MARI mulai tulisan ini dengan istilah yang dikenalkan Seno Gumira Ajidarma dalam bukunya Kentut Kosmopolitan, sebuah istilah yang diperkenalkan adalah Homo Jakartensis. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan manusia-manusia yang tinggal di Jakarta, lengkap dengan serba-serbi kehidupannya di kota metropolitan yang perlahan beranjak menjadi kota kosmopolitan. Istilah ini juga dilekatkan kepada orang-orang yang tinggal dan berjuang untuk hidup di Jakarta.
Bicara soal Jakarta, maka kita akan bicara soal segala kemajuan dan potensi sebuah kota besar. Salah satunya adalah fasilitas transportasi, meski Jakarta telah dilengkapi begitu banyak ruas jalan dan transportasi umum, nyatanya persoalan kemacetan belum juga rampung. Bayangkan saja, kota besar dengan potensi yang juga besar saja belum mampu menuntaskan persoalan kemacetan, apalagi kota-kota kecil di sisi lain Indonesia.
Kini, Bali jadi salah satu daerah yang tengah dihadapkan dengan masalah kemacetan. Sebagai penyandang status The Last Paradise in the World, Bali jadi salah satu destinasi paling ramai dikunjungi oleh wisatawan domestik hingga mancanegara. Dalam laporannya, Bali Torism Board menyebut bahwa kunjungan wisatawan mancanegara ke Bali di bulan Januari 2025 mengalami peningkatan tinimbang pada bulan Januari 2024. Pada bulan Januari 2024, wisatawan mancanegara yang datang ke Bali berjumlah 480.464 jiwa, sedangkan pada Januari 2025 kunjungan melonjak menjadi 611.603 jiwa—peningkatan tersebut setara dengan 27 persen.
Peningkatan jumlah wisatawan ke Bali tentu berimplikasi positif kepada pertumbuhan ekonomi, namun di sisi lain, besarnya jumlah wisatawan yang datang ke Bali perlahan mendatangkan persoalan tata kelola dan sosial yang cukup serius bagi Bali. Kemacetan jadi salah satu persoalan serius yang harus ditangani oleh pemerintah daerah kini. Secara sederhana, kemacetan terjadi tatkala panjang jalan tidak lebih besar tinimbang jumlah kendaraan yang ada—dan kesenjangan pertumbuhan antara jumlah kendaraan dan jumlah ruas jalan di Bali benar-benar terjadi.
Pasca pandemi, jumlah kendaraan bermotor di Bali meningkat pesat dari 2,6 juta menjadi 4,4 juta unit—bahkan di akhir tahun 2023, jumlah kendaraan bermotor di Bali mencapai 4,7 juta unit. Peningkatan yang terjadi hampir dua kali lipat. Kesenjangan pun terlihat tatkala kita coba bandingkan peningkatan jumlah unit kendaraan yang beredar di jalanan dengan peningkatan jumlah ruas jalan baru.
Menurut BPS Provinsi Bali tercatat pada tahun 2023, Bali memiliki total ruas jalan sepanjang 8.702,80 km, hanya bertambah 7,1 km sejak tahun 2022 dengan total ruas jalan sepanjag 8.695,70 km. Artinya, sudah jelas bahwa salah satu penyebab utama kemacetan di Bali saat ini adalah kesenjangan antara pertumbuhan ruas jalan dan jumlah kendaraan di setiap tahunnya. Sehingga menjadi hal yang wajar bagi para pemimpin Bali untuk membangun ruas jalan untuk mengatasi masalah ini.
Tetapi yang menjadi pertanyaan, apakah fokus membangun ruas jalan adalah satu-satunya solusi yang tepat atasi kemacetan di Bali?
Membangun Jalan
Harus diakui bahwa kemacetan di Bali lebih banyak terjadi di Kawasan Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan (Sarbagita), hal ini dikarenakan kawasan ini terdapat pusat pemerintahan, pusat ekonomi, hingga pusat pariwisata di Bali. Dalam upaya menyelesaikan masalah kemacetan, pemerintah pun sudah banyak membangun jalan-jalan baru di wilayah ini. Sebut saja jalan tol Bali Mandara yang diresmikan pada tahun 2013. Jalan tol sepanjang 12,7 km ini merupakan jalan tol di atas air terpanjang di Indonesia yang menghubungkan segi tiga emas, yakni Nusa Dua, Ngurah Rai, dan Benoa—daerah pariwisata yang sudah mendunia.
Tidak hanya jalan tol, pemerintah pun membangun dua under pass, yakni di Simpang Dewa Ruci dan Simpang Ngurah Rai. Baru-baru ini, pemerintah kabupaten Badung telah meresmikan shortcut Canggu – Tibubeneng, jalan dengan panjang 335 meter dan lebar 8 meter dengan harapan dapat mengurai kemacetan di daerah pariwisata. Alih-alih mampu mengurai kemacetan, nyatanya penambahan ruas jalan saja tidak mampu menyelesaikan masalah klasik ini—bahkan cenderung makin parah saja.
Meski realitas berkata demikian, pemerintah tampak yakin dan percaya diri bahwa membangun jalan. Terkini, pemerintah akan membangun jalan tol kedua di Bali, sekaligus akan menjadi yang terpanjang. Jalan tersebut akan menghubungkan Jembrana dan Badung—konon akan mempersingkat waktu tempuh hingga 1,5 jam. Namun dalam konteks pengambilan kebijakan, pemerintah sebagai policy maker tidak hanya memikiran entry strategy—pihak-pihak yang mendapatkan keuntungan dari sebuah kebijakan. Pemerintah juga wajib memikirkan exit strategy—pihak-pihak yang akan kehilangan sesuatu akibat kebijakan. Termasuk di dalamnya adalah kebijakan membangun jalan tol.
Beberapa waktu lalu saya mendapat sebuah cerita dari seorang tokoh yang berasal dari Jembrana. Tokoh tersebut menceritakan kalau pembangunan jalan tol sepanjang 96,84 km ini harus mengorbankan banyak hal, seperti Sanggah Gede, Merajan, hingga pura. Hal ini tentu sangat memprihatinkan sekaligus menggambarkan bahwa keputusan ini tidak didasari dengan pertimbangan-pertimbangan yang bijak.
Mengubah Paradigma
Membangun jalan tentu satu hal penting yang mesti dilakukan, tetapi di sisi lain, ada hal penting yang mestinya dipikirkan dan dilakukan oleh pemerintah—yakni membangun ekosistem transportasi umum. Sayangnya, membangun transportasi umum tidak bisa dilakukan secara parsial. Setidaknya, pemerintah daerah yang berada di wilayah Sarbagita harus dilibatkan—ini dilakukan guna mewujudkan transportasi umum yang terkoneksi antar daerah.
Selanjutnya, memastikan ketersediaan anggaran, termasuk di dalamnya skema pembiayaan seluruh sumber daya yang terlibat di dalamnya. Ketersediaan halte yang representatif, rute yang mampu meng-cover seluruh wilayah, adanya jalur khusus untuk transportasi umum, hingga jumlah armada yang selalu tersedia tanpa harus memaksa konsumen menunggu lama juga benar-benar harus dipikirkan.
Jadi PR berikutnya adalah “political will”. Saya pikir, Bali tidak pernah kekurangan sumber daya intelektual yang dapat dilibatkan untuk merealisasikan ekosistem transportasi umum. Jika benar konektivitas dan integrasi mobilisasi warga berada di bawah manajemen yang baik, maka dapat dipastikan terjadi migrasi besar-besaran pengguna kendaraan pribadi ke kendaraan umum.
Melihat pernyataan pemimpin-pemimpin yang baru saja dilantik, tampaknya warga Bali harus rajin-rajin mengingatkan para pemimpinnya bahwa selain membangun jalan, penting juga untuk membangun fasilitas transportasi umum dalam rangka mewujudkan Bali yang nyaman ditinggali oleh warga dunia. [T]
Penulis: Teddy Chrisprimanata Putra
Editor: Adnyana Ole
- Baca esai-esai politikTEDDY CHRISPRIMANATA PUTRAlainnyaDI SINI