GALIH baik-baik saja sampai akhirnya polisi menangkapnya. 19 November 2023, pukul 5 sore. Dia termenung di teras rumahnya sambil meneguk sedikit demi sedikit kopi susu yang baru dibuatnya selepas kerja. Di kantor, kerjaannya lumayan, walau rasa lelah menghantuinya dan dia berusaha menghilangkan itu.
Dia ditahan dan tetap menganggap dirinya benar. Atau pengakuan bahwa dirinya menyobek perut polisi dan membuat isinya tercecer di sekitar kakinya, adalah semata-mata tindakan heroik, tak lebih dan tak kurang dari itu.
Jadi, dia cuma duduk dan menghilangkan frustasi akibat kerjaannya. Lalu dua polisi itu sekonyong-konyong menangkapnya.
“Ikut kami ke kantor. Jelaskan apa yang kamu lakukan kepada rekan kami,” ungkap polisi yang paling tinggi.
Galih tak melawan. Dia menyerahkan tangannya begitu saja. Dia telah membayangkan peristiwa ini selayaknya terjadi.
Semuanya selesai dan dia merasa telah menang. Dia merasa sudah sangat berperan, sekarang. Dia telah membunuh polisi itu, dan artinya dia telah hidup. Institusi ini menemukan jalan pertama untuk reformasi!
2 November, media sosial dihebohkan tuntutan warganet agar hukuman kasus penembakan polisi oleh polisi segera diputuskan. Galih yang baru saja lulus kuliah, memulai karirnya sebagai copy writer di salah satu firma pendidikan daring. Semuanya berjalan baik. Yang membuatnya mengambil dua batang pisau dan pergi ke tempat di mana polisi itu diamankan, semua orang tak menyangkanya. Dialah anak paling berisik di kantor. Dia hanya butuh dua pekan untuk mengunjungi seluruh rumah karyawan.
Bersama si bos, dia sudah renang bareng. Dialah yang paling akrab dengan OB. Dialah yang paling sering memberi OB itu uang. Pekerja baru gajinya tak seberapa. Tapi dia tetap memberi OB itu uang. Bahkan deretan warung di gang samping kantor sudah pernah dia hutangi. Dan dia selalu bayar tepat waktu.
HRD memanggilnya si kecil malaikat. Tingginya memang hanya 157 sentimeter. Jika kalian menemukan pemuda seumurannya yang menjelek-jelekkan teman kerjanya di second account Instagram, dia memilih untuk mengajaknya makan. Tak mahal. Hanya makanan pinggir jalan. Tapi selalu ke tempat yang tak pernah kawan kerjanya coba.
Suatu kali, dia pernah mengajak admin Instagram kantor ke sebuah pusat kuliner Madura.
“Kamu pasti bakal suka ini,” katanya.
Setelah semua makanan tandas, dia mulai berkata bahwa sebenarnya dia ingin jujur tentang sesuatu. Sangat penting!
“Aku tidak suka caramu bekerja,” ucapnya dengan nada selembut mungkin, berusaha untuk tidak menyinggung.
Tapi semuanya selalu berakhir dengan baik. Begitu lah dia. Jujur dan apa adanya. Dan dia juga sangat pemberani.
Gajinya memang tak seberapa, namun ternyata dia mesti membelikan ini-itu untuk adiknya. Di hari saat dia ditangkap, misalnya. Dia menyempatkan diri mampir ke lapak pedagang mainan dua blok dari kantor (stasiun ada di setelah blok keempat).
Dia membeli mainan yang mirip dengan labubu yang asli. Anak kecil sekarang memang fomo.
Setiap awal bulan, saat dia sudah menghitung dan mengelompokkan uangnya dalam beberapa pos pengeluaran, dia tak pernah melewatkan ibunya.
“Ini buat ibu. Enggak banyak. Tapi cukup buat makan sebulan,” katanya, selalu.
Ibunya kini tak terlalu susah-susah memungut guguran sayur di pasar. Tinggal beli saja. Tapi itu juga tak lepas dari keinginannya untuk menyantap masakan mamanya yang sedap.
Semenjak papanya meninggal dunia dua tahun lalu—saat dia masih berjuang menyelesaikan skripsinya—dia jarang sekali makan enak. Ayahnya wafat saat dia baru saja menyelesaikan ujian proposal. Seperti biasa, sebagaimana masyarakat miskin pada umumnya, tak mampu membayar dokter, dan ayahnya tak tertangani.
Kepergian ayahnya begitu memukulnya, membuatnya baru lulus setelah menambah dua semester. Dia tahu bahwa dia terlalu bergantung kepada sosok ayahnya. Dia bukan anak laki-laki seperti yang secara terbuka memvonis dirinya sendiri sebagai pemuda fatherless. Kondisi beruntung ini pernah dia pikirkan dalam-dalam. Setelah tahu dari ibunya, bahwa ternyata sang ayah ditinggal pergi kakek sejak di bangku kelas empat SD, dia tahu bahwa ayahnya hanya balas dendam.
Ayahnya tak ingin anak-anaknya seperti dirinya, meskipun nasibnya tak jauh beda sejak kepergian itu.
