![](https://tatkala.co/wp-content/uploads/2025/02/gunayasa.-bahasa1.png)
Pesan di atas merupakan salah satu kenyataan penggunaan bahasa Bali mutakhir yang menarik diperhatikan. Konteksnya, seseorang yang menjadi narasumber dalam satu acara pembinaan terlambat datang. Oleh sebab itu, dia menginformasikan keterlambatannya kepada panitia. Pada bagian akhir percakapan, panitia yang mengharapkan kehadirannya menjawab dengan ungkapan: ditunggu kerauhannya ‘ditunggu kedatangannya’.
Berdasarakan kutipan chat di atas, kita tidak hanya melihat gejala campur kode antara bahasa Indonesia dalam kata ditunggu yang menyisip di antara percakapan bahasa Bali, tetapi juga kata yang diproduksi dengan cara berpikir bahasa Indonesia. Kata itu adalah kerauhannya. Kata ini diduga merupakan terjemahan langsung dari kata datang dalam bahasa Indonesiayang diterjemahkan menjadi rauh dalam bahasa Bali Alus. Lalu, untuk menyampakaian kedatangan, penutur menambahkan imbuhan ke- -an dalam bahasa Indonesia. Dari proses itu, terciptalah kata kerauhan yang ditambah lagi dengan enklitik –nya dengan harapan makna yang sejajar dengan kedatangannya.
Seorang penutur bahasa Bali aktif tentu bisa tersenyum membaca pesan itu. Sebab, kata kerauhan sendiri sesungguhnya memiliki makna khusus dalam budaya Bali, yaitu telah masuknya entitas makhluk halus (niskala) ke dalam tubuh seseorang sehingga menyebabkan dirinya kehilangan kesadaran. Dalam satu acara pembinaan, seorang pembina pasti diharapkan dapat mengontrol diri sehingga tidak disusupi makhluk halus sehingga kehilangan kesadaran. Dalam kondisi nirkesadaran, pembinaan tidak akan mungkin dilakukan.
Sebelum sampai pada kalimat yang disarankan, kita melihat fenomena di atas sebagai gejala yang jamak dalam penggunaan bahasa Bali Alus saat ini. Mari kita perhatikan bagian penutup surat di bawah ini.
![](https://tatkala.co/wp-content/uploads/2025/02/gunayasa.-bahasa2-1-1024x194.png)
Tentu sejak awal deretan penggunaan bentuk hormat itu harus dihargai karena sikap positif penuturnya, termasuk rasa hormat yang ia ingin tunjukkan kepada mitra wicaranya. Akan tetapi, penggunaan bentuk ini menjadi kurang sesuai karena kata kedatangan dalam bahasa Indonesia bermakna n 1 hal datang; datangnya. Misalnya, kedatangan delegasi kita disambut dengan meriah; 2 cak telah didatangi (diserang, ditimpa, dan sebagainya): rumahnya kedatangan penjahat. Dalam bahasa Bali, kata yang bermakna perihal datang atau datangnya cukup diekspresikan dengan pangrauh ‘kedatangan, datangnya’. Awalan pa(N)- dalam bahasa Bali memang salah satu maknanya adalah berhubungan dengan perihal tertentu. Oleh sebab itu, ungkapan ditunggu kerauhannya salah satu alternatifnya dapat diganti dengan jantos tiang pangrauh druéné (bisa juga menyebut nama mitra wicara)‘saya tunggu kedatangan saudara’.
Fenomena serupa tidak hanya ditemukan dalam bentuk chat, tetapi juga dapat ditemukan dalam konten-konten media sosial. Salah satunya dapat dilihat pada postingan di bawah ini.
![](https://tatkala.co/wp-content/uploads/2025/02/gunayasa.-bahasa3.png)
Kata ngabinayang di atas, diduga diterjemahkan dari kata beda yang dalam bahasa Bali Alus adalah bina. Selanjutnya, untuk membuat kata membedakan, penutur menambahkan imbuhan Nga- dan -ang/yang. Bertitik tolak dari proses inilah muncul kata ngabinayang. Padahal, pembentukan kata membedakan dalam bahasa Bali cukup dengan kata minayang. Kenapa? Karena untuk mengubah bentuk dasar bina sesungguhnya hanya diproses dari imbuhan N- dan -ang/yang sehingga bentuknya menjadi minayang dengan makna ‘membedakan’. Kalimat itu bisa menjadi minayang kruna-kruna mabasa Bali ‘membedakan kosakata bahasa Bali’.
Satu tambahan contoh lagi barangkali menarik kira cermati pada penggunaan kata di bawah ini.
![](https://tatkala.co/wp-content/uploads/2025/02/gunayasa.-bahasa4-1024x364.png)
Konten yang menarik banyak warganet di atas juga menunjukkan gejala yang tidak berbeda. Kata manados diasumsikan diterjemahkan dari kata bahasa Indonesia jadi yang dalam bahasa Bali bentuknya adalah dados. Kata itu lalu ditambahkan awalan ma- sehingga menjadi manados dengan harapan makna‘menjadi’. Padahal, dengan menggunakan kata dados saja maknanya sudah ‘menjadi’. Dengan demikian kalimat itu cukup ri kala iraga dados MC utawi ugrawakia ‘ketika kita menjadi pembawa acara”. Dalam konteks yang lain, khususnya karya sastra seperti geguritan penggunaan bentuk manados barangkali juga ditemukan. Hal ini semata-mata digunakan oleh pengarang untuk mematuhi aturan kepuitikan (padalingsa). Dengan demikian, berlaku lisensia puitika. Akan tetapi, dalam konteks penggunanaan tuturan biasa, sesungguhnya penggunaan kata dados sudah bermakna ‘menjadi’. Adakah fakta yang lainnya lagi? Kita bisa lihat di bawah ini.
![](https://tatkala.co/wp-content/uploads/2025/02/gunayasa.-bahasa5-1024x262.png)
Postingan di salah satu akun instagram di atas juga menarik, terutama penggunaan kata ngajaga. Kata ini diduga diterjemahkan dari kata jaga dalam bahasa Indonesia yang bentuknya sama dengan jaga dalam bahasa Bali. Pembuat konten barangkali menduga bahwa untuk menyusun kata menjaga dalam bahasa Bali, awalan yang digunakan adalah Nga- sehingga menjadi ngajaga dengan makna yang dimaksud adalah menjaga. Padahal, dengan pembubuhan awalan N- dalam bahasa Bali, kata jaga sudah menjadi nyaga dengan makna ‘menjaga’. Dengan demikian, salah satu alternatif bahasa Bali untuk kalimat akhir postingan tersebut adalah tur prasida nyaga (ngraksa) budaya ring jagat Bali ‘dan dapat menjaga budaya di Pulau Bali’.
![](https://tatkala.co/wp-content/uploads/2025/02/gunayasa.-bahasa6.png)
Satu contoh lagi dari gambar di atas tampaknya cukup untuk membuktikan bahwa fenomena berbahasa Bali dengan cara berpikir bahasa Indonesia tidak hanya kasus yang jumlahnya terbatas. Akan tetapi, cukup luas dalam berbagai postingan di media sosial. Penjelasan menarik tentang alat penebang pohon dalam gambar tersebut diduga juga hasil penerjemahan dari bahasa Indonesia. Kalimat Kapak silih tunggilnyane mawiguna antuk ngebah punyan kayu memuat kejanggalan dalam penggunaan kata antuk.
Dalam kalimat tersebut, kata antuk yang bermakna ‘oleh, karena, tentang, dengan’ sehingga dalam kalimat ini tampak kurang sesuai. Asumsi kata antuk yang bermakna untuk barangkali disebabkan oleh dua faktor. Pertama, bentuk kata antuk yang sangat dekat dengan untuk dalam bahasa Indonesia. Kedua, bentuk turunan dari kata antuk yaitu mantuka (ring) yang salah satu maknanya memang ‘untuk, kepada’ misalnya mantuka ring Ratu Padanda sane wangiang titiang ‘kepada Ratu Padanda yang saya hormati’. Alternatif kalimat dalam konten Kapak silih tunggilnyane mawiguna antuk ngebah punyan kayu di atas adalah Kapak silih tunggilnyané mawiguna anggén ngebah punyan kayu ‘kapan salah satunya berguna untuk memotong pohon’.
Refleksi
Berdasarkan sejumlah fakta kebahasaan di atas, kita melihat bahwa pengaruh bahasa Indonesia tidak hanya terjadi pada tataran kosakata, tetapi sudah masuk ke lapisan tata bahasa Bali. Perubahan dalam tataran kosakata terutama peminjaman kosakata tentu hal yang biasa dalam perjalanan hidup suatu bahasa. Bahkan, prosesnya bisa sangat cepat seiring kebutuhan komunikasi penuturnya. Dilihat dari sisi positif, pengaruh kosakata bahasa Indonesia juga bernilai dalam proses pengayaan bahasa Bali yang menyerapnya. Bahasa Bali pun melakukan hal yang sama dalam proses sejarahnya. Bahasa Bali bukan bahasa yang isolatif, tetapi aktif menyerap bahasa lain seperti Sankserta, Jawa Kuno, dan Melayu sepanjang sejarahnya.
Akan tetapi, perubahan di tataran tata bahasa (gramatikal) sesungguhnya hal yang relatif tidak biasa karena memerlukan proses yang panjang. Sebab, tata bahasa yang digunakan seseorang secara tidak langsung juga merefleksikan tata berpikir penuturnya. Setidaknya, apabila pengaruh suatu bahasa lain sudah sampai di lapisan tata bahasa, kita dapat mengetahui indikasi pilihan bahasa yang dominan digunakan penuturnya dalam keseharian.
Jika hal ini banyak terjadi dalam bahasa Bali, terutama ragam bahasa Bali Alus, artinya variasi bahasa ini di kalangan masyarakat tertentu tidak lagi menjadi kebiasaan keseharian yang digunakan secara alamiah. Oleh sebab itu, untuk mengekspresikan bahasa Bali Alus, penutur menggunakan cara berpikir bahasa Indonesia terlebih dahulu lalu berusaha menerjemahkannya ke dalam bahasa Bali.
Kita tidak perlu sungkan mengakui bahwa dalam penulisan teks-teks pidato, sambutan, pembawa acara, bahkan awig-awig, dan yang lainnya memang kerap dimulai dari bahasa Indonesia. Jika ini benar, penggunaan bahasa Bali Alus bagi sebagian penutur bahasa Bali saat ini mirip dengan mempelajari bahasa kedua, bahkan mungkin ketiga. Oleh sebab itu, kerancuan dan kekacuaan akan potensial terjadi. Dalam istilah ilmu Sosiolinguistik fenomena kedwibahasaan ini disebut interferensi.
Apabila dugaan bahwa penggunaan bahasa Bali (terutama halus) kerap diawali dari proses terjemahan dari bahasa Indonesia, pemecahan yang ditawarkan untuk menghindari melekatnya pengaruh bahasa Indonesia dalam bahasa Bali (Alus), yaitu dengan mempelajari tata bahasa Bali dilengkapi dengan kamusnya. Sebab, tidak semua pembentukan kata dalam bahasa Indonesia sejajar hasilnya dengan bentuk bahasa Bali.
Contohnya, kata pembukaan dalam bahasa Indonesia hanya berbentuk pamungkah dalam bahasa Bali (bukan pamungkahan), kedatangan seperti yang dijelaskan di atas hanya berbentuk pangrauh ‘kedatangan’, ‘datangnya’ (bukan karauhan) dan yang lainnya. Dengan mempelajari tata bahasa Bali dibekali kamus, hasil terjemahan kita dari bahasa Indoensia ke dalam bahasa Bali juga menjadi lebih maksimal dan natural. Bukankah salah satu kritera terjemahan yang baik justru tidak diketahui sebagai hasil terjemahan?
Di samping itu, cara yang bisa dilakukan untuk menghindari melekatnya pengaruh bahasa lain khususnya bahasa Indonesia dalam bahasa Bali adalah mendekatkan penggunaan bahasa tersebut dalam konteks keseharian. Pengalaman menggunakan bahasa Bali Alus dalam keseharian sesuai dengan konteksnya seperti guru dengan murid, interaksi antarwangsa, rapat pemuda dan adat, upacara agama, dan seterusnya bisa membuat penutur menggunakan bahasa itu secara lebih alami.
Demikian pula dalam konteks pembelajaran, membaca teks-teks atau wacana bahasa Bali akan menginstal struktur bahasa Bali itu secara organik dalam ceruk-ceruk batin pelajar bahasa Bali. Sejak dulu tokoh-tokoh pendidik mumpuni kita seperti Bapak Wayan Simpen AB, I Gusti Bagus Sugriwa, dan lainnya telah melakukan pembinaan bahasa Bali dengan teks-teks Bali. Bagi penulis, buku Purwa Aksara karya I Wayan Simpen AB yang salah satu teksnya berjudul Pura Sakenan bahkan melekat hingga saat ini. Demikian pula generasi yang lebih tua, buku Rama Dewa berbahasa Bali karya I Gusti Bagus Sugriwa pasti selalu dikenang di dalam hati.
Apresiasi dan Revitalisasi
Sampai di sini, apakah fenomena bahasa Bali yang diuraikan sekilas di atas menunjukkan arah perubahan atau kepunahan? Jawabannya sejauh ini tentu masih ke arah perubahan, khususnya menguatnya pengaruh fitur bahasa Indonesia ke dalam struktur gramatikal bahasa Bali dalam ranah bahasa ragam tinggi (istilah dalam situasi diglosia). Penggelembungan isu kepunahan dalam catatan ini tak berbeda dari hulu semangat para pendahulu yang memiliki elan untuk eling ‘waspada’ bahwa usaha revitalisasi tak boleh berhenti.
Demikian pula sejumlah tawaran yang diulas di atas tentu bukan perspektif dan jalan yang tunggal. Banyak cara yang dapat dilakukan seseorang untuk mencapai ragam berbahasa Bali yang patut ‘benar’ dan lenggut ‘indah’. Termasuk pula kemaksimalan rasa dalam pengekspresian bahasa Bali. Catatan ini hanya bertujuan untuk memancing diskusi bahwa barangkali ada hal yang luput dari pengamatan kita sebagai pencinta bahasa Bali dalam tataran mikro bahasa Bali.
Di sisi lain, dalam situasi kering dan kurangnya penggunaan bahasa Bali di media sosial, usaha sejumlah konten kreator yang mendedikasikan diri dan hatinya untuk membuat serta ikut mendidik masyarakat juga sangat perlu diapresiasi. Terlebih, dibanding hal yang kurang dan tanpa kesengajaan, tentu lebih banyak hal yang benar yang disampaikan mereka kepada masyarakat yang berselancar di jagat media sosial. Tetes keringat karya mereka senantiasa kita butuhkan untuk membanjiri kanal-kanal media sosial dengan bahasa Bali dalam sehari-hari.
Dengan demikian, satu hal yang juga perlu dicatat, apabila kita ingin mempertahankan dan mengembangkan eksistensi bahasa Bali dengan berbagai kekayaan ragam dan rasanya, kita masih sangat memerlukan keterlibatan multipihak. Dalam hal ini, kreativitas konten kreator, kecanggihan dengan ahli IT, regulasi pemerintah, pelaksanaan Bulan Bahasa Bali, Festival Tunas Bahasa Ibu, guru Bahasa Bali, peneliti, dan salah ujung tombaknya tentu ada di tangan Sang Pembawa Lentera Bahasa: Penyuluh Bahasa Bali. Kepada mereka yang di bulan ini tengah disibukkan dengan berbagai jadwal menjadi pembina, juri, dan panitia Bulan Bahasa Bali, penulis membungkukkan badan dan mencakupkan tangan hanya dengan ungkapan: terima kasih. [T]
Penulis: Putu Eka Guna Yasa
Editor: Adnyana Ole
- BACA artikel lain dari penulisPUTU EKA GUNA YASA