15 May 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Selilit: Perlawanan Simbolik Ketut Putrayasa

I Wayan WestabyI Wayan Westa
April 24, 2025
inUlas Rupa
Selilit: Perlawanan Simbolik Ketut Putrayasa

Selilit, karya Ketut Putrayasa yang dipamerkan bertajuk “Metastomata: Metamorphosis Manifesto Galang Kangin” di Neka Art Museum, Ubud | Foto: Ist

Selilit, begitulah karya instalasi ini diberi tajuk.  Karya terbaru Ketut Putrayasa, seniman kelahiran Tibubeneng, Bali. Pameran dengan tema Metastomata ini digawangi Kelompok Seni Galang Kangin,  dirayakan untuk momen  25 tahun Metamorfosis Manifesto Galang Kangin.

Nama Galang Kangin tak cuma mengingatkan kita pada kelompok perupa yang dilahirkan seper-empat abad silam. Dibalik frase itu kita teringat   manifesto fajar budi  teks-teks  Jawa Kuna  ̶  di mana lazim  disuratkan  dalam ungkapan  prabhaswara jnana.

Dalam dimensi asketik dunia spiritual Bali, ungkapan ini lebih dimakanai sebagai fajar pencerahan, tak ubahnya temaram subuh, kala surya perlahan terbit, pelan-pelan lalu menyibak kegelapan. Para pejalan di dunia spiritual pulau ini, menyebut capaian asketik itu sebagai  menemu “galang”  ̶  sang pejalan telah bertemu cahaya.

Entah, apakah  kelompok Galang Kangin menganggit nama itu dari sini? Kita tidak tahu. Namun dari karya-karya yang dipanjang, setidaknya kita menemukan  benih kreatif, bahwa segala sesuatu acap dihadirkan kembali dari puing masa silam. Atau dari yang telah diporanda zaman. Tugas seniman-lah memudakan reruntuhan itu kembali, layaknya petani  bertekun menumbuhkan putik-putik muda kembali.

Selilit, karya Ketut Putrayasa yang dipamerkan bertajuk “Metastomata: Metamorphosis Manifesto Galang Kangin” di Neka Art Museum, Ubud | Foto: Ist

Keresahan-keresahan primitif perihal jatuh bangunnya artefak  peradaban, bisa disimak dari  performing arts pameran ini. Pembacaan puisi dari Wayan Jengki Sunarta, diiringi alunan suling Made Gunawan yang menyayat, dikolaborasi penghancuran  patung-patung berkepala celeng oleh  pematung Dewa Soma.

Adegan ini seakan menyindir “bansos-bansos” berdalih pemugaran  tempat suci yang merampas, meniadakan jejak masa silam. Lalu, di situ kita tak cuma kehilangan sejarah, akan tetapi juga  kehilangan   jejak artistik,  nilai-nilai, dan kebajikan masa silam. Kebudaayan ini tengah berhadapan dengan bentuk vandalisme lebih halus, dengan dalih bantun sosial.

Dan Wayan Jengki Sunarta pun memulai membaca puisinya, “Bayangan candi: wujud masa silam yang meleleh, ke dalam genang kenangan bocah gembala”. Di situ, di atas panggung, di depan candi Neka Art Museum waktu tiba-tiba jadi beringsut, terasa mistis. Dan yang hadir pun seperti dibuat larut.

Lalu penghancuran batu-batu candi pun berlangsung.  Mahkota-mahkota celeng dikapak, serpihannya rontok di tanah dingin. “Bansos” seakan menjadi tragedi baru penghancuran peradaban lampau, materialisasi memenggal kekayaan rohani kita.  Si penyair membaca puisinya penuh pukau, dengan “loudspeaker” sedikit  parau, untuk tidak menyatakan sedikit melecehkan.

Lalu dalam bayangan nyaris harmoni, dalam pajangan karya rupa  yang apik,  sambutan pembuka  penuh petuah; ada satu karya yang memendam ambisi jadi “pengganggu”. Seni instalasi  irit medium,  menyerupai “esai mini kata”. Tusuk gigi emas  dengan bercak darah, bertuliskan kata “art”, piring keramik yang meleleh.