Jadi, saat semua orang kantor mendengar kabar penangkapan si pemuda itu yang sangat sekonyong-konyong, mereka syok. Ternyata selama ini mereka bekerja bersama orang gila! Bayangkan! Bagaimana tidak gila?
Melalui reka adegan yang mereka tonton di akun-akun portal berita di TikTok, pemuda itu menggunakan dua pisau. Satu pisau untuk menguliti tubuh si polisi. Sementara pisau kedua, yang ukurannya empat kali lebih besar, dia gunakan untuk memutus leher dan bagian tubuh lainnya. Dia benar-benar orang gila, pikir orang-orang kantor.
Tapi apalah arti sang polisi itu bagi si pemuda? Dia hanyalah seonggok daging berotak dongkol yang tak tahu apa-apa tentang kesedihan, pikir pemuda itu. Apalagi tentang betapa kejamnya penembakan itu, yang sebenarnya, berusaha ditutup-tutupi institusi bobrok ini. Dan yang paling parah dari itu, pikir si pemuda, adalah usaha untuk memanipulasi keseluruhan peristiwa.
Bagaimana mungkin sebuah pembunuhan berencana dilaporkan sebagai sekadar peristiwa cek-cok antaranggota polisi? Dan media nasional memercayai itu. Kasus ini akan terkonstruksi jika tidak ada sejumlah pihak yang menaruh kecurigaan. Beruntung orang-orang masih mau curiga.
Dan kini, si pemuda ada di rumah tahanan. Dia tak pernah merasa bersedih dengan apa yang dia perbuat sejauh ini. Semua ini adalah buah keberaniannya. Dia merasa telah melakukan sesuatu yang sangat berarti. Tak seperti apa yang dia rasakan selama ini: menjadi orang yang tak berguna, yang hidup semata-mata hanya untuk hidup: mencari uang, menjilat atasan, dan menuruti tuntutan lingkungannya untuk menjadi orang sukses.
Omong kosong, pikirnya. Tapi dengan menghabisi si polisi, sekali lagi, dia merasa telah berbuat sesuatu. Tak ada yang lebih berarti dalam hidupnya selain ini. Bahkan mantan pacarnya dahulu itu.
Dia mungkin pernah melakoni malam paling indah selama dia hidup, yakni ketika dia masih bersama pacarnya. Tiga tahun sudah dia berusaha melupakan wanita itu dan selalu tampak gagal baginya. Amat gagal. Tapi setelah dia melihat aliran darah dari perut si polisi, dia merasa telah melupakan mantan pacarnya. Dia merasa sangat melupakan. Hidup melupakan yang sekadar melupakan. Tapi melupakan untuk tak merasakan apa-apa lagi jika menyangkut mantan kekasihnya.
Sekalipun nantinya dia dihukum mati, dia sangat siap untuk melaksanakannya. Sudah cukup hidup di dunia ini baginya, dan dia sudah cukup berperan untuk keberlangsungan hidup manusia lainnya. Dia tak perlu punya keturunan, lantaran masih ada miliaran orang yang mau punya anak.
Dia merasa amat berhasil. Lantai dingin rumah tahanan ini sebenarnya membuat kulitnya agak tersiksa. Tapi siksaan ini, pikirnya, sangat jauh lebih ringan dibanding rasa getir ketika dia ditangkap oleh sekelompok polisi karena membunuh polisi. Itu yang di pikirannya sekarang.
Namun yang membuatnya kesal, butuh waktu berapa lama lagi untuknya menunggu vonis. Dia ingin mendengar hakim menyatakan tuntutan mati. Dia merasa hidupnya selama ini hanya untuk berada di momen itu. Tak ada hal lain yang berarti selain itu.
Dia membayangkan, di ruang persidangan yang nantinya dipenuhi para kerabat, orang-orang yang mendukungnya, orang-orang yang tidak mendukungnya, dan juga para reporter, dia akan menampakkan senyumnya yang sarat dengan kebahagiaan. Begitulah hidup, pikirnya. Semua tentang setuju atau tidak.
Dan orang-orang seharusnya tak terlalu pusing-pusing memikirkan ini. Biarkan pikiran kita yang menuntun sebagai apa kita berarti untuk kehidupan ini, untuk dunia ini, pikirnya.
Dia divonis kurungan seumur hidup. Dia berdiri didampingi dua petugas. Wartawan membuntutinya: bagaimana tanggapannya atas vonis ini? Puas atau tidak? Apa ini vonis yang diharapkan? Anda tampak tersenyum saat vonis dibacakan, apa maksudnya? Tanya para wartawan.
“Jujur saya kurang puas. Saya ingin hukuman mati. Buat apa saya hidup jika di dalam kurungan. Tak ada yang bisa dilakukan. Saya ingin mati di saat saya berada di posisi paling tinggi, seperti sekarang,” kata Galih.
“Sudah, sudah, cukup, ya,” ujar salah seorang petugas. Galih dibawa kembali ke sel. [T]
Penulis: Hilmi Baskoro
Editor: Adnyana Ole