— Catatan Harian Sugi Lanus, 15 Pebruari 2025
Pulau Serangan menurut “usana” (sejarah tradisional) adalah titik suci yang dipilih Mpu Kuturan (sekitar tahun 1001 Masehi) untuk membangun tempat memuliakan Mahasuci Buddha Sakhya, sekarang bernama Pura Sakenan — terhubung dengan nama klan Śākhya garis keluarga Siddhārtha Gotama, juga merupakan nama garis silsilah perguruan Buddha Suci kuno.
Sakenan juga terkait dengan tradisi memuliakan Hyang Tunggal sebagai “mitra-sahabat batin” manusia. Memuliakan Tuhan dalam hati dengan perasaan bahwa Hyang Tunggal adalah sahabat dalam diri manusia dikenal dengan istilah “Sakhyam” atau “Sakyanam”. Di lidah orang awam menjadi “Sakenam” dan “Sakenan”.
Dalam tradisi Waisnawa “Sakhya” merujuk rasa terpikat sebagai sahabat para pemuja pada Śrī Kṛṣṇa. Memuja Śrī Kṛṣṇa sebagai sahabat hati disebut “sakhya”; salah satu dari lima hubungan utama umat dengan Bhatara Kṛṣṇa.
Nama pulau Serangan dari “sira” dan “(h)angen”. Sira-hangen menjadi Serangan. Mengandung makna “Beliau Hyang Suci yang dalam angan”. Tradisi meditasi tradisional dengan mengangankan Kesucian Ilahi atau Sang Hyang Suci, Sangkan Paraning Dumadi, muasal alam raya disebut sebagai “maangen-angen”, berkontemplasi memasuki hakikat diri dan ketuhanan. Dalam nama Pulau Serangan diwariskan ajaran memuliakan Hyang Tunggal sebagai Roh Suci yang hanya bisa diangankan. Bahkan angan tentangNya bukanlah Hyang Tunggal itu sendiri. Tapi dari sini kita bisa merenungi hakikat diri di depan-Nya.
Pulau Sira-angen (Serangan) menjadi tempat Dang Hyang Nirartha merampungkan karya besar sastra Kawi “Hanyang Nirartha” (sekitar tahun 1546-1550 M). Serangan dipilih karena kesucian dan keindahan yang membuat Sang Kawi terpana dalam keindahan — beliau mengalami “kalangwan/kalangen/mangen-angen lango”.
Sekitar tahun 1001 pulau Serangan diberkahi ajaran Buddha Suci Mpu Kuturan. Sekitar tahun 1550 Serangan disucikan dalam samadhi-sastra Kawi Dang Hyang Nirartha. Tahun 1995-1998 dijarah, diporak-poranda penguasa, diambil paksa, direklamasi. Tahun 2024-2025 diobok rebranding ahistoris Kura-Kura, “Pranda baka” yang selalu berdharmawacana Tri Hita Karana berstempel sakti KEK. [T]
Penulis: Sugi Lanus
Editor: Adnyana Ole