Ini metafor   yang mengusik, satire yang meledek, membuat para cendekia gagal tidur siang, merenung apa yang hendak dititipkan sang kreator dalam seni instalasi ini? Orang awam mungkin saja mengatai perancangnya “nyem”, agak gila. Atau lebih pantas disebut  avant garde, seni  melampaui zaman.

Atau dalam tugasnya yang lain, sang seniman tengah melakukan perlawanan kultural, gugatan pada betapa sia-sianya tanggung jawab pemimpin publik. Sebagai seniman, Putrayasa  tengah menjalankan fungsi simbolik, mengkritik secara satire kondisi-kondisi terkini keadaan kita. Boleh jadi ditujukan  juga pada pemimpin kita.

Selilit, karya Ketut Putrayasa yang dipamerkan bertajuk “Metastomata: Metamorphosis Manifesto Galang Kangin” di Neka Art Museum, Ubud | Foto: Ist

Kali ini Ketut Putrayasa sukses meracau kita, mencandai praktik-praktik kebudayaan kita. Atau  tengah mencabik-cabik tubuh kebudayaan, menembakkan  pengalaman kreatif itu ke ruang  “satpol pp” kebudayaan, menampar dingin mentalitas birokrasi kita,  pidato-pidato usang dan bau, kebijakan yang tak memihak  perut rakyat. Himbauan dan aturan yang dibully   netizen  dengan kata-kata kasar, ledekan kotor  menggelikan. Sungguh birokrasi penuh drama, dan topeng-topeng kepalsuan itu dibuka rame-rame di ruang “legislator maya” bernama netizen.

Kita buka Kamus Besar Bahasa Indonesia, di situ “selilit” diartikan sebagai sisa makanan (daging dan sebagainya) yang menyelip di sela-sela gigi. Ia menjadi kondisi yang mengganggu sela gigi, maka tusuk gigi pun diperlukan. Selilit, bila  abai dibersihkan, membuat mulut jadi bau, seperti juga kata-kata bijak diucapkan politikus pialang, kata-katanya pun cenderung jadi bau. Bau busuk yang  tak mudah dibersihkan, kendati dengan pengarum mulut paling mahal.

Selilit menjadi semacam subversive dingin, satire yang tidak cuma mencibir mulut pemegang kebijakan, yang bau oleh  sisa-sisa makanan. Demikian pula kata-kata kotor yang keluar dari mulut siapa saja. Seperti janji-janji kosong politikus, himbauan-himbauan  pemimpin yang  memancing rasa jengkel, seperti juga kata-kata penuh bau, tak mudah dipercaya, tak gampang ditegakkan. “Ah, kita mesti berjuang sendiri, politikus-politikus itu biarkan ia melantur. Rakyat bisa hidup tanpanya,” ujar seseorang di sebelah saya duduk.

Bila kata-kata yang keluar dari mulut melukai, menimbulkan kejengkelan, mancla-mencle, sungguh  mulut itu tak beda  dengan anus. Ia sama-sama bau. Orang-orang Bali lalu mencibir perilaku itu dengan ungkapan; bibihe kadi bol, mulutnya seperti anus. Bagi Ketut Putrayasa, inilah tragedi selilit, di mana tindakan tak  tegak lurus dengan ucapan. Ini sungguh menggangu, seperti selilit di sela gigi. Dan ini  bentuk  de-humanisasi yang sejak lama  tak disadari.

Selilit, karya Ketut Putrayasa yang dipamerkan bertajuk “Metastomata: Metamorphosis Manifesto Galang Kangin” di Neka Art Museum, Ubud | Foto: Ist

Selilit, tusuk gigi emas, bercak darah adalah penanda,    menandaskan satire absurd, sia-sia. Sungguh absurd betul, tusuk gigi emas  itu cuma dipergunakan untuk membersihkan selilit, sisa daging dan makanan yang tertinggal di sela gigi.  Dengan analogi, jabatan tinggi,  berkuasa  tak lantas  bertemali dengan  tanggung jawab lebih besar. Mensejahterakan kehidupan rakyat. Yang ada cuma  jargon-jargon gincu, menghibur mereka yang tengah belajar sabar. “Rakyat dibohongi melulu,” begitu selentingan  kerap terbaca di komen-komen medsos.

