SUDAH puluhan kali saya makan di warung nasi lawar ayam, WARUNG BU WERTI di Jalan Merta Sari No.147 Sidakarya, Denpasar. Hampir 50-an porsi dalam kurun enam bulan terakhir sudah saya santap di warung itu.
Berawal dari sering lewat dan melihat banner sederhana berisi bacaan Nasi Lawar Ayam, lalu saya mencoba, lalu ketagihan.
“Rasa pertama adalah rindu”. Begitulah kira-kira rasa yang saya rasakan ketika pertama kali menikmati nasi lawar ayam ini.
Adalah Wayan Buda Antara, atau biasa dipanggil Pak Buda yang berada pada posisi penting di warung itu. Ia pedagang sekaligus peracik masakannya. Ia sudah hampir 10 tahun fokus menjadi pedagang dan pengusaha kuliner.
Laki-laki berumur 52 tahun ini memiliki cerita panjang dalam hidupnya yang bercampur dalam perjalanan menjadi pedagang nasi lawar ayam.
“Seperti Bumbu, hidup memang selalu banyak rasa. Pahit, pedas, asin, asem dan banyak lagi rasa yang pernah ada,” katanya.
Sebagian bumbu lawar ayam racikan Pak Buda | Foto: Nyoman Nadiana
Lawar ayam | Foto: Nadiana
Sejak menempuh pendidikan Sekolah Menegah Pertama (SMP) sampai Sekolah Menengah Atas (SMA), Buda remaja bekerja paruh waktu di sela-sela waktu sekolahnya. Pelajaran dan pengalaman bagaimana membuat lawar, sate dan meracik bumbu, dia dapatkan dari seorang pengusaha kuliner di daerah Sesetan waktu itu.
Ia sempat menjadi pegawai serabutan di salah satu kampus di Denpasar selama 10 tahun. Namun akhirnya, dari kampus tempat bekerja itu, secara kebtulan, ia mendapatkan kelihaian mengadon racikan bumbu, daging ayam, menjadi lawar ayam. Itu menu khas Sidakarya, Denpasar.
Pak Buda mengenang awalnya ketika ada EXPO di kampus, sekelompok mahasiswa meminta tolong untuk membuatkan masakan khas Bali yaitu nasi lawar ayam. Ia membuatnya. Ya, membuat lawar. Mahasiswa suka, dan siapa pun yang sempat mencicipinya juga suka.
Akhirnya masakannya dikenal di lingkungan kampus dan menjadi tonggak promosi dari mulut ke mulut. Sejak itu Pak Buda nyambi berjualan, ngemper, di sela-sela waktu kerjanya. Akhirnya, karena merasa klop, ia memutuskan untuk fokus berjualan nasi lawar ayam dan bubuh Bali khas Sidakarya dan menerima order masakan Bali di rumahnya.
Daging ayam racikan Pak Buda | Foto: Nyoman Nadiana
Kini sudah 20 tahun Pak Buda fomus menekuni bisnis ini. “Hari ini saya mendapatkan laba bersih Rp. 700.000,” terangnya.
Jika per hari ia mendapatkan laba sebesar itu, maka sebulan sidah bisa dipastikan penghasilannya Rp 21.000.000.
Pak Buda mengenang di periode tahun 2000-an, laba bersihnya bisa mencapai Rp. 2.000.000 per hari. Per bulan Rp. 40.000.000. Hampir dua kali lipat jika dibandingkan sepuluh tahun ke belakang ini.
“Harga-harga bahan pokok, seperti beras, cabai, minyak dan lain-lain saat itu masih murah,” katanya.
Pak Buda | Foto Nadiana
Saya takjub mendengar keterangan tentang hitung-hitungan ekonomi dari Pak Buda. Dari wirausaha jalanan, sampai dunia kuliner lengkap ia jelaskan sambil mengadon lawar putih dan merah serta mencampur daging sisit ayam.
Tak terasa porsi pertama saya habis. “Tambah setengah,” kata saya.
Nasi Lengkap dan sate atau tum ayam harganya Rp. 15.000. Kalau mau tum (semacam pepes) dan sate nambah lagi Rp. 3.000.
Makan dan minum ya di kisaran Rp. 25.000 sudah bisa membuat kita lebih sabar dan tenang membaca berita dan mendengar kabar tentang Makan Siang Gratis yang sebenarnya tak gratis-gratis amat. [T]
Warung Bu Werti | Foto: Nadiana
Reporter/Penulis: Nyoman Nadiana
Editor: Adnyana Ole