15 May 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Merawat Pendidikan Sastra di Tengah Gempuran Dunia Industri

Stebby JulionatanbyStebby Julionatan
April 24, 2025
inKhas
Merawat Pendidikan Sastra di Tengah Gempuran Dunia Industri

Ayu Utami memberi materi kepada peserta kegiatan Peta Sastra Kebangsaan di SMA Asisi, 19 Maret 2025 | Foto: Ist

PADA 2020, dosen IKIP Gunung Sitoli Riana, menyoroti rendahnya perhatian sekolah terhadap pendidikan sastra. Ia mengungkap bahwa sastra sering dianggap tidak penting dan tidak memiliki peran yang signifikan dalam kehidupan masyarakat Indonesia saat ini. Hal tersebut terjadi karena masyarakat sedang bergerak menuju orientasi industri, di mana sains, teknologi, dan kebutuhan jasmani dianggap lebih utama dan mendesak.

Minimnya minat masyarakat terhadap kegiatan sastra —dan kebudayaan secara umum—menjadi salah satu tanda dari kecenderungan ini. Sastra dinilai hanya memberikan manfaat secara batiniah dan non-material, sehingga sering kali diposisikan sebagai sesuatu yang tidak mendesak dan bisa ditunda.

Riana menyebut bahwa kondisi tersebut juga tercermin dalam dunia pendidikan. Perhatian siswa dan pihak sekolah terhadap mata pelajaran yang berkaitan dengan sains dan teknologi jauh lebih besar dibandingkan pelajaran yang bersifat humaniora. Ketimpangan ini tampak nyata dalam kurangnya sarana seperti laboratorium bahasa, sanggar seni, buku-buku sastra, dan fasilitas pendukung lainnya dalam proses pembelajaran sastra.

Penekanan terhadap arah pendidikan yang lebih condong pada penguasaan teknologi juga terlihat dalam pernyataan Wamendiksaintek RI, Stella Christie, dalam diskusi panel bertema “Mempercepat Transformasi Ekonomi Nasional: Strategi Pengembangan Hilirisasi Industri, Ketahanan Pangan, dan SDM Unggul” pada awal Januari 2025. Ia menegaskan bahwa mahasiswa dengan pola pikir riset (research mindset) dapat menjadi kunci lahirnya teknologi dan industri baru, serta mampu menjawab kebutuhan dunia kerja. Dalam pandangan Stella, penguatan hilirisasi riset harus ditopang oleh proses huluisasi—penyiapan SDM unggul yang sejak dini diarahkan pada penguasaan sains dan inovasi.

Gagasan yang menurut saya semakin mencerminkan kuatnya arus pragmatis dalam dunia pendidikan, yang menempatkan kemajuan teknologi sebagai tolok ukur utama keberhasilan. Arah pemikiran Stella tersebut secara tidak langsung menegaskan kembali posisi sastra dan bidang humaniora sebagai hal yang tidak mendesak, dan bahkan dianggap kurang relevan dalam strategi pembangunan nasional Indonesia saat ini.

Ketika perhatian terhadap sains dan teknologi semakin mendominasi —sebab sejalan dengan arah kebijakan pembangunan ekonomi nasional— pelajaran sastra dan aktivitas literasi justru semakin terpinggirkan. Dalam kondisi tersebut memperjuangkan ruang bagi sastra di tengah ekosistem pendidikan yang semakin pragmatis menjadi pekerjaan yang tidak mudah. Di tengah dinamika kebijakan pendidikan dan desakan kebutuhan ekonomi yang kian mendesak, kegiatan Peta Sastra Kebangsaan yang kembali saya dan Ayu Utami helat di SMA Asisi Jakarta pada Maret 2025 terasa seperti upaya kecil untuk tetap merawat sisi batiniah dari pendidikan —sebuah ruang yang memberi tempat bagi empati, imajinasi, dan kemanusiaan. Sastra, yang mungkin tidak selalu tampak mendesak, justru semakin terasa penting untuk dipelihara.

Stebby Julionatan (saya/penulis) dalam pembukaan kegiatan Peta Sastra Kebangsaan di SMA Asisi, 19 Maret 2025 | Foto: Ist

Ya, meski sama dengan tahun-tahun sebelumnya, pelaksanaan kali ini terasa jauh lebih menantang. Tekanan yang saya hadapi bukan hanya bersifat teknis, tetapi juga berkaitan erat dengan pergeseran orientasi pendidikan yang telah dipaparkan sebelumnya. Peta Sastra Kebangsaan yang saya maksudkan di atas adalah metode membaca pemikiran bangsa melalui sastra dengan menggunakan 11+1 kata kunci (baca: Membaca Peta Sastra: Menghentikan Kekerasan oleh Anak, 2024).

Dinamika dalam Dunia Pengajaran Sastra

Pada tahun ini, setelah saya mengalami sendiri perbedaan mengajarkan hal yang sama, yaitu sastra, di SMA dan di perguruan tinggi,  saya semakin memahami kegelisahan para guru (baca: guru Bahasa dan Sastra Indonesia). Salah seorang guru asal Banten, Apip Kurniadin, yang pernah mengikuti pelatihan Peta Sastra Kebangsaan di Salihara pada 2024 pernah menyampaikan pada saya bahwa kurikulum saat ini menempatkan mereka dalam dilema, yakni antara memenuhi tuntutan akademik atau mengajarkan sastra sebagai bagian dari ideologi mereka (baca: identitas bangsa).

Dari apa yang Apip utarakan, saya berefleksi bahwa sebenarnya keberhasilan saya membawa sastra ke ruang kelas di SMA Asisi Jakarta adalah bentuk privilege. Ya, di tempat tersebut, saya diberi izin oleh kepala sekolah di tempat saya mengajar untuk melakukan inovasi dalam kurikulum. Kepala sekolah saya pun tidak membatasi atau menyensor materi-materi yang saya berikan kepada siswa, pun demikian dengan tanggapan dari para orang tua wali murid selama ini. Kepala SMA Asisi Jakarta, Heru Malyono, dan beberapa wali murid yang saya kenal justru senang ketika anak mereka diperkenalkan terhadap sastra dan memberi saya ruang yang lebih luas untuk berkreasi.

Ayu Utami bersama peserta kegiatan Peta Sastra Kebangsaan di SMA Asisi, 19 Maret 2025 | Foto: Ist

Namun, tentu saya memahami bahwa kondisi sebagaimana yang saya sampaikan di atas, tidak dialami oleh semua sekolah. Dari kegiatan sosialisasi Peta Sastra Kebangsaan yang dihelat Salihara dan diperuntukkan pada guru pada 2024 lalu, saya pun mendengar cerita bahwa bebarapa rekan guru dilarang mengajarkan novel-novel tertentu atau dipaksa mengikuti kurikulum secara kaku. Misalnya, sekolah mereka menyensor secara mandiri novel Eka Kurniawan dan Ayu Utami. Mereka takut membahas karya yang dianggap sensitive. Mereka “takut” memperkenalkan Cantik Itu Luka atau Saman kepada siswa karena reaksi orang tua wali murid yang jauh berbeda dengan yang saya dapatkan. Ya, saya menyadari, di banyak tempat, sastra masih harus berhadapan dengan sensor dan batasan yang ketat.

Kondisi Ekonomi dan Literasi di Sekolah

Dari perjumpaan saya dengan dua belas rekan guru dari berbagai penjuru Indonesia pada 27-28 April 2024, saya semakin sadar bahwa salah satu tantangan terbesar dalam merawat pendidikan sastra di sekolah adalah faktor ekonomi. Saya merasa beruntung karena SMA Asisi Jakarta, tempat saya mengajar, berada di bawah naungan Yayasan Pendidikan Asisi yang memiliki dukungan cukup memadai —termasuk akses berlangganan ke platform buku digital seperti Gramedia Digital. Namun, saya juga tahu bahwa kemewahan seperti ini bukanlah sesuatu yang dimiliki oleh semua sekolah.

Dalam pertemuan dengan perwakilan 12 guru sastra dari seluruh Indonesia tersebut, muncul berbagai kisah yang mencerminkan kesenjangan ini. Banyak guru, terutama yang mengajar di luar Jawa, menghadapi kondisi yang jauh lebih menantang. Giyai Rika, seorang guru dari Papua, misalnya, mengaku kesulitan mengakses buku-buku sastra, baik dalam bentuk cetak maupun digital. Bukan hanya buku sastra nasional, tetapi juga karya-karya lokal yang bisa merepresentasikan pengalaman dan isu khas daerah mereka pun nyaris tidak tersedia.

Ayu Utami memberi materi kepada peserta kegiatan Peta Sastra Kebangsaan di SMA Asisi, 19 Maret 2025 | Foto: Ist

Situasi ini tentu memperparah absennya pendekatan literasi yang berbasis lokalitas. Ketika membicarakan sastra sebagai cermin kehidupan dan identitas kultural, bagaimana mungkin siswa diajak memahami ketimpangan sosial di sekitarnya jika tidak ada karya yang menarasikannya? Di beberapa sekolah, bahkan untuk memperkenalkan wacana kebangsaan melalui sastra pun terasa mustahil—karena bahan bacaan itu sendiri tidak ada. Maka dari itu, perhatian terhadap akses, distribusi buku, dan penyediaan fasilitas literasi yang merata menjadi persoalan mendesak dalam pembicaraan tentang pendidikan sastra hari ini.

Perubahan Kurikulum dan Meredupnya Minat Baca

Salah satu tantangan yang paling saya rasakan belakangan ini adalah dampak nyata dari transisi Kurikulum 2013 ke Kurikulum Merdeka. Di atas kertas, kurikulum ini menjanjikan kebebasan yang lebih luas bagi guru dan siswa untuk mengeksplorasi minat dan potensi mereka. Namun kenyataan di lapangan tidak selalu seideal konsepnya. Alih-alih menjadi ruang merdeka untuk memperkaya literasi, mata pelajaran Bahasa Indonesia Lanjutan yang seharusnya membuka pintu eksplorasi sastra dan pemikiran kritis justru dipandang sebagai beban tambahan. Banyak siswa menghindarinya bukan karena sulit, tetapi karena tidak lagi merasakan relevansi atau daya tariknya.

Peserta kegiatan Peta Sastra Kebangsaan di SMA Asisi, 19 Maret 2025 | Foto: Ist

Pengalaman ini sejalan dengan cerita para guru yang saya temui dalam kegiatan sosialisasi Peta Sastra Kebangsaan dan sesi diskusi bersama para guru di Salihara. Ketika buku-buku tidak tersedia, karya-karya lokal absen, dan kebebasan mengajar dibatasi oleh kekhawatiran akan reaksi wali murid atau regulasi internal sekolah, maka perubahan kurikulum saja tidak cukup. Bahkan, di SMA Asisi yang relatif memiliki kelonggaran dan dukungan, saya melihat sendiri bahwa jumlah siswa yang menikmati membaca karya sastra di luar kewajiban akademik semakin berkurang. Membaca tidak lagi menjadi kegiatan yang membangkitkan rasa ingin tahu, melainkan hanya rutinitas untuk memenuhi nilai.

Refleksi ini menguatkan kekhawatiran saya: jika sistem pendidikan tidak dibarengi dengan dukungan ekosistem literasi yang memadai —baik dari segi akses, pendekatan pengajaran, maupun kebijakan yang berpihak— maka minat baca akan terus merosot. Apa jadinya masa depan literasi bangsa jika buku-buku tidak hadir, jika sastra tidak diberi ruang, dan jika membaca tidak lagi dianggap sebagai kebutuhan kultural yang mendalam?

Tetap Menghidupkan Sastra dengan 3 Kata Kunci

Dengan tiga persoalan yang telah saya paparkan sebelumnya—kurangnya dukungan struktural, ketimpangan akses terhadap literatur, dan meredupnya minat baca akibat perubahan kurikulum—muncul pertanyaan mendasar: bagaimana kita bisa terus merawat pendidikan sastra di tengah kondisi seperti ini?

Ayu Utami, dalam pelatihan Peta Sastra Kebangsaan di Salihara, pernah menawarkan pendekatan “11+1 Kata Kunci” sebagai metode terbuka yang bisa disesuaikan dengan konteks. Pendekatan ini tidak kaku, dan justru memberi ruang bagi pengajar untuk beradaptasi. Tahun ini, dalam pelaksanaan proyek Peta Sastra Kebangsaan yang saya lakukan di SMA Asisi Jakarta (Maret–Mei 2025), saya mencoba menggunakan hanya tiga kata kunci utama. Waktu yang terbatas bukan alasan untuk menyerah. Dari pengalaman saya mengajar di berbagai tempat—baik di SMA maupun perguruan tinggi—saya belajar bahwa keberanian untuk mengadaptasi dan memodifikasi metode sangat penting untuk menjaga agar nyala sastra tidak padam.

Peserta kegiatan Peta Sastra Kebangsaan di SMA Asisi, 19 Maret 2025 | Foto: Ist

Ayu Utami dan Stebby Julionatan (saya/penulis) berfoto dalam kegiatan Peta Sastra Kebangsaan di SMA Asisi, 19 Maret 2025 | Foto: Ist

Berfoto bersama peserta dalam kegiatan Peta Sastra Kebangsaan di SMA Asisi, 19 Maret 2025 | Foto: Ist

Saya percaya, pengajaran sastra tidak bisa menunggu kondisi ideal. Ketika akses terbatas, ketika kebijakan berubah dengan cepat, bahkan ketika buku-buku disensor atau tak tersedia, kita tetap bisa membangun ruang dialog yang hidup lewat sastra. Kreativitas, keteguhan hati, dan dukungan komunitas menjadi modal utama. Di SMA Asisi, saya bersyukur memiliki kepala sekolah dan wali murid yang mendukung. Tapi saya sadar, banyak rekan saya di daerah lain yang harus berjuang sendirian.

Justru karena itu, saya merasa semakin yakin bahwa sastra harus terus diajarkan. Apalagi, sehari setelah pembukaan proyek Peta Sastra Kebangsaan tahun ini, DPR mengetuk palu untuk mengesahkan revisi UU TNI yang baru. Sebagai pengajar, saya bertanya dalam hati—apakah ini bukan bentuk ancaman bagi kebebasan berpikir dan berekspresi? Apakah kita akan kembali pada masa ketika suara kritis dibungkam secara sistematis? Di tengah ketidakpastian arah bangsa, saya melihat sastra bukan hanya sebagai bahan ajar, tetapi juga sebagai ruang perlawanan kultural.

Ya, Peta Sastra Kebangsaan yang semula diperkenalkan oleh Ayu Utami, bagi saya bukan sekadar proyek literasi tahunan, tetapi sebuah upaya mempertahankan ruang kebebasan di sekolah, di benak para siswa, dan di tengah arus besar yang mengikis nilai-nilai humaniora. Sastra bukan untuk sekadar dibaca—ia untuk direnungkan, diperdebatkan, dan dijadikan alat untuk memahami dunia yang rumit ini. Jika kita masih percaya pada masa depan yang berpihak pada kebebasan berpikir dan kepekaan nurani, maka merawat pendidikan sastra bukanlah pilihan, tetapi kewajiban. [T]

Jakarta, 9 April 2025

Penulis: Stebby Julionatan
Editor: Adnyana Ole

  • BACA JUGA
Bali Berkisah: Merayakan Sastra dan Budaya Bali dalam Ruang Perjumpaan Anak Muda
APWT Heart Water Chiang Mai Thailand: Ketika Sastra Mempertautkan Penulis Penerjemah Kawasan Asia Pasifik
Merayakan Lontar, Sastra, dan Kebudayaan di Singaraja Literary Festival 2024
Tags: Ayu UtamiPendidikanpendidikan sastrasastraStebby Julionatan
Previous Post

Selilit: Perlawanan Simbolik Ketut Putrayasa

Next Post

Ketiadaan Wayang Legendaris di Pesta Kesenian Bali: Sebuah Kekosongan dalam Pelestarian Budaya

Stebby Julionatan

Stebby Julionatan

Tinggal di Probolinggo, Jawa Timur dan saat ini tengah melanjutkan pendidikannya di Kajian Gender – Universitas Indonesia.

