PADA 2020, dosen IKIP Gunung Sitoli Riana, menyoroti rendahnya perhatian sekolah terhadap pendidikan sastra. Ia mengungkap bahwa sastra sering dianggap tidak penting dan tidak memiliki peran yang signifikan dalam kehidupan masyarakat Indonesia saat ini. Hal tersebut terjadi karena masyarakat sedang bergerak menuju orientasi industri, di mana sains, teknologi, dan kebutuhan jasmani dianggap lebih utama dan mendesak.
Minimnya minat masyarakat terhadap kegiatan sastra —dan kebudayaan secara umum—menjadi salah satu tanda dari kecenderungan ini. Sastra dinilai hanya memberikan manfaat secara batiniah dan non-material, sehingga sering kali diposisikan sebagai sesuatu yang tidak mendesak dan bisa ditunda.
Riana menyebut bahwa kondisi tersebut juga tercermin dalam dunia pendidikan. Perhatian siswa dan pihak sekolah terhadap mata pelajaran yang berkaitan dengan sains dan teknologi jauh lebih besar dibandingkan pelajaran yang bersifat humaniora. Ketimpangan ini tampak nyata dalam kurangnya sarana seperti laboratorium bahasa, sanggar seni, buku-buku sastra, dan fasilitas pendukung lainnya dalam proses pembelajaran sastra.
Penekanan terhadap arah pendidikan yang lebih condong pada penguasaan teknologi juga terlihat dalam pernyataan Wamendiksaintek RI, Stella Christie, dalam diskusi panel bertema “Mempercepat Transformasi Ekonomi Nasional: Strategi Pengembangan Hilirisasi Industri, Ketahanan Pangan, dan SDM Unggul” pada awal Januari 2025. Ia menegaskan bahwa mahasiswa dengan pola pikir riset (research mindset) dapat menjadi kunci lahirnya teknologi dan industri baru, serta mampu menjawab kebutuhan dunia kerja. Dalam pandangan Stella, penguatan hilirisasi riset harus ditopang oleh proses huluisasi—penyiapan SDM unggul yang sejak dini diarahkan pada penguasaan sains dan inovasi.
Gagasan yang menurut saya semakin mencerminkan kuatnya arus pragmatis dalam dunia pendidikan, yang menempatkan kemajuan teknologi sebagai tolok ukur utama keberhasilan. Arah pemikiran Stella tersebut secara tidak langsung menegaskan kembali posisi sastra dan bidang humaniora sebagai hal yang tidak mendesak, dan bahkan dianggap kurang relevan dalam strategi pembangunan nasional Indonesia saat ini.
Ketika perhatian terhadap sains dan teknologi semakin mendominasi —sebab sejalan dengan arah kebijakan pembangunan ekonomi nasional— pelajaran sastra dan aktivitas literasi justru semakin terpinggirkan. Dalam kondisi tersebut memperjuangkan ruang bagi sastra di tengah ekosistem pendidikan yang semakin pragmatis menjadi pekerjaan yang tidak mudah. Di tengah dinamika kebijakan pendidikan dan desakan kebutuhan ekonomi yang kian mendesak, kegiatan Peta Sastra Kebangsaan yang kembali saya dan Ayu Utami helat di SMA Asisi Jakarta pada Maret 2025 terasa seperti upaya kecil untuk tetap merawat sisi batiniah dari pendidikan —sebuah ruang yang memberi tempat bagi empati, imajinasi, dan kemanusiaan. Sastra, yang mungkin tidak selalu tampak mendesak, justru semakin terasa penting untuk dipelihara.

Stebby Julionatan (saya/penulis) dalam pembukaan kegiatan Peta Sastra Kebangsaan di SMA Asisi, 19 Maret 2025 | Foto: Ist
Ya, meski sama dengan tahun-tahun sebelumnya, pelaksanaan kali ini terasa jauh lebih menantang. Tekanan yang saya hadapi bukan hanya bersifat teknis, tetapi juga berkaitan erat dengan pergeseran orientasi pendidikan yang telah dipaparkan sebelumnya. Peta Sastra Kebangsaan yang saya maksudkan di atas adalah metode membaca pemikiran bangsa melalui sastra dengan menggunakan 11+1 kata kunci (baca: Membaca Peta Sastra: Menghentikan Kekerasan oleh Anak, 2024).
Dinamika dalam Dunia Pengajaran Sastra
Pada tahun ini, setelah saya mengalami sendiri perbedaan mengajarkan hal yang sama, yaitu sastra, di SMA dan di perguruan tinggi, saya semakin memahami kegelisahan para guru (baca: guru Bahasa dan Sastra Indonesia). Salah seorang guru asal Banten, Apip Kurniadin, yang pernah mengikuti pelatihan Peta Sastra Kebangsaan di Salihara pada 2024 pernah menyampaikan pada saya bahwa kurikulum saat ini menempatkan mereka dalam dilema, yakni antara memenuhi tuntutan akademik atau mengajarkan sastra sebagai bagian dari ideologi mereka (baca: identitas bangsa).
Dari apa yang Apip utarakan, saya berefleksi bahwa sebenarnya keberhasilan saya membawa sastra ke ruang kelas di SMA Asisi Jakarta adalah bentuk privilege. Ya, di tempat tersebut, saya diberi izin oleh kepala sekolah di tempat saya mengajar untuk melakukan inovasi dalam kurikulum. Kepala sekolah saya pun tidak membatasi atau menyensor materi-materi yang saya berikan kepada siswa, pun demikian dengan tanggapan dari para orang tua wali murid selama ini. Kepala SMA Asisi Jakarta, Heru Malyono, dan beberapa wali murid yang saya kenal justru senang ketika anak mereka diperkenalkan terhadap sastra dan memberi saya ruang yang lebih luas untuk berkreasi.

Ayu Utami bersama peserta kegiatan Peta Sastra Kebangsaan di SMA Asisi, 19 Maret 2025 | Foto: Ist
Namun, tentu saya memahami bahwa kondisi sebagaimana yang saya sampaikan di atas, tidak dialami oleh semua sekolah. Dari kegiatan sosialisasi Peta Sastra Kebangsaan yang dihelat Salihara dan diperuntukkan pada guru pada 2024 lalu, saya pun mendengar cerita bahwa bebarapa rekan guru dilarang mengajarkan novel-novel tertentu atau dipaksa mengikuti kurikulum secara kaku. Misalnya, sekolah mereka menyensor secara mandiri novel Eka Kurniawan dan Ayu Utami. Mereka takut membahas karya yang dianggap sensitive. Mereka “takut” memperkenalkan Cantik Itu Luka atau Saman kepada siswa karena reaksi orang tua wali murid yang jauh berbeda dengan yang saya dapatkan. Ya, saya menyadari, di banyak tempat, sastra masih harus berhadapan dengan sensor dan batasan yang ketat.
Kondisi Ekonomi dan Literasi di Sekolah
Dari perjumpaan saya dengan dua belas rekan guru dari berbagai penjuru Indonesia pada 27-28 April 2024, saya semakin sadar bahwa salah satu tantangan terbesar dalam merawat pendidikan sastra di sekolah adalah faktor ekonomi. Saya merasa beruntung karena SMA Asisi Jakarta, tempat saya mengajar, berada di bawah naungan Yayasan Pendidikan Asisi yang memiliki dukungan cukup memadai —termasuk akses berlangganan ke platform buku digital seperti Gramedia Digital. Namun, saya juga tahu bahwa kemewahan seperti ini bukanlah sesuatu yang dimiliki oleh semua sekolah.
Dalam pertemuan dengan perwakilan 12 guru sastra dari seluruh Indonesia tersebut, muncul berbagai kisah yang mencerminkan kesenjangan ini. Banyak guru, terutama yang mengajar di luar Jawa, menghadapi kondisi yang jauh lebih menantang. Giyai Rika, seorang guru dari Papua, misalnya, mengaku kesulitan mengakses buku-buku sastra, baik dalam bentuk cetak maupun digital. Bukan hanya buku sastra nasional, tetapi juga karya-karya lokal yang bisa merepresentasikan pengalaman dan isu khas daerah mereka pun nyaris tidak tersedia.

Ayu Utami memberi materi kepada peserta kegiatan Peta Sastra Kebangsaan di SMA Asisi, 19 Maret 2025 | Foto: Ist
Situasi ini tentu memperparah absennya pendekatan literasi yang berbasis lokalitas. Ketika membicarakan sastra sebagai cermin kehidupan dan identitas kultural, bagaimana mungkin siswa diajak memahami ketimpangan sosial di sekitarnya jika tidak ada karya yang menarasikannya? Di beberapa sekolah, bahkan untuk memperkenalkan wacana kebangsaan melalui sastra pun terasa mustahil—karena bahan bacaan itu sendiri tidak ada. Maka dari itu, perhatian terhadap akses, distribusi buku, dan penyediaan fasilitas literasi yang merata menjadi persoalan mendesak dalam pembicaraan tentang pendidikan sastra hari ini.
Perubahan Kurikulum dan Meredupnya Minat Baca
Salah satu tantangan yang paling saya rasakan belakangan ini adalah dampak nyata dari transisi Kurikulum 2013 ke Kurikulum Merdeka. Di atas kertas, kurikulum ini menjanjikan kebebasan yang lebih luas bagi guru dan siswa untuk mengeksplorasi minat dan potensi mereka. Namun kenyataan di lapangan tidak selalu seideal konsepnya. Alih-alih menjadi ruang merdeka untuk memperkaya literasi, mata pelajaran Bahasa Indonesia Lanjutan yang seharusnya membuka pintu eksplorasi sastra dan pemikiran kritis justru dipandang sebagai beban tambahan. Banyak siswa menghindarinya bukan karena sulit, tetapi karena tidak lagi merasakan relevansi atau daya tariknya.

Peserta kegiatan Peta Sastra Kebangsaan di SMA Asisi, 19 Maret 2025 | Foto: Ist
Pengalaman ini sejalan dengan cerita para guru yang saya temui dalam kegiatan sosialisasi Peta Sastra Kebangsaan dan sesi diskusi bersama para guru di Salihara. Ketika buku-buku tidak tersedia, karya-karya lokal absen, dan kebebasan mengajar dibatasi oleh kekhawatiran akan reaksi wali murid atau regulasi internal sekolah, maka perubahan kurikulum saja tidak cukup. Bahkan, di SMA Asisi yang relatif memiliki kelonggaran dan dukungan, saya melihat sendiri bahwa jumlah siswa yang menikmati membaca karya sastra di luar kewajiban akademik semakin berkurang. Membaca tidak lagi menjadi kegiatan yang membangkitkan rasa ingin tahu, melainkan hanya rutinitas untuk memenuhi nilai.
Refleksi ini menguatkan kekhawatiran saya: jika sistem pendidikan tidak dibarengi dengan dukungan ekosistem literasi yang memadai —baik dari segi akses, pendekatan pengajaran, maupun kebijakan yang berpihak— maka minat baca akan terus merosot. Apa jadinya masa depan literasi bangsa jika buku-buku tidak hadir, jika sastra tidak diberi ruang, dan jika membaca tidak lagi dianggap sebagai kebutuhan kultural yang mendalam?
Tetap Menghidupkan Sastra dengan 3 Kata Kunci
Dengan tiga persoalan yang telah saya paparkan sebelumnya—kurangnya dukungan struktural, ketimpangan akses terhadap literatur, dan meredupnya minat baca akibat perubahan kurikulum—muncul pertanyaan mendasar: bagaimana kita bisa terus merawat pendidikan sastra di tengah kondisi seperti ini?
Ayu Utami, dalam pelatihan Peta Sastra Kebangsaan di Salihara, pernah menawarkan pendekatan “11+1 Kata Kunci” sebagai metode terbuka yang bisa disesuaikan dengan konteks. Pendekatan ini tidak kaku, dan justru memberi ruang bagi pengajar untuk beradaptasi. Tahun ini, dalam pelaksanaan proyek Peta Sastra Kebangsaan yang saya lakukan di SMA Asisi Jakarta (Maret–Mei 2025), saya mencoba menggunakan hanya tiga kata kunci utama. Waktu yang terbatas bukan alasan untuk menyerah. Dari pengalaman saya mengajar di berbagai tempat—baik di SMA maupun perguruan tinggi—saya belajar bahwa keberanian untuk mengadaptasi dan memodifikasi metode sangat penting untuk menjaga agar nyala sastra tidak padam.

Peserta kegiatan Peta Sastra Kebangsaan di SMA Asisi, 19 Maret 2025 | Foto: Ist

Ayu Utami dan Stebby Julionatan (saya/penulis) berfoto dalam kegiatan Peta Sastra Kebangsaan di SMA Asisi, 19 Maret 2025 | Foto: Ist

Berfoto bersama peserta dalam kegiatan Peta Sastra Kebangsaan di SMA Asisi, 19 Maret 2025 | Foto: Ist
Saya percaya, pengajaran sastra tidak bisa menunggu kondisi ideal. Ketika akses terbatas, ketika kebijakan berubah dengan cepat, bahkan ketika buku-buku disensor atau tak tersedia, kita tetap bisa membangun ruang dialog yang hidup lewat sastra. Kreativitas, keteguhan hati, dan dukungan komunitas menjadi modal utama. Di SMA Asisi, saya bersyukur memiliki kepala sekolah dan wali murid yang mendukung. Tapi saya sadar, banyak rekan saya di daerah lain yang harus berjuang sendirian.
Justru karena itu, saya merasa semakin yakin bahwa sastra harus terus diajarkan. Apalagi, sehari setelah pembukaan proyek Peta Sastra Kebangsaan tahun ini, DPR mengetuk palu untuk mengesahkan revisi UU TNI yang baru. Sebagai pengajar, saya bertanya dalam hati—apakah ini bukan bentuk ancaman bagi kebebasan berpikir dan berekspresi? Apakah kita akan kembali pada masa ketika suara kritis dibungkam secara sistematis? Di tengah ketidakpastian arah bangsa, saya melihat sastra bukan hanya sebagai bahan ajar, tetapi juga sebagai ruang perlawanan kultural.
Ya, Peta Sastra Kebangsaan yang semula diperkenalkan oleh Ayu Utami, bagi saya bukan sekadar proyek literasi tahunan, tetapi sebuah upaya mempertahankan ruang kebebasan di sekolah, di benak para siswa, dan di tengah arus besar yang mengikis nilai-nilai humaniora. Sastra bukan untuk sekadar dibaca—ia untuk direnungkan, diperdebatkan, dan dijadikan alat untuk memahami dunia yang rumit ini. Jika kita masih percaya pada masa depan yang berpihak pada kebebasan berpikir dan kepekaan nurani, maka merawat pendidikan sastra bukanlah pilihan, tetapi kewajiban. [T]
Jakarta, 9 April 2025
Penulis: Stebby Julionatan
Editor: Adnyana Ole
- BACA JUGA