SAAT itu, Sabtu, 11 Januari 2025, hujan terus menerus singgah hampir di seluruh wilayah Bali. Sedari pagi hingga petang hujan masih enggan untuk berhenti membasahi bumi. Kendati demikian, hiruk pikuk aktifitas masyarakat masih tetap terkendali bahkan tergolong ramai.
Kebetulan juga hari itu adalah hari ang bertepatan dengan hari baik atau duasa dalam melakukan upacara ngaben (upacara kematian). Sehingga di sepanjang perjalanan, selain jalanan yang dipadati kendaraan, juga terlihat aktivitas adat yang ikut merayakan hujan.
Telinga yang sebelumnya hanya mendengar riuh hujan dan gemuruh suara kendaraan sesekali teralihkan dengan adanya iringan gamelan baleganjur pada prosesi upacara ngaben.
Baleganjur memang menjadi salah satu alat musik prosesi dalam beberapa upacara di Bali salah satunya prosesi ngaben. Ngaben di Bali melibatkan gamelan baleganjur sebagai objek musikal yang difungsikan agar bisa membangun semangat masyarakart dalam menggotong sarana-sarana pengabenan.
Melihat iringan baleganjur seketika saya teringat bahwa hari itu juga diselenggarakan perhelatan Lomba Baleganjur oleh Komunitas Seni Taksu Agung yang bermarkas di Kapal, Badung.
Merawat Ekosistem Baleganjur
Taksu Agung merupakan salah satu komunitas yang saampai saat ini masih sangat aktif dalam membangun kesenian. Pada kususnya Taksu Agung sangat dikenal di lingkup masyarakat penggemar baleganjur. Banyak karya-karya inspiratif yang terpatri di komunitas ini.
Tentu saja bukan hanya Baleganjur, banyak karya-karya gamelan lainnya tercipta di komunitas Taksu Agung. Tidak bisa terelakkan dari hal tersebut Taksu Agung menjadi salah satu barometer perkembangan kesenian baleganjur di Bali.
Dengan berbagai karya yang telah dinikmati publik, tidak heran jika komunitas ini menyelenggarakan perhelatan yang sejalan dengan apa yang telah mereka tekuni, mereka lalui dan mereka cita-citakan.
Penabuh dan Penari Baleganjur “Sura Belawa” | Foto : Panitia Dokumentasi & Publikasi Komunitas Seni Taksu Agung
Lomba baleganjur ini bukanlah yang pertama kali diselenggarakan oleh Komunitas Seni Taksu Agung. Sebelumnya komunitas yang berdomisili di lingkungan Banjar Tambak Sari, Kapal, Badung, ini telah menyelenggarakan lomba baleganjur di tahun 2020 namun dengan format pertunjukan virtual. Mengingat virus corona atau Covid-19 saat itu masih membayangi pikiran masyarakat. Dan terbukti juga virus tersebut tidak menjadi halangan bagi mereka untuk tetap membangun dan menjaga keberlangsungan ekosistem kesenian.
Yang saya ingat pada waktu itu, Taksu Agung memberi tema Tawur Kesanga sebagai framing ruang kreativitas pada lomba baleganjur yang diselenggarakan.
Sebelum bicara tentang tema, acara-acara yang diselenggarakan merupakan serangkaian acara perayaan HUT Komunitas Seni Taksu Agung yang jatuh pada tanggal hari ke-7 bulan Februari. Dari hal tersebut saya berpandangan bahwa Tawur Kesanga dijadikan sebagai tema pada event tersebut mengingat HUT Komunitas Seni Taksu Agung dilaksanakan berdekatan dengan perayaan Tawur Kesanga.
Selain itu juga dilaksanakannya acara tersebut menurut saya pribadi Komunitas Seni Taksu Agung memikirkan dampak dari pelaksanaan acara tersebut sehingga ada upaya untuk memberi ruang semacam ini.
Melihat perayaan Tawur Kesanga yang akan datang, setelah perhelatan tersebut, mungkin saja dugaan saya Taksu Agung ingin memberi ruang segar bagi masyarakat penggiat dan penggemar seni baleganjur. Dengan terselanggaranya acara ini juga menjadi ruang tumbuh dan hadirnya ide-ide baru dalam khasanah seni per-baleganjuran.
Sama seperti halnya keberadaan Tawur Kesangan sebagai bentuk pertemuan pusat-pusat energi. Keadaan tersebut juga saling menguntungkan secara material maupun non material bagi penyelenggara, penampil, masyarakat pemerhati, bahkan pedagang yang ikut meramaikan acara lomba baleganjur yang diselenggarakan oleh Komunitas Seni Taksu Agung.
Di tahun 2025 ini Komunitas Seni Taksu Agung kembali membuka lembaran baru dengan mengadakan Lomba Baleganjur dan memilih Panggung Terbuka Balai Budaya Giri Nata Mandala Pupem Badung sebagai arena perhelatan tahunan dari komunitas ini.
Terselenggaranya acara ini merupakan bentuk konsistensi dari Komunitas Seni Taksu Agung untuk tetap menjaga citra serta eksistensi kesenian Baleganjur. Sama seperti lomba yang diselenggarakan sebelumnya, Taksu Agung tetap menawarkan Tawur Kesanga sebagai tema perlombaan tahun ini. Hanya saja perlombaan yang diselenggarakan kali ini dilaksanakan dalam format baleganjur bergerak (dengan koreografi).
Sangat menarik jika melihat proses perjalanan komunitas satu ini. Dari maya menuju nyata, dari sebelumnya hanya terbayang perspektif auditif sekarang diformat lengkap dengan melibatkan pengalaman audio visual sebagaimana mestinya pertunjukan baleganjur dipentaskan.
Bertemu Sesama Pecinta Baleganjur
Hingga pada akhirnya di sore hari hujan perlahan menepi. Saya pun segera mempersiapkan diri untuk menyaksikan karya-karya baru dari Lomba Baleganjur Komunitas Seni Taksu Agung tahun 2025. Selain juga menghindari hujan yang tidak menentu hadir dan hilangnya.
Penabuh dan Penari Baleganjur “Sura Belawa” | Foto : Panitia Dokumentasi & Publikasi Komunitas Seni Taksu Agung
Kurang lebih 30 menit perjalanan, setiba di gerbang Pusat Pemerintahan Kabupaten Badung kerumunan kendaraan yang sejalur menghantar saya ke lokasi pementasan. Sore itu tepat pukul 18.12 penonton mulai berdatangan disambut peserta yang melakukan persiapan di tepian gedung.
Terlihat juga raut serius para panitia yang bertugas mengawal jalannya acara hari itu. Sembari menunggu acara dimulai saya memesan segelas ice americano ditemani cengkrama pelepas rindu bersama teman seperjuangan semasa kuliah yang saya temui di lokasi.
Kira-kira 40 menit lamanya terdengan sambutan manis dari MC menyapa seluruh undangan dan hadirin yang menyaksikan acara tersebut. Seperti biasa acara diawali dengan sambutan dan pelaporan proses kegiatan oleh ketua panitia dan diakhiri dengan prosesi pembukaan Lomba Baleganjur oleh Komunitas Seni Taksu Agung.
Sura Belawa yang Monumental
Gelora suara gamelan baleganjur menghantar dan menandai prosesi membukaan sore hari itu. Di tengah menikmati matahari terbenam dengan segelas kopi pahit, terbitlah penampilan pembuka oleh Komunitas Seni Taksu Agung dengan membawakan karya monumentalnya. Terlihat dari kejauhan para penabuh yang sudah tidak terlihat muda lagi memasuki panggung.
Terdengar juga teriakan penonton yang kesal dengan penonton lain karena pandangannya dihalangi. Saya hanya tertawa mendengar banyak celotehan penonton yang kesal. Saya yang juga penonton lebih memilih mencari angel terbaik saya tanpa menggerutu. Anggaplah angin lalu. Kembali ke penampilan pembuka oleh para sepuh Komunitas Seni Taksu Agung, malam itu mereka membawakan kembali karya di tahun 2012 dengan judul “Sura Belawa”.
Terulang kembali memori di tahun 2012 silam dengan selogan baru mereka TENANG “tercipta untuk dikenang, kembali pulang tuk bersenang-senang”.
Kata-kata itu cukup jelas menggambarkan betapa merindunya mereka untuk berada dalam satu panggung lagi. Sura Belawa telah mencapai gelarnya pada awal kemunculan mereka dan kembali menjelaskan di tahun 2013 sebagai karya baleganjur terbaik se-Bali pada ajang Pesta Kesenian Bali. Pada moment Taksu Agung Baleganjur Festival mereka kembali berkumpul bukan sekedar untuk bersenan-senang tetapi dalam benak saya mereka memang hadir karena ini adalah moment yang mereka cita-citakan.
Setelah melalui begitu panjang perjalanan dan pencapaian, sangat layak bagi komuitas ini untuk berdiri menjadi salah satu pilar tumbuh dan berkembangnya kesenian baleganjur.
Penabuh dan Penari Baleganjur “Sura Belawa” | Foto : Panitia Dokumentasi & Publikasi Komunitas Seni Taksu Agung
Mengenai kompositoris yang dibawakan, saya degan teman-teman yang menyaksikan malam itu menebak bahwa komposisi yang dimainkan adalah komposisi original di tahun 2012. Terdengar dari beberapa pola yang masih identik dan teringat oleh memori otak ini. Mengingat karya ini juga sangat inspirasional, jadi pada masanya tidak mungkin hanya menontonnya sekali saja.
Dan ya, di atas panggung itu mereka benar-benar bersenang-senang dan menikmati setiap detik kenangan melodi, serunya ornamentasi, dan hagianya bernyanyi. Di tengah usia mereka yang tonden tua-tua sajan, komposisi Sura Belawa masih bisa mereka bawakan dengan apik. Tidak heran lagi statusnya yang sepuh sudah tentu pengalaman mereka berbicara, sayangnya tenaga mereka tidak seperti dulu lagi.
Bisa saya gambarkan penapilan mereka kala itu tidak hanya membawa kenangan bagi mereka si pelaku, tetapi juga menjadi moment nostalgia bagi penonton bahkan menjadi moment penemuan fakta bagi mereka yang baru tahu pemain asli dari karya Sura Belawa (menjelaskan saya sebagai subjek tersebut). Penampilan mereka pun di akhirnya dengan foto bersama di atas panggung. [T]