DI BALI, frase ‘Rejuna Inguh’ biasanya digunakan dalam konteks asmara. Menggambarkan kondisi batin seorang pemuda yang difigurkan sebagai Arjuna, tokoh dalam Mahabharata. Arjuna di Bali disebut ‘Rejuna”. “Inguh” bisa diartikan sebagai perasaan bingung dan gelisah, karena jatuh cinta atau sebaliknya, baru berpisah dengan gadis pujaaannya.
‘Inguh’ juga merupakan metafora yang mendalam untuk menggambarkan kondisi psikologis masyarakat Bali secara keseluruhan. Penggunaan metafora ini sangat menarik karena menghubungkan aspek budaya yang kaya dengan isu kesehatan mental yang serius, yaitu skizofrenia.
Bali, pulau dewata yang terkenal dengan keindahan alam dan kekayaan budayanya, ternyata juga menyimpan permasalahan kesehatan mental yang cukup kompleks.
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 menunjukkan bahwa angka pengidap skizofrenia di Bali paling tinggi di Indonesia. Kondisi ini tentu saja menjadi perhatian serius bagi semua pihak, baik pemerintah, tenaga kesehatan, maupun masyarakat luas.
Meskipun Riskesdas 2018 secara spesifik tidak menyebutkan angka absolut jumlah pengidap gangguan jiwa di Bali, namun disebutkan bahwa Bali memiliki 11 per mil penduduknya yang mengalami gangguan jiwa. Ini berarti sekitar 11 dari setiap 1.000 penduduk Bali mengalami gangguan jiwa.
Jika kita asumsikan jumlah penduduk Bali saat ini sekitar 4 juta jiwa maka perkiraan jumlah pengidap gangguan jiwa di Bali adalah sekitar 44.000 orang.
Skizofrenia adalah gangguan mental kronis, ditandai dengan gejala seperti halusinasi, delusi, dan gangguan pikiran. Kondisi ini dapat sangat mengganggu kehidupan sehari-hari pengidapnya dan membutuhkan penanganan medis yang tepat.
Namun, di tengah masyarakat, stigma negatif terhadap penyakit mental seringkali menjadi penghalang bagi penderita untuk mencari bantuan.
Mengapa skizofrenia begitu sering ditemukan di Bali? Beberapa faktor mungkin berkontribusi terhadap tingginya angka penderita di pulau ini. Pertama, faktor genetik mungkin memainkan peran. Namun, faktor lingkungan dan sosial budaya juga tidak dapat diabaikan.
Tekanan hidup yang tinggi, perubahan nilai-nilai sosial, dan stigma negatif terhadap penyakit mental dapat menjadi pemicu atau memperburuk kondisi skizofrenia.
Selain itu, kekayaan budaya Bali yang sarat dengan simbolisme dan ritual spiritual juga bisa menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, budaya ini memberikan kekuatan dan kenyamanan bagi masyarakat. Namun, di sisi lain, interpretasi yang berlebihan terhadap pengalaman spiritual dapat memicu gejala psikotik pada individu yang rentan.
“Inguh” sebagai Refleksi Kolektif
Jika kita melihat lebih dalam, frase “Inguh” tidak hanya menggambarkan kebingungan individu, tetapi juga bisa menjadi cerminan dari kondisi psikologis masyarakat Bali secara kolektif. Dalam konteks yang lebih luas, “kebingungan” ini bisa diartikan sebagai ketidakpastian, kegelisahan, atau bahkan kehilangan arah yang dirasakan oleh banyak orang.
Perubahan zaman yang begitu cepat, modernisasi yang pesat, dan globalisasi telah membawa dampak yang signifikan terhadap kehidupan masyarakat Bali. Nilai-nilai tradisional yang selama ini menjadi pedoman hidup mulai terkikis, digantikan oleh nilai-nilai materialisme dan individualisme.
Hal ini tentu saja memunculkan berbagai pertanyaan dan dilema yang dapat menimbulkan stres dan kecemasan.
Agus Endrawan, Manajer Operasional Yayasan Bali Bersama Bisa, sebuah yayasan yang memberikan layanan kesehatan mental secara gratis bagi warga di Bali menyebutkan, usia klien yang datang ke Yayasan Bali Bersama Bisa adalah mereka yang berada pada usia produktif, yakni 16-35 tahun.
Kegiatan Yayasan Bali Bersama Bisa | Foto: Dokumentasi Yayasan Bali Bersama Bisa
Setelah melalui proses asesmen oleh para konselor, gejala atau bahkan gangguan mental yang tampak cukup beragam; mulai stres, depresi, trauma, gangguan cemas atau anxiety, bahkan mental disorder seperti bipolar, skizofrenia, gangguan stres pasca trauma (PTSD) dan Boderline Personality Disorder (BPD). Juga, adiksi NAPZA hingga judi online.
“Dari Februari hingga Desember 2024, tercatat 390 orang yang kami tangani. Ini menunjukkan bahwa masalah gangguan mental di Bali cukup serius, tidak bisa dipandang sebelah mata,” ujarnya saat diwawancarai pada Senin (13/1/2025).
Agus bahkan mengatakan, angka pengidap gangguan mental yang tinggi merupakan akumulasi mulai sejak pandemi Covid-19 melanda pada 2020 hingga masa pasca pandemi pada 2023 sampai sekarang. Kita tahu, pandemi meluluhlantakan perekonomian Indonesia, termasuk Bali yang bertumpu pada sektor pariwisata.
“Banyak orang kehilangan anggota keluarga mereka, kehilangan aