SEJAK Presiden Donald J. Trump menduduki oval office pasca dilantik 20 Januari 2025 lalu, telah banyak polemik yang menyertai berbagai kebijakan yang dikeluarkannya. Mulai dari perang dagang dengan hampir semua negara mitra ekonominya, dan diperparah dengan saling ancam dengan Cina, kebijakan imigrasi yang makin ketat, dukungan yang tak kenal batas terhadap Israel yang sudah berkali-kali terbukti melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia terhadap rakyat Palestina di Gaza, hingga yang terbaru adalah ancaman revokasi atau pencabutan visa pelajar internasional di berbagai perguruan tinggi di Amerika Serikat (AS), karena mereka dianggap menimbulkan huru hara politik di dalam negeri Amerika.
Sebetulnya apa yang hendak dicapai oleh pemerintahan Trump part 2 ini? Apakah memang pelajar dan mahasiswa internasional memiliki ancaman sebesar itu? Sebelum kita analisis apakah ancaman tersebut nyata atau hanya paranoia sebuah administrasi pemerintahan, mari kita telaah konsep perguruan tinggi di Amerika Serikat.
Saya adalah salah seorang akademisi yang mendapatkan beasiswa Fulbright untuk melanjutkan studi Doktoral di Rutgers, the State University of New Jersey, dan tinggal di New Jersey sepanjang tahun 2014-2018 lalu. Pada masa kepresidenan Trump periode pertama saya masih tinggal di Amerika Serikat, beruntungnya saya tinggal di negara bagian New Jersey yang mayoritas pendukung partai Demokrat. Sementara Trump diusung oleh partai Republikan yang konservatif.
Sebagai mahasiswa internasional selama periode kepemimpinan Trump yang pertama, secara pribadi saya tidak mendapatkan tekanan dari Pemerintah AS, misal dalam bentuk surat teguran atau peringatan atau ancaman apa pun. Mungkin karena pada periode ini belum ada aksi-aksi demonstrasi besar yang diorganisir aktivis mahasiswa di berbagai universitas di AS yang memprotes perang Gaza di tahun 2024 lalu.
Implikasi dari banyaknya dukungan universitas di AS terhadap aksi-aksi protes mahasiswa ini ternyata berdampak besar bagi mahasiswa internasional yang saat ini masih ada di AS. Hal yang berbeda dialami oleh para mahasiswa internasional yang sedang melanjutkan studi di Amerika Serikat terutama di tahun 2025 ini. Rumeysa Ozturk, seorang mahasiswi program Doktoral di Tufts University di Boston, telah ditangkap saat dalam perjalanan berbuka puasa pada bulan Ramadhan lalu. Petugas Imigrasi berpakaian sipil dan memakai masker terlihat menghampiri Ozturk dan kemudian langsung memborgolnya dan membawa mahasiswi ini masuk ke mobil untuk ditahan. Ozturk dianggap bersalah karena menulis opini terkait perang Israel-Palestina dan dituduh bergabung dengan organisasi radikal yang pro Palestina.
Berbagai protes telah dilayangkan ke Kementerian Luar Negeri AS, namun Menteri Luar Negeri AS, Marco Rubio, justru menyatakan bahwa semua pengunjung (visitors) yang masuk ke AS dengan visa pelajar namun melakukan hal-hal yang merusak ketertiban umum akan dicabut visanya dan dideportasi ke negara asalnya tanpa kecuali. Di jumpa pers pada tanggal 14 April lalu, Menlu Rubio menyatakan “Visiting America is not an entitlement, but a privilege…all foreign nationals including those on F-1 student visas, H-1B work visas, and even green card holders, must respect American values and laws…they [pro-Palestine protesters] shut down elite college campuses that were built for American citizens. They harass Jewish students. These are mostly foreign nationals who have no right to be here if they cannot respect American laws (The Economic Times, 2025).”
Pernyataan Rubio ini selaras dengan kebijakan Pemerintah Amerika Serikat baru yang mewajibkan semua orang non penduduk/citizen yang ada di AS, entah mereka pemegang visa pelajar, visa kerja, maupun green card holders untuk selalu membawa dokumen resmi saat bepergian, dan semua warga asing yang masuk AS setelah tanggal 11 April 2025 harus sudah mendaftarkan dirinya dalam waktu 30 hari berikutnya.
Peraturan ini sebetulnya bukan hal baru karena mengacu pada Undang-Undang/UU Alien Registration Act yang dibuat pada masa Perang Dunia II. Dimana UU ini mewajibkan semua warga negara asing non-penduduk (biasa disebut aliens) untuk melakukan registrasi dan menekankan adanya pengawasan terhadap semua orang asing/alien di masa krisis nasional. Presiden Trump telah beberapa kali membuat pernyataan yang menyatakan bahwa tidak ada tempat di Amerika Serikat bagi semua orang asing yang mengancam kepentingan nasional AS.
Kepentingan nasional AS disini mengacu pada masalah keamanan, terutama keamanan dalam negeri dan luar negerinya. Pemerintahan Trump dinilai memiliki paranoia terhadap para imigran, baik legal maupun illegal, dan juga terhadap berbagai institusi yang kritis terhadap kebijakannya, termasuk institusi pendidikan tinggi, yaitu universitas negeri maupun swasta. BBC News di hari ini melaporkan bahwa Presiden Trump telah memerintahkan pembekuan dana bantuan federal sebesar $2 miliar untuk Harvard University setelah Harvard menolak memenuhi permintaan dari Gedung Putih.
***
Pemerintahan Trump sebelumnya telah mengirimkan surat ke berbagai universitas terkemuka di AS yang dianggap gagal melindungi mahasiswa Yahudi dan memperbolehkan aksi mengkritisi sikap pro-Israel karena mengijinkan adanya berbagai aksi protes perang Gaza terjadi di kampus mereka. Aksi-aksi protes ini dianggap sebagai bagian dari tindak Anti-Semitisme oleh pemerintahan Trump sehingga muncul tuntutan agar universitas-universitas di AS mengirimkan daftar mahasiswa internasional yang ada di berbagai program, melaporkan mahasiswa mereka yang dianggap tidak selaras dengan nilai-nilai Amerika; mengakhiri program Diversity, Equity and Inclusion (DEI) yang dianggap bermasalah; serta mengaudit berbagai program studi dan departemen yang dianggap paling anti-Semit dan kritis terhadap kebijakan pemerintah AS yang mendukung Israel.
Presiden Universitas Harvard, Alan Garber, menyatakan bahwa penolakan Harvard tidak berarti mereka tidak mau melindungi mahasiswa Yahudi dan anti-Semit namun Harvard menilai pemerintah Trump sudah bertindak terlalu jauh. Garber menyatakan “We [Harvard] have informed the administration through our legal counsel that we will not accept their proposed agreement. The university will not surrender its independence or relinquish its constitutional rights…Although some of the demands outlined by the government are aimed at combating antisemitism, the majority represent direct governmental regulation of the ‘intellectual conditions’ at Harvard (BBC, 2025).”
Harvard merupakan universitas besar pertama di AS yang berani menyatakan penolakan dengan tegas, setelah sebelumnya universitas Columbia di New York yang pada awalnya bersikap tegas kemudian mulai melunak dan mematuhi perintah Gedung Putih setelah dana bantuan federal sebesar $400 juta dibekukan. Tragisnya lagi, hari Senin lalu seorang mahasiswa universitas Columbia asal Palestina, Mohsen Mahdawi, ditahan oleh pihak Imigrasi AS saat sedang menghadiri proses wawancara untuk mendapatkan kewarganegaraan AS di Vermont. Mahdawi adalah seorang warga Palestina yang memiliki Green Card, dan dicurigai menjadi korban dari pelaporan universitas Columbia terhadap pemerintah AS.
Rutgers University yang merupakan perguruan tinggi negeri terbesar di negara bagian New Jersey, menyelenggarakan diskusi terkait fenomena ini dengan judul “Silencing Dissent; The Islamophobia Industry’s Assault of Academic Freedom,” sebagai sebuah media kritik terhadap pemerintahan Trump. Diskusi ini diadakan oleh Rutgers Center for Security, Race, and Rights yang konsisten mengangkat isu-isu terkait kelompok minoritas dan ketidakadilan di AS. Diskusi ini bertujuan untuk menyebarkan pemahaman bahwa pemerintah Trump telah dengan sengaja menyasar berbagai institusi Pendidikan tinggi di AS untuk ‘membungkam’ kesadaran kritis terkait ketidakdilan yang dialami imigran, kaum Muslim, kelompok minoritas, dan pelanggaran HAM yang saat ini terjadi di Gaza serta wilayah konflik lainnya di dunia.
Terkait dengan penargetan mahasiswa internasional yang saat ini ada di AS memang sangat disayangkan, karena banyak bakat-bakat besar dunia yang menyumbang kemajuan ilmu pengetahuan di AS justru berasal dari para mahasiswa internasional tersebut. [T]
Penulis: Nuriyeni Kartika Bintarsari
Editor: Adnyana Ole