Kita bisa menonton ini  pada praktik-praktik birokrasi yang banal. Pada pemimpin  berparfum harum, necis, enggan berpeluh, tak hendak berkotor-kotor. Di pikirannya cuma ada proyek mercusuar dan fee berlipat, alih-alih melenyapkan derita rakyat. Sebaliknya malah menjadi parasit, kutu pemakan darah. Ia kerap hadir pada perayaan besar, disambut tarian dan gamelan bergelora. Tak jauh dari penggambaran  Negara Teater  karya Clifford Geertz. Mainnya  cuma mengokestrasi adat dan upacara. Minusnya, hari ini, jabatan cuma dipergunakan semata untuk kenyamanan diri sendiri. Itulah makna tusuk gigi emas bagi Ketut Putrayasa. Sesuatu yang besar acap dipergunakan  untuk menggelembungkan hal-hal remeh.

Diantara medium yang irit itu,  Selilit menampilkan piring keramik  tengah meleleh,  ini lagi-lagi sesuatu yang absurd, nyleneh dan tak biasa. Tak biasa karena tak pernah ada piring makan yang meleleh, kecuali ini satire  “nyem”  mencandai keadaan. Atau menyadarkan mereka yang lebih awal sadar.

Sebagai catatan artistik, kritik simbolik, “piring meleleh” punya makna  lebih melebar, konotatif, karena di situ; apapun deliknya, apapun kasusnya mudah meleleh di meja makan,  dibikin  cair, melunak di  ruang lobi. Hal-hal yang gawat, yang harus dipotong karena sudah menjadi kanker bagi bangsa cuma diberi obat penghilang rasa sakit. Regulasi, hukum cuma instrumen menandakan negara ini ada, mungkin sekadar ada, karena merasa tidak perlu diurus dengan serius.

Selilit telah mencandai kita  dengan hal-hal remeh.  Sindrom besar pasak daripada tiang menampar siapa saja yang gagal membaca potensi. Tapi Putrayasa bukanlah seniman yang hoby nyinyir, ia sedang  membaca  sekaligus mengingatkan keadaan, bahwa sesuatu yang kecil, yang dianggap remeh bila dibiarkan; ia tidak cuma mengganggu, tetapi bisa menjadi kanker ganas – patologi sosial yang berubah jadi  badai besar.

Lalu Wayan Jengki Sunarta pun berkeluh, sebagaimana bait-bait puisi yang dibaca saat pembukaan pameran, “ke situ Kau tuntun aku, bagai keledai dungu…. Tak paham kapan awal kapan akhir letih ini..”  Dan di situ, tusuk gigi emas  yang tergeletak di piring  tengah meleleh, terdeteksi  gurat darah. Dengan tulisan tiga fon huruf  “ART”. Itulah  bentuk perlawanan simbolik Ketut Putrayasa, ia menggugat, ia mengingatkan dengan dingin keadaan pulaunya, begitu pula keadaan negerinya. [T]

Pakubuan Kusa Agra — Umanis Galungan, 24-4-2025

Penulis: I Wayan Westa
Editor: Adnyana Ole

  • BACA JUGA
Memorial Made Supena
METASTOMATA: Metamorphosis Manifesto Galang Kangin di Neka Art Museum, Ubud
Sekilas Pentas “Kekecewaan” Wayan Jengki Sunarta : Narasi Tekstual ke Narasi Teaterikal
Tags: Ketut PutrayasaKomunitas Galang KanginNeka Art MuseumPameran Seni RupaSeni Rupa
Previous Post

Memorial Made Supena

Next Post

Merawat Pendidikan Sastra di Tengah Gempuran Dunia Industri

I Wayan Westa

I Wayan Westa

Penulis dan pekerja kebudayaan

Next Post
Merawat Pendidikan Sastra di Tengah Gempuran Dunia Industri

Merawat Pendidikan Sastra di Tengah Gempuran Dunia Industri

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

    Apakah Menulis Masih Relevan di Era Kecerdasan Buatan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ulun Pangkung Menjadi Favorit: Penilaian Sensorik, Afektif, atau Intelektual?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tulak Tunggul Kembali ke Jantung Imajinasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • ”Married by Accident” Bukan Pernikahan Manis Cinderella

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

‘Puisi Visual’ I Nyoman Diwarupa

by Hartanto
May 14, 2025
0
‘Puisi Visual’ I Nyoman Diwarupa

BERANJAK dari karya dwi matra Diwarupa yang bertajuk “Metastomata 1& 2” ini, ia mengusung suatu bentuk abstrak. Menurutnya, secara empiris...

Read more

Menakar Kemelekan Informasi Suku Baduy

by Asep Kurnia
May 14, 2025
0
Tugas Etnis Baduy: “Ngasuh Ratu Ngayak Menak”

“Di era teknologi digital, siapa pun manusia yang lebih awal memiliki informasi maka dia akan jadi Raja dan siapa yang ...

Read more

Pendidikan di Era Kolonial, Sebuah Catatan Perenungan

by Pandu Adithama Wisnuputra
May 13, 2025
0
Mengemas Masa Silam: Tantangan Pembelajaran Sejarah bagi Generasi Muda

PENDIDIKAN adalah hak semua orang tanpa kecuali, termasuk di negeri kita. Hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak,  dijamin oleh konstitusi...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
Anniversary Puri Gangga Resort ke-11, Pertahankan Konsep Tri Hita Karana

Anniversary Puri Gangga Resort ke-11, Pertahankan Konsep Tri Hita Karana

May 13, 2025
“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

May 8, 2025
Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

May 7, 2025
Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

April 27, 2025
Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

April 23, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
45 Tahun Rasa itu Tak Mati-mati: Ini Kisah Siobak Seririt Penakluk Hati
Kuliner

45 Tahun Rasa itu Tak Mati-mati: Ini Kisah Siobak Seririt Penakluk Hati

SIANG itu, langit Seririt menumpahkan rintik hujan tanpa henti. Tiba-tiba, ibu saya melontarkan keinginan yang tak terbantahkan. ”Mang, rasanya enak...

by Komang Puja Savitri
May 14, 2025
Pendekatan “Deep Learning” dalam Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila 
Khas

Pendekatan “Deep Learning” dalam Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila

PROJEK Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P-5) di SMA Negeri 2 Kuta Selatan (Toska)  telah memasuki fase akhir, bersamaan dengan berakhirnya...

by I Nyoman Tingkat
May 12, 2025
Diskusi dan Pameran Seni dalam Peluncuran Fasilitas Black Soldier Fly di Kulidan Kitchen and Space
Pameran

Diskusi dan Pameran Seni dalam Peluncuran Fasilitas Black Soldier Fly di Kulidan Kitchen and Space

JUMLAH karya seni yang dipamerkan, tidaklah terlalu banyak. Tetapi, karya seni itu menarik pengunjung. Selain idenya unik, makna dan pesan...

by Nyoman Budarsana
May 11, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Puisi-puisi Hidayatul Ulum | Selasar Sebelum Selasa

Puisi-puisi Hidayatul Ulum | Selasar Sebelum Selasa

May 11, 2025
Ambulan dan Obor Api | Cerpen Sonhaji Abdullah

Ambulan dan Obor Api | Cerpen Sonhaji Abdullah

May 11, 2025
Bob & Ciko | Dongeng Masa Kini

Bob & Ciko | Dongeng Masa Kini

May 11, 2025
Selendang Putih Bertuliskan Mantra | Cerpen I Wayan Kuntara

Selendang Putih Bertuliskan Mantra | Cerpen I Wayan Kuntara

May 10, 2025
Puisi-puisi Pramita Shade | Peranjakan Dua Puluhan

Puisi-puisi Pramita Shade | Peranjakan Dua Puluhan

May 10, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co