DULU, pada setiap Manis Galungan (sehari setelah Hari Raya Galungan) atau Manis Kuningan (sehari setelah Hari Raya Kuningan) identik dengan balibalian atau balihbalihan atau tontonan atau hiburan. Pertunjukan bondres, gong kebyar atau bahkan musik modern biasanya dipentaskan di hari-hari itu.
Memori masa lalu itulah yang jadi inspirasi anak-anak muda dari Komunitas Abiawara di Desa Munduk, Kecamatan Banjar, Buleleng, untuk menciptakan sebuah acara yang tak melulu sebagai hiburan, melainkan juga sebagai ajang untuk belajar dan bercerita.
Terciptalah sebuah inisiasi acara yang bersumber dari dua kata penting: muruk dan nutur. Tahun 2025 ini acara itu diadakan saat Hari Raya Kuningan, Sabtu, 3 Mei 2025, di Desa Munduk.
Muruk dan Nutur saat Hari Kuningan itu punya judul agak panjang: “Merawat Kreativitas dan Kebebasan Berfikir Anak Muda Melalui Muruk (Belajar/Melajah) dan Nutur (Bercerita/Medarmatula). Itu judul yang lumayan berat, namun usaha membangunkan anak muda untuk terus berkreativitas di tengah terbatasnya kegiatan-kegiatan yang digerakkan anak muda di Desa Munduk.

Acara Muruk dan Nutur di Desa Munduk, Buleleng, Bali | Foto: Dok Komunitas Abiwara
Seperti juga di banyak desa di Bali, Desa Munduk memiliki banyak anak muda yang lahir di Munduk namun merantau ke kota setelah minimal tamat SMP. Mereka akan pergi dari desa untuk menuntut pendidikan yang lebih tinggi ke kota.
Tapi apakah setelah mendapatkan pendidikan yang dianggap layak atau bahkan dianggap tinggi itu anak muda-anak muda akan pulang untuk membangun peradaban di desa kelahirannya? Sepertinya tidak banyak yang berpikiran untuk pulang, justru mereka punya mimpi untuk lebih jauh meninggalkan desanya.
Nah, Komunitas Abiwara dengan acara Muruk dan Nutur, adalah salah satu upaya yang dilakukan anak-anak muda di Desa Munduk untuk memantik minat anak-anak muda lain untuk ikut memikirkan desa mereka, untuk ikut membangun peradaban baik di desa mereka.
Muruk dan Nutur yang diselenggarakan Komunitas Abiwara ini bekerjasama dengan Desa Adat Munduk. Dan didukung oleh BRASTI (Bagaraksa Alas Mertajati), Munduk Moding Plantation, CV Cadudasa Pratama, Suka-duka Darma Yadnya, Rotari dan Bali Waste Management Training Center.
Muruk Medagang, Nutur tentang Bambu
Acara dimulai jam 6 sore. Sebelum dimulai, turun hujan dan kabut tebal menyelimuti Desa Munduk. Kondisi itu menguji mental panitia. Mereka khawatir acara ini sepi peminat.

Nasi keladi dalam acara Muruk dan Nutur di Desa Munduk, Buleleng, Bali | Foto: Dok Komunitas Abiwara
Muruk itu artinya “belajar” dalam Bahasa Indonesia. Abiwara, nama komunitas itu, juga artinya “belajar”. Selama dua tahun terakhir Komunitas Abiwara memang rutin melaksanakan kegiatan Muruk dan Nutur. Dan, acara pada saat Kuningan itu dibikin lebih serius.
Ada banyak acara muruk yang dilakukan. Antara lain, muruk ngelawar (belajar bikin lawar), muruk ngolah sampah, muruk ogoh-ogoh, muruk minum arak (memahami minuman keras dan efeknya) dan terakhir muruk medagang (belajar wirausaha).
Muruk medagang adalah ruang bagi anak muda yang punya bisnis kecil-kecilan di Desa Munduk. Anak-anak muda itu belajar memasarkan produknya. Syaratnya biasanya diutamakan produk jualan yang memanfaatkan bahan-bahan lokal.
Komunitas Abiwara sendiri, saat acara di Hari Kuningan itu, muruk membuat menu nasi keladi (talas), makanan khas yang dulu sangat diakrabi oleh orangtua di Desa Munduk. Soal nasi keladi, anak-anak muda hanya mendapat ceritanya, padahal sekarang keladi (talas) banyak tumbuh liar di Desa Munduk dan sekitarnya.

Muruk medagang di acara Muruk dan Nutur di Desa Munduk, Buleleng, Bali | Foto: Dok Komunitas Abiwara
Sedangkan nutur itu bentuk sederhana dari diskusi. Anak muda sekarang sangat anti dengan kegiatan yang serius. Kalau dipilih kata diskusi rasanya mereka akan takut dan bosan. Oleh Komunitas Abiwara, acara Nutur dikemas santai. Pemateri tidak bebicara satu arah saja, tapi menjadi pematik untuk kemudian diikuti dengan cerita-cerita dari peserta.
Pada acara di Hari Kuningan itu, anak-anak muda diajak bercerita tentang pemanfaatan bambu. Apalagi, anak-anak muda di Komunitas Abiwara punya kelompok dekorasi bambu. Selain itu, Desa Munduk punya sumberdaya bambu yang bisa dibilang melimpah.
Sejauh ini bambu di Desa Munduk hanya dimanfaatkan untuk membuat banggul (alat untuk memanjat pohon cengkeh ketika panen), atau digunakan untuk tetaring (tenda upacara), dan alat musik bambu seperti rindik yang dijual keluar daerah.
Guntur Juniarta dari Maikubu Tigawasa dalam acara itu bercerita soal bambu. Pencerita dari Desa Munduk ada Putu Keker yang dikenal sebagai penggiat bambu dengan genre undergaround. Munduk Moding Plantation, sebuah lembaga yang punya konsen tentang sampah di acara ini juga ikut menyumbang cerita. Ada juga Putu Gede Elman Thiana, anak muda juga dari Desa Gobleg yang konsen, tekun dan serius belajar tentang pengolahan sampah.

Muruk medagang di acara Muruk dan Nutur di Desa Munduk, Buleleng, Bali | Foto: Dok Komunitas Abiwara
Selama satu jam, acara nutur berjalan sangat santai dan penuh gembira. Guntur, anak muda dari Tigawasa, bercerita dengan sangat filosofis tentang semua gerakannya yang berkaitan dengan bambu.
Bambu ternyata berkaitan dengan hidup Guntur sekaligus punya kaitan juga dengan desanya, Tigawasa.
Sedangkan Putu Keker, seniman underground ini, bercerita sangat teknis soal bambu, padahal selama ini ia dikenal pendiam. Elam tetap konsisten soal sampah. Dia punya sikap yang tegas kalau Surat Edaran Gubernur soal sampah itu baik, kalau pengawasan dan sistemnya juga baik dan tidak sekedar dilaksanakan (pangkwala).



Penonton membludak dalam acara Muruk medagang di acara Muruk dan Nutur di Desa Munduk, Buleleng, Bali | Foto: Dok Komunitas Abiwara
Acara ini diluar perkiraan. Penonton sangat ramai meluap sampai ke trotoar jalan depan Wantilan Desa Munduk, tempat acara dilaksanakan.
Sekitar jam 8 malam giliran klompok-klompok kesenian bergantian mementaskan ekspresi kebebasan dalam acara ini. Tarian pendet dari Banjar Bulakan memukau penonton. Ada juga Sekeha Baleganjur Balagirang dengan tarian kolosal mendapat sambutan meriah. Juga ada baleganjur dari Sanggar Seni Tripittaka yang tampil dengan anggota muda beberapa di antaranya sudah termasuk cucu dari Made Terip—seniman legenda hidup Desa Munduk.

Pementasan kesenian dalam acara Muruk medagang di acara Muruk dan Nutur di Desa Munduk, Buleleng, Bali | Foto: Dok Komunitas Abiwara
Dusun Tamblingan juga turun gunung membawa tari joged yang sekaligus menutup acara di jam 10 malam. Penonton pulang sambil memberi pengingat kepada panitia untuk sering-seing buat acara seperti ini, seolah rindu karena memang sangat jarang ada kegiatan khususnya hiburan di Desa Munduk.
Panitia bersiap merapikan alat lalu pulang membawa rasa bangga dan semangat baru untuk terus belajar dan berkembang. [T]
Penulis: Komang Yudistia
Editor: Nyoman Budarsana
- BACA JUGA: