“Sederhanalah kamu dalam berjalan dan turunkan nada suaramu” (Luqman: 19). Maksudnya, janganlah berlebihan dalam berbicara dan janganlah meninggikan suara tanpa kebutuhan. Oleh karena itu, setelahnya Allah berfirman (yang artinya): “Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.”
Jagat langit semesta dunia maya kita sedang riuh membincangkan “suara” alias ”bunyi”. Apa yang salah dengan suara atau bunyi-bunyian? Suara dan bunyi menandakan adanya kehidupan, dinamika sosial, dan tentunya sebuah harapan. Bukankah bunyi-bunyian ketika menjadi suara yang berirama dan harmoni akan menjadi indah didengarnya.
Kalau suara, bunyi-bunyian yang kita dengar adalah suara kicau burung kenari, kutilang, perkutut, atau jalak Bali, meskipun agak melengking suaranya masih tetap enak di dengar dan kita nikmati sambil menyeruput kopi pagi hari. Tetapi beda kalau lenguhan, ringkikan keledai yang menjerit-jerit dengan nada yang tinggi selalu meringkik setiap lapar dengan ringkikaan yang sama: ”Bajingan Tolol”, ”Dungu”. Suara ini membuat polusi udara Republik yang cinta damai, dan penuh sopan santun warganya, menjunjung tinggi nilai toleransi antar kelompok budaya, meskipun beragam kita tetap satu bangsa yang cinta kedamaian dan ketenangan.
Beberapa orang mungkin hanya ingin merasakan keriuhan tanpa ingin berdekatan dengan keheningan. Dikhotomi yang tampak jelas. Bahwa keriuhan adalah baik, bahwa keheningan adalah sebaliknya. Kelompok yang senang riuh dengan ”suara keledainya”silahkan saja meringkik sesukanya, tetapi hargai juga ratusan juta masyarakat yang tidak suka dengan ”suara keledaimu”.
Mereka juga butuh menikmati suara kicauan kenari atau burung gelatik. Masyarakat butuh juga suara yang manis untuk menapaki hari, mengais rezeki, dan membangun Nusantara raya ini, dengan penuh damai.
Saya sebut suara keledai, karena ada pepatah ”hanya keledai, yang jatuh pada lubang yang sama”. Mohon maaf kalau salah pepatah ini untuk menganalogikannya, karena yang saya dengar bunyi-bunyian itu hanya itu saja, seputaran itu saja yang dibahas, dan kemudian meringkik seperti ”keledai dungu”, dan ”bajingan tolol”. Kurangilah polusi, tidak terus mengotori jagat ini dengan ringkikan keledai yang provokatif.
Kehidupan tidak lepas dari dua hal. Adanya manis karena kita mengenal pahit. Adanya terang karena kita paham bagaimana rupa gelap. Begitu pula keriuhan, hanya akan hadir ketika senyap ikut berkuasa, ketika keheningan benar-benar terjadi.
Untuk saudara kita umat Hindu, keheningan adalah cara ibadahnya merayakan Nyepi, tanpa melakukan aktivitas apa pun. Merenung untuk melangkah ke hari berikutnya agar lebih baik. Riuh, hening, sepi sangat tergantung persepsi kita. Pasar yang riuh misalnya, tentu lebih baik ketimbang pasar yang hening. Riuh berarti ada perputaran uang. Riuh berarti roda kehidupan berjalan.
***
Keriuhan juga melanda jagat maya kita, dengan beragam “konten kreatif” bermunculan di jagat internet baik audio, visual maupun dalam bentuk audio visual, yang diperbincangkan dengan rasa marah, geram, dan juga dengan cara jenaka sekitar “suara keledai meringkik dengan ringkikan yang sama”, temanya ya yang punya suara meringkik tadi, dalam berbagai bentuk format dan gayanya masing-masing para kreator.
Kamus memaknai riuh sebagai sangat ramai (tentang suara); hiruk-pikuk; gaduh. Maka, sebagai lawan kata, hening diartikan sebagai diam, sunyi, sepi, lengang. Padahal, masih ada makna lain, yaitu jernih, bening, bersih (https://www.klikanggaran.com/opini/pr-1152314395/melepas-keriuhan-menyambut-keheningan).
Lalu apa sih suara itu? Dalam fisika, bunyi atau suara adalah getaran yang merambat sebagai gelombang akustik, melalui media transmisi seperti gas, cairan atau padat. Suara juga dapat dilihat sebagai eksitasi dari mekanisme pendengaran yang menghasilkan persepsi suara. Dalam hal ini, suara adalah perabaan ( https://id.wikipedia.org/wiki/Bunyi). Bunyi termasuk salah satu jenis gelombang yang dapat dirasakan oleh indera pendengaran (telinga). Benda yang menghasilkan bunyi disebut sumber bunyi.
Saya pribadi penikmat suara, terutama suara-suara yang indah seperti musik, alunan gitar, dentingan piano, kicauan burung, deburan ombak di laut, gemercik air di sela bebatuan sungai, hembusan angin yang menerpa pepohonan, suara-suara serangga di perkebunan atau di hutan; dan tentunya suara orang mengaji, atau orang-orang yang sedang memohon berdoa kepada Tuhan yang Maha Esa.
Keriuhan hari ini sebenarnya tidak perlu terjadi, jika “sang keledai” tidak sembarang membuat ringkikan yang sama kepada setiap tokoh yang dipilih oleh ratusan juta masyarakat. Pilihlah diksi yang penuh adab dan santun.
Dari berbagai sudut logika bahasa sangat sulit masyarakat menerima ”ringkikan keladai” seperti itu. Jadi tidak salah juga kalau terjadi keriuhan dan kejengkelan, sumpah serapah khalayak pada “suara keledai”.
“Sederhanalah kamu dalam berjalan dan turunkan nada suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.”(QS. Luqman: 19). Di bagian awal Allah perintahkan kita untuk merendahkan suara, sementara di bagian akhir Allah mencela suara keledai. Suara keledai ketika meringkik seperti suara teriakan yang melengking. Ayo kita sudahi keriuhan ini. [T]
Penulis: Ahmad Sihabudin
Editor: Adnyana Ole
BACA artikel lain dari penulisAHMAD SIHABUDIN