Next Post
Ketiadaan Wayang Legendaris di Pesta Kesenian Bali: Sebuah Kekosongan dalam Pelestarian Budaya

Ketiadaan Wayang Legendaris di Pesta Kesenian Bali: Sebuah Kekosongan dalam Pelestarian Budaya

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

    Apakah Menulis Masih Relevan di Era Kecerdasan Buatan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ulun Pangkung Menjadi Favorit: Penilaian Sensorik, Afektif, atau Intelektual?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tulak Tunggul Kembali ke Jantung Imajinasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • ”Married by Accident” Bukan Pernikahan Manis Cinderella

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

‘Prosa Liris Visual’ Made Gunawan

by Hartanto
May 15, 2025
0
‘Prosa Liris Visual’ Made Gunawan

SELANJUTNYA, adalah lukisan “Dunia Ikan”karya Made Gunawan, dengan penggayaan ekspresionisme figurative menarik untuk dinikmati. Ia, menggabungkan teknik seni rupa tradisi...

Read more

Mengharapkan Peran Serta Anak Muda untuk Mengembalikan Vitalitas Pusat Kota Denpasar

by Gede Maha Putra
May 15, 2025
0
Mengharapkan Peran Serta Anak Muda untuk Mengembalikan Vitalitas Pusat Kota Denpasar

SIANG terik, sembari menunggu anak yang sedang latihan menari tradisional untuk pentas sekolahnya, saya mampir di Graha Yowana Suci. Ini...

Read more

‘Puisi Visual’ I Nyoman Diwarupa

by Hartanto
May 14, 2025
0
‘Puisi Visual’ I Nyoman Diwarupa

BERANJAK dari karya dwi matra Diwarupa yang bertajuk “Metastomata 1& 2” ini, ia mengusung suatu bentuk abstrak. Menurutnya, secara empiris...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
Anniversary Puri Gangga Resort ke-11, Pertahankan Konsep Tri Hita Karana

Anniversary Puri Gangga Resort ke-11, Pertahankan Konsep Tri Hita Karana

May 13, 2025
“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

May 8, 2025
Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

May 7, 2025
Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

April 27, 2025
Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

April 23, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
45 Tahun Rasa itu Tak Mati-mati: Ini Kisah Siobak Seririt Penakluk Hati
Kuliner

45 Tahun Rasa itu Tak Mati-mati: Ini Kisah Siobak Seririt Penakluk Hati

SIANG itu, langit Seririt menumpahkan rintik hujan tanpa henti. Tiba-tiba, ibu saya melontarkan keinginan yang tak terbantahkan. ”Mang, rasanya enak...

by Komang Puja Savitri
May 14, 2025
Pendekatan “Deep Learning” dalam Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila 
Khas

Pendekatan “Deep Learning” dalam Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila

PROJEK Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P-5) di SMA Negeri 2 Kuta Selatan (Toska)  telah memasuki fase akhir, bersamaan dengan berakhirnya...

by I Nyoman Tingkat
May 12, 2025
Diskusi dan Pameran Seni dalam Peluncuran Fasilitas Black Soldier Fly di Kulidan Kitchen and Space
Pameran

Diskusi dan Pameran Seni dalam Peluncuran Fasilitas Black Soldier Fly di Kulidan Kitchen and Space

JUMLAH karya seni yang dipamerkan, tidaklah terlalu banyak. Tetapi, karya seni itu menarik pengunjung. Selain idenya unik, makna dan pesan...

by Nyoman Budarsana
May 11, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [15]: Memeluk Mayat di Kamar Jenazah

May 15, 2025
Puisi-puisi Hidayatul Ulum | Selasar Sebelum Selasa

Puisi-puisi Hidayatul Ulum | Selasar Sebelum Selasa

May 11, 2025
Ambulan dan Obor Api | Cerpen Sonhaji Abdullah

Ambulan dan Obor Api | Cerpen Sonhaji Abdullah

May 11, 2025
Bob & Ciko | Dongeng Masa Kini

Bob & Ciko | Dongeng Masa Kini

May 11, 2025
Selendang Putih Bertuliskan Mantra | Cerpen I Wayan Kuntara

Selendang Putih Bertuliskan Mantra | Cerpen I Wayan Kuntara

May 10, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co