BARU-BARU ini, Perdana Menteri Thailand Paetongtarn Shinawatra, memperkenalkan program ambisius bernama “6 Negara, 1 Tujuan” untuk mengintegrasikan pariwisata enam negara ASEAN: Thailand, Malaysia, Vietnam, Laos, Kamboja, dan Brunei. Inisiatif ini bertujuan menjadikan kawasan ASEAN sebagai destinasi wisata terpadu dunia, sebuah langkah strategis dalam persaingan global. Namun, ketika inisiatif besar ini diluncurkan tanpa menyebutkan Indonesia, saya jadi berpikir: apakah peran kepemimpinan Indonesia di ASEAN mulai tergeser?
Indonesia selama ini memiliki posisi kuat sebagai pemimpin non-formal ASEAN, dibangun di atas fondasi populasi terbesar di kawasan, luas wilayah yang dominan, dan rekam jejak diplomatik yang impresif. Kata-kata “ASEAN Way” dan “ASEAN Centrality” sendiri lahir dari kontribusi intelektual diplomat-diplomat Indonesia. Mengapa dalam inisiatif strategis ini Indonesia seolah terpinggirkan?
Logika Geografis
Faktor geografis mungkin menjadi pertimbangan logis di balik inisiatif ini. Keenam negara tersebut memiliki keuntungan berbagi daratan yang sama (kecuali Brunei), dengan konektivitas fisik melalui jaringan transportasi darat yang tidak dimiliki Indonesia sebagai negara kepulauan.
Namun di balik logika geografis, terdapat dimensi politik yang tidak bisa diabaikan. Thailand, melalui inisiatif ini, secara tidak langsung menegaskan aspirasinya sebagai pemain utama dalam arsitektur ASEAN mendatang. Ketidakterlibatan Indonesia menciptakan kesan paradoksal: bagaimana mungkin “kapal besar” ASEAN berlayar tanpa nahkoda utamanya?
Inisiatif ini juga membawa implikasi geopolitik di era rivalitas AS-Tiongkok. Dengan membangun blok ekonomi yang lebih terintegrasi, keenam negara ini berupaya memperkuat posisi tawarnya dalam konstelasi global yang semakin tidak menentu.
Risiko Fragmentasi dan Tantangan Kohesivitas ASEAN
Namun, strategi yang tampak menjanjikan ini menyimpan risiko signifikan. Pengabaian terhadap Indonesia dan Filipina – dua negara dengan pengaruh besar di kawasan – berpotensi menciptakan fragmentasi internal ASEAN. Situasi ini mirip dengan keluarga yang merencanakan pernikahan tanpa mengundang saudara kandungnya sendiri. Konsekuensinya tidak hanya sekadar ketersinggungan sesaat, melainkan keretakan hubungan jangka panjang yang sulit diperbaiki.
Menghadapi situasi ini, Indonesia perlu merumuskan sikap yang tegas dan terukur. Apakah akan bergabung, mengusulkan modifikasi, atau justru menginisiasi alternatif yang lebih inklusif? Berdiam diri jelas bukan opsi yang bijak.
Dalam dinamika politik regional, ketidakhadiran sering ditafsirkan sebagai ketidakmampuan atau keengganan untuk terlibat – persepsi yang berbahaya bagi nation branding Indonesia sebagai pemimpin alamiah ASEAN.
Infrastruktur Konektivitas sebagai Pondasi Integrasi
Saat mengamati inisiatif ini lebih dalam, faktor konektivitas infrastruktur menjadi kunci penting yang tidak bisa dipisahkan dari dinamika integrasi ini. Keenam negara tersebut terhubung melalui jaringan jalan darat yang memungkinkan wisatawan menyeberang perbatasan dengan mudah seperti koridor ekonomi Greater Mekong Subregion (GMS) dan jalur kereta Trans-ASEAN.
Integrasi pariwisata yang digagas Thailand akan memanfaatkan dan semakin memperkuat infrastruktur yang sudah ada, menciptakan jalinan ketergantungan yang saling menguntungkan, mulai dari harmonisasi kebijakan visa, standardisasi pelayanan wisata, hingga pembangunan koridor transportasi terpadu yang memudahkan mobilitas antar negara dalam hitungan jam, bukan hari.
Jalinan ketergantungan ini memang menawarkan prospek menarik. ASEAN berpotensi menjadi kawasan yang lebih terpadu dengan daya saing global yang meningkat. Namun, pelajaran dari pandemi COVID-19 harusnya mengingatkan kita akan bahaya ketergantungan berlebih pada satu sektor ekonomi.
Ketika pariwisata global lumpuh akibat pandemi, negara-negara dengan ekonomi yang bertumpu pada sektor ini mengalami pukulan telak. Thailand sendiri, sebagai penggagas inisiatif ini, mengalami kontraksi ekonomi signifikan saat pandemi melanda.
Strategi Maritim Indonesia: Memanfaatkan Keunggulan Komparatif
Di sinilah Indonesia memiliki kesempatan emas untuk menawarkan perspektif yang lebih komprehensif sambil mengakui keterbatasan geografisnya sebagai negara kepulauan. Meskipun tidak dapat bersaing dalam hal konektivitas darat, Indonesia memiliki keunggulan komparatif sebagai hub konektivitas maritim dan udara yang vital bagi ASEAN.
Sebagai pemilik ekonomi terbesar di kawasan dengan struktur yang relatif diversifikasi, Indonesia dapat mendorong model integrasi berbeda yang melengkapi inisiatif daratan, misalnya melalui konsep “ASEAN Seaways” yang mengintegrasikan jalur pelayaran atau “ASEAN Airspace” yang mengoptimalkan konektivitas udara.
Indonesia juga dapat mendorong integrasi yang lebih berimbang, tidak hanya pariwisata, tetapi juga manufaktur, ekonomi digital, keberlanjutan lingkungan, dan inovasi teknologi. Dengan mengambil posisi ini, Indonesia tidak sekadar mempertahankan relevansinya, tetapi juga memperkuat fondasi ekonomi ASEAN secara keseluruhan dengan memanfaatkan keunikan geografisnya, bukan menganggapnya sebagai hambatan.
Langkah konkret yang perlu diambil adalah inisiasi dialog diplomatik berskala tinggi dengan Thailand dan negara-negara terkait, dengan fokus khusus pada bagaimana mengintegrasikan keunggulan konektivitas darat mereka dengan potensi konektivitas maritim dan udara Indonesia. Pendekatan ini mengakui realitas geografis sambil mencari sinergi yang memungkinkan.
Alih-alih bersikap defensif atau menunjukkan ketersinggungan atas ketidakterlibatannya, Indonesia harus hadir sebagai fasilitator yang konstruktif. Kita harus menawarkan kerangka integrasi yang lebih komprehensif yang menghubungkan “ASEAN daratan” dengan “ASEAN kepulauan.” Layaknya seorang konduktor orkestra yang memastikan setiap seksi instrumen memainkan bagiannya dengan tepat untuk menciptakan harmoni keseluruhan, Indonesia perlu memastikan bahwa integrasi ASEAN tidak terfragmentasi secara geografis, melainkan saling melengkapi dan memperkuat.
Jika Indonesia berhasil mengambil posisi strategis ini, bukan hanya statusnya sebagai pemimpin regional yang akan terpelihara, tetapi ASEAN secara keseluruhan akan memetik manfaat dari pendekatan yang lebih inklusif dan berkelanjutan.
Negara-negara tetangga akan kembali melihat Indonesia sebagai poros utama yang mampu mengharmonisasikan berbagai kepentingan regional.
Urgensi dan Konsekuensi: Apa yang Dipertaruhkan
Sebaliknya, keterlambatan dalam merespon dinamika baru ini bisa berakibat fatal. Posisi Indonesia sebagai “primus inter pares” (yang utama di antara yang setara) dalam kepemimpinan ASEAN dapat tergantikan oleh negara-negara yang lebih responsif terhadap perubahan lanskap regional. Konsekuensinya tidak hanya menyangkut prestise, tetapi juga pengaruh konkret dalam berbagai keputusan strategis ASEAN yang akan berdampak langsung pada kepentingan nasional Indonesia.
Oleh karena itu, Indonesia harus bergerak cepat dan taktis dalam menyikapi perkembangan ini. Langkah pertama yang krusial adalah merumuskan pendekatan yang lebih inklusif untuk integrasi regional, memastikan bahwa ASEAN tetap bergerak sebagai entitas yang utuh, bukan fragmen-fragmen kecil yang bergerak sendiri-sendiri. Hanya dengan pendekatan visioner seperti ini, Indonesia dapat mempertahankan peran historisnya sebagai jangkar stabilitas dan kemajuan ASEAN.
Masa depan kepemimpinan Indonesia di ASEAN akan sangat ditentukan oleh bagaimana kita menavigasi tantangan semacam inisiatif “6 Negara, 1 Tujuan” ini.
Masa depan kepemimpinan Indonesia di ASEAN akan sangat ditentukan oleh bagaimana kita menavigasi tantangan semacam inisiatif “6 Negara, 1 Tujuan” ini. ASEAN yang semakin terintegrasi seharusnya menjadi ASEAN yang semakin inklusif dengan Indonesia tetap berada di jantung prosesnya, bukan di pinggiran. Langkah yang diambil hari ini akan menentukan posisi Indonesia dalam arsitektur ASEAN masa depan. [T]
Penulis: Elpeni Fitrah
Editor: Adnyana Ole
Baca artikel lain dari penulis ELPENI FITRAH