BERBEKAL pengalaman mengelola sampah desa yang belum sempurna, serta tambahan pembelajaran tentang tata kelola sampah ketika saya diundang ke Kota Oshaki, Jepang, izinkan saya berbagi pemikiran tentang tata kelola sampah.
Kenapa Oshaki Jepang? Karena saya melihat, pengelolaan sampahnya di kota itu bagus, tidak sulit dan tampaknya cocok kalau dilakukan di Bali sebagai “one island system”
Sampah kalau dipilah, isinya: sampah dapur, sampah dedaunan, plastik, dan residu.
Hanya residu yang seharusnya dibawa ke TPA (tempat Pembuangan Akhir). Sampah dapur dan dedaunan dijadikan kompos. Sampah plastik dikelola untuk didaur ulang dan dijual kembali ke pabrikan.
Saat belajar di kota Oshaki, TPA mereka sangat bersih, tidak bau, karena mereka telah berhasil menekan volume residu hanya kisaran 6 hingga 7 persen.
Seperti yang dijelaskan di sana, bahwa proses mencapai residu yang rendah itu, mereka juga membutuhkan waktu yang cukup lama, puluhan tahun lebih.

Perbekel Baktiseraga Gusti Putu Armada (penulis) saat di Oshaki, Jepang | Foto: Dok, pribadi
Kondisi ini berbeda kita di sini, di Bali, yang hampir seluruh sampah tercampur dan terkirim ke TPA, sehingga berapa pun luas TPA akan segera penuh dan tidak akan mampu lagi menampung volume sampah yang semakin besar.
Risiko lain adalah kebakaran, karena sampah tercampur (organik, plastik, dan residu) mengeluarkan gas metana yang bau dan mudah terbakar.
Bali hari ini sangat bermasalah dengan sampah. Maka saya sepakat bahwa sampah harus ditangani dengan intensif. Caranya adalah keterlibatan seluruh pihak. Peraturan, surat edaran, itu perlu. Yang lebih substansial adalah sistem, mekanisme, dan tata kelola yang dibuat dg matang.
Hal yang saya sangat ingat, di Jepang, tata kelolanya sangat baik, Negara hadir, dan masyarakat terlibat aktif.
Keterlibatan masyarakat ada pada proses awal munculnya sampah, baik di rumah tangga, pasar, dunia usaha, dll. Tanggung jawab masyarakat adalah memilah sampah itu.
Selanjutnya adalah peran pemerintah untuk menyelesaikannya. Sampah organik dijadikan kompos, Plastik didaur ulang, Residu ke TPA.
Bagaimana cara melakukan itu, tentu dengan konsep yang dibahas matang. Ada pembahasan yang serius antara dinas terkait yaitu Dinas Lingkungan Hidup (DLH), (Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), pemrintah kecamatan, dan pemerintah desa. Jadi, ada pembagian tugas dan tata kelola.
Bahwa ada kreatifitas masyarakat dalam tata kelola seperti teba (halaman belakang) modern, lubang daus, itu adalah hal positif yang bisa mengurangi keluarnya sampah organik dari sumbernya.

Perbekel Baktiseraga Gusti Putu Armada (penulis) saat memberi pelatihan tentang pengelolaan sampah | Foto: Dok, pribadi
Kebijakan Gubernur Bali Wayan Koster yang punya komitmen untuk penanggulangan sampah sangat perlu diapresiasi.
Kami di desa, terus berupaya meningkatkan kapasitas agar tata kelola sampah yang dimiliki makin baik ke depan. Targetnya adalah meminimalkan prosentase sampah residu yang terkirim ke TPA.
Harus dimulai dari diri, tidak perlu saling menyalahkan. Jadikan pengelolaan sampah menjadi kebiasaan yang terpola dengan baik. [T]
Penulis: Gusti Putu Armada
Editor: Adnyana Ole