
Ikut tidur bersama serak
Hadehhh udah masuk bab empat mennn
Inguh tetap jadi alasan
Tapi warisan Ayahku eman
Harusnya kupakai nikah
Bukan liburan
Besok Dayu Tri jemput pagi
Kalau siang takut hujan lagi
Kami akan berkelana ke bukit
Selesaikan kuliah biar bisa cari duit
Katanya
Kami dan perjalanan adalah sahabat
Pagi ke pagi jadi mengasyikkan
Tapi Bali gak aman belakangan
Sana sini berita bunuh-bunuhan
Yaelahhh semua juga pengen mati kali
Tuhan, sebentar yaaa, kami izin sebat
Sampai jumpa besok!
Denpasar, 25/2/25
Ngopag Di Kodya
Sepasang gadis datang mengumpat
Harusnya cerah berpihak
Untuk tugas anjing kuliahnya
Mereka cuma butuh cahaya
Segelas matcha singgah
Hanya untuk ditelanjangi
Dicumbui dengan cantik
Lalu disetor ke dosen pembimbing
“Kurang estetik nih”, geramnya.
Ini kopisop terbersih menurutnya
Tujuh tahun memang sebentar
Dibanding wangi parfumnya
Bisa merasuki hidungku
Sepanjang ricebowl yang kelaparan
Mereka seperti aku 2 atau 3 tahun lalu
Menelan bekal demi dapat nilai B
Setidaknya.
Mereka seperti aku yang asing
Tak kenal perantauannya
Hanya butuh cuddle di jam 4 subuh
Dengan mekdi atau intisari
Eksosekskeleton adikku diganjal korek
Supaya bisa kubaca setelah berak
Buku apa sih ini
Kok senyumku ada terus
Seperti menonton teater sampah
Baru tumbuh di kodya
Denpasar, 3/5/25
*
Penulis: Pramita Shade
Editor: Adnyana Ole
[][] Klik untuk BACA puisi-puisi lain