ARTIKEL yang saya tulis ini coba mengungkapkan pengalaman membaca novel atau karya sastra yang ditulis oleh orang-orang hebat dan sangat bersahaja dalam kehidupannya, seperti Ahmad Tohari (Lintang Kemukus Dini Hari, Ronggeng Dukuh Paruk), Romo Mangun (Trilogi Roro Mendut, Genduk Dukuh, dan, Lusi Lindri), Pandir Kelana (Suro Buldog, Rintihan Burung Kedasih), Pramoedya Ananta Toer (Gadis Pantai) dan beberapa Novel yang pernah saya baca antara lain Iwan Simatupang (Merahnya Merah), Buya Hamka (Tenggelamnya Kapal Vander Wikjc) cuma saya lupa, dan yang pasti “Cintaku Di Kampus Biru” karya Ashadi Siregar.
Dalam setiap kesempatan waktu senggang saya belajar membaca karya-karya sastra. Kebiasaan ini menurut orang-orang bijak baik “katanya”, untuk menyeimbangkan otak kanan dan otak kiri kita supaya kita juga selalu belajar menjadi bijak. Saya juga tidak pernah menakar-nakar apakah saya ini bijak, baik atau malah “pembajak”, “manusia kardus”, terserah sajalah orang yang menilai. Kalau kata Benyamin Suaib almarhum aktor idola saya: “emang gue pikirin”.
Tulisan ini tidak bermaksud membahas bijaksana atau bijaksini, atau pengaruh membaca novel dengan perilaku manusia, karena itu perlu dilakukan riset. Sudah lama saya tidak membaca karya-karya sastra lagi, tapi masih teringat sedikit-sedikit kisah dalam novel-novel hebat yang pernah saya baca itu, saat kuliah di kampus tercinta tahun 1985-1990, 35 tahun yang lalu. Saya juga tidak tahu persis membedakan mana novel, mana roman, pokoknya tulisan fiksi yang baik dan indah dituangkan dalam sebuah kisah saya sebut saja semuanya karya sastra.
Dari sekian karya sastra orang-orang hebat tersebut, selalu ada kisah hubungan antara perempuan dan laki-laki; apakah dalam konteks hubungan suami-isteri, masa berpacaran, masa kecil, masa remaja, dewasa, hingga tua dan wafat. Pada kesempatan ini saya ingin bercerita tentang kisah- kisah perempuan diposisikan di dalam novel atau sastra yang saya baca tersebut.
Dalam artikel ini saya coba menggambarkan sosok perempuan dari sudut pandang karya sastra. Sekali lagi saya katakan dan tegaskan ini bukanlah hasil riset, yang saya tuliskan hanya pengalaman dan persepsi saya tentang perempuan dalam karya sastra yang digambarkan oleh para penulisnya. Dengan mengacu pada pendapat ahlinya, dalam memberikan interpretasi pada posisi perempuan dalam keseharain pada masanya.
Rumah yang Damai
Perjuangan perempuan secara ideologis maupun simbolis sebagaimana tampak dalam kesusastraan kita, sifatnya cuma sederhana. Penilaian dapat dilihat dalam tulisan Jakob Sumardjo, “Rumah yang Damai: Wanita dalam Sastra Indonesia” (Prisma, no. 7, Juli 1981). Jakob mengatakan, sastrawan perempuan kita terutama dalam dekade 1970-an menggambarkan aspirasi kaumnya sendiri secara terbatas, bahwa perempuan “cuma” mendambakan kehidupan rumah tangga yang mesra. Itu pun cuma berarti kemesraan suami-istri, atau ibu-bapak dan anak-anak mereka.
Menurut Sobary (1999), interpretasi Jakob dapat diberi tambahan bahwa ruang gerak kehidupan manusia, di mata satrawaan perempuan kita, terbatas di rumah tangga. Setidaknya rumah tangga merupakan pusat kehidupan manusia. Di luar itu, seolah tidak ada wilayah kehidupan lain. Maka, ketika harmoni hidup terguncang, misalnya oleh kehadiran pihak ketiga dalam keluarga, jagat sungguh-sungguh gonjang-ganjing. Kehidupan seolah otomatis sudah berhenti.
Saya melihat corak keterbatasan lain: cinta bagi sastrawan perempuan kita cuma berarti selingkuh atau saleh, rumah tangga berantakan atau bahagia. Padahal problem perempuan sangatlah besar dan kompleks, tidak sekedar yang paling utama perlunya keluarga sejahtera dan bahagia lahir batin.
Problem perempuan yang terbesar adalah masalah-masalah kebudayaan (tafsir laki-laki sentris atas`simbol-simbol dan ajaran serta aspirasi keagamaan, dan kemapanan tradisi yang memihak laki-laki), juga perkara mendasar bidang politik, yang juga tak memberi perspektif membebaskan kaum perempuan. Mungkin persoalan perempuan kini adalah persoalan struktural, yang menyangkut tata keadilan di bidang sosial, kebudayaan, dan politik.
Cinta digambarkan oleh satrawan laki-laki lebih luas menyangkut cinta tanah air, karena itu sosok perempuan digambarkan sebagai sosok yang aktif dalam kehidupan masyarakat. Wawasan mereka tentang perempuan lebih luas, dan anehnya di mata kaum lelaki, perempuan digambarkan tangkas, aktif, berani, cerdas, dan mandiri. Ini dapat dilihat dari gambaran watak Nyai Ontosoroh dalam novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. Juga dalam novel-novel Romo Mangun, terutama dalam Trilogi Roro Mendut, Genduk Dukuh, dan Lusi Lindri. Lusi Lindri digambarkan sebagai mata-mata yang gagah berani, cerdas dan teguh pendirian.
Mungkin sedikit mengejek sebagaimana dikemukan Sobary (1999), Jakob Sumarjo mengakhiri tulisannya, “idaman hidup wanita dalam novel-novel Indonesia adalah berilah kami rumah yang damai, penuh kasih sayang, dan pengertian.” Sebuah permintaan yang sederhana dan sangat mendasar.
Wanita Nrimo Sabar Tabah
Linus Suryadi dalam karyanya “Pengakuan Pariyem”, menggambarkan secara jelas posisi perempuan, khususnya perempuan Jawa, yang serba nrimo, sabar, tabah menderita dan luluh ke dalam hukum-hukum sosial dalam masyarakat yang pada dasarnya tidak adil terhadap perempuan.
Srintil dalam trilogy Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, perempuan digambarkan harus memenuhi tuntutan masyarakatnya: sebuah tuntutan yang kurang lebih mengangkat muatan kepentingan kaum lelaki. Bukankah menjadi ronggeng, menari dan bersedia melayani “kepentingan“ lelaki, lebih memberikan pemenuhan bagi kebutuhan kaum lelaki?
Tuntutan itu kejam, Srintil yang sudah bosan dan muak meronggeng pun tetap dituntut meronggeng. Dia pun dibunuh kebebasannya, karena tidak berhak kawin dengan Rasus, laki-laki pilihannya. Atas nama tradisi bahwa ronggeng dilarang menikah. Seorang ronggeng tak boleh berumah tangga. Tidak juga Srintil. Demikian salah satu karya monumental Ahmad Tohari, yang mencoba menggabarkan bagaimana sebuah tradisi, norma yang hidup begitu tega mematikan kebebasan perempuan.
Pramoedya Ananta Toer menggambarkan sosok wanita dalam “Gadis Pantai” bertolak belakang dengan tokoh Nyai Ontosoroh dalam Bumi Manusia. Dalam Gadis Pantai perempuan tampak sekedar budak kaum laki-laki, suaminya yang priyayi dan sekaligus santri. Si istri hanya diminta melahirkan anak buat kepentingan si laki-laki. Ketika istrinya dicerai, perempuan itu pun diusir secara kejam. Menyentuh anak yang dikandung dan dilahirkannya saja tak boleh; dan ini merupakan penderitaan berat baginya.
Meskipun tokoh wanita digambarkan sebagai bidadari, dewi, kekasih yang penurut, istri yang patuh, figur ibu dalam karya sastra yang ditulis oleh penulis pria, wanita tidak dianggap sebagai manusia seutuhnya, dan tidak hanya kehilangan haknya untuk mengenyam pendidikan dan kemandirian finansial, tetapi juga harus berjuang melawan ideologi pria.
Perempuan, dalam perspektif ini, pendeknya harus patuh dan taat pada laki-laki. Mereka dianggap cuma menumpang dalam sebuah dunia yang seutuhnya didominasi kaum lelaki. Gambaran perempuan dalam kisah novel tersebut, bukannya tanpa alasan dituliskan demikian menderita, pasrah, dan tidak berdaya. Penulis karya sastra pastinya tahu persis kondisi nilai, norma, budaya dan tradisi di mana tokoh-tokoh itu digambarkan yang merupakan potret realitas sosial perempuan kala itu.
Counter Hegemony
Pertanyaan besarnya, lalu bagaimana kondisi perempuan kekinian, Perjuangan kaum feminis untuk memberdayakan kaum perempuan di dalam masyarakat berhadapan dengan jalan berliku, dan di sana-sini tiba-tiba bisa jadi jalan buntu. Orang yang percaya hukum, mereka memperjuangkan lewat jalan hukum. Itu perjuangan mereka menemukan jalan lapang dan terbuka lebar.
Kehidupan mungkin bisa dianggap adil dan manusiawi bila, antara lain, perempuan tak ditempatkan dalam posisi marginal, dalam hampir semua segi kehidupan sebagaimana terjadi dalam kehidupan masyarakat kita dewasa ini. Artinya masih tetap perlu ada perlawanan pada kemapanan dunia laki-laki. Harus ada counter hegemony. Yang saya maksud disini adalah kita perlu melawan tradisi sosial budaya yang berkembang di masyarakat dalam menampilkan sosok perempuan. Kita harus menggambarkan realitas tidak cuma sebagaimana adanya, sesuai tradisi ini dan itu yang berlaku dalam suatu masyarakat. Karena dalam dongeng, novel, film dan karya seni lainnya adalah dunia simbolis, mungkin kita harus melawan arus dalam menghadirkan sosok perempuan yang lain dari yang lain.
Memang sulit menghadirkan sosok wanita super seperti Dewa atau Dewi. Kita bisa melihat hal yang terjadi pada R.A. Kartini, yang dalam perjuangannya akhirnya menemui kematian. Jadi kita ini sedang berhadapan dengan hantu yang ada di masyarakat sekaligus hantu yang ada dalam diri kita.
Menurtut Sobary (1999), memang benar bahwa novel sering berisi penggambaran atas`realitas yang ada, tetapi novel bukanlah laporan suatu peristiwa atau keadaan. Ia lebih dari itu, novel semestinya bisa melakukan counter ideology atau counter culture.
Memang ditingkat praksis social counter itu seakan no-sense karena banyak perempuan yang mempublik bukan karena kemampuannya sendiri, melainkan karena di dongkrak orang lain. Praksisnya seperti itu saya kira masih bisa berbuat sesuatu, dapat melawan di tingkat ideologi, di tingkat simbolis.
Kita bisa menampilkan gagasan yang ideologis bahwa perempuan itu punya harga diri. Kita yakinkan secara terus menerus bahwa mereka punya harga diri, punya kemampuan, penting dan sebagainya.
Menurut saya yang terpenting perempuan juga tidak ikut terlibat dalam diskriminasi mereka sendiri, yang biasanya dilakukan tanpa kesadaran karena mereka termakan ideologi yang berkembang dalam masyarakatnya. Dan ini yang membahayakan, iya kan!? Masa hidup tanpa kesadaran!? Kan bahaya. Perempuan harus lebih banyak dilibatkan dalam pengambilan kebijakan publik
Kasus Banten
Dalam obrolan singkat dengan seorang sahabat, Banten itu menurutnya paling tampil menerapkan Pasal 4 Konvensi Penghapusan Diskriminatif terhadap Perempuan. Hal itu merupakan kebijakan yang wajib diambil oleh Negara. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sendiri sekarang ini telah menetapkan bahwa pada akhir abad ini 30 persen perempuan harus terlibat dalam lembaga-lembaga pengambilan keputusan.
Menyambung obrolan tadi dalam konteks kepemimpinan kepala daerah, Banten 50 persen kepala daerahnya wanita. Sebut saja Walikota Tangerang Selatan, Bupati Serang, Bupati Lebak, Bupati Pandeglang, dan kita pernah di Pimpin Gubernur wanita satu-satu di Indonesia. Juga Pimpinan DPRD baik Tingkat I maupun DPRD Tingkat II dan kelengkapan Dewan, mencapai angka 20-30 persen. Demikian kawan saya berpendapat.
Hal ini menarik tentunya untuk sedikit bangga bila ukurannya jumlah kepala daaerah yang memimpin, dan pimpinan parlemen. Artinya kaum laki-laki dan perempuan Banten sangat maju cara berpikirnya dalam hal persamaan hak perempuan dan laki-laki, padahal Banten kita kenal sebagai daerah yang memiliki budaya religinya sangat kuat, yang cenderung mengutamakan laki-laki sebagai imam.
Saya tidak bermaksud melawan anggapan umum, jabatan-jabatan kepala daerah yang mereka peroleh atau pimpinan parlemen, kan itu diberikan oleh laki-laki juga. Ada karena hubungan anak dengan ayah, hubungan karena suami, atau menantu. Itu memang faktanya. Anggapan umum mereka menjabat bukan karena kemampuannya, memang sulit kita tepis. Seorang perempuan yang sangat maju, baik dalam karier politik maupun ekonomi, namun lagi-lagi semua itu karena faktor orang lain, yakni bapaknya.
Lepas dari anggapan-anggapan tadi Banten sudah mulai sejak awal provinsi ini berdiri, tentunya dengan segala kekuarangan dan kelebihannya. Seperti kita juga pernah dipimpin Kapolda seorang Perempuan, Brigadir Jenderal. Hj. Rumiah. Hasil Pilkada 2024, ini juga 3 Perempuan tampil memenangkan kontestasi Pilkada kemarin: Bupati Serang, Bupati Pandeglang, Wakil Bupati Tangerang.
Berkaitan dengan perjuangan kaum perempuan sendiri, saya cukup bangga karena sekarang ini banyak usaha yang telah dilakukan untuk memperjuangkan atau menyadarkan hak-hak kaum perempuan. Maju terus Perempuan Banten. Maju terus Perempuan Indonesia. [T]
Penulis: Ahmad Sihabudin
Editor: Adnyana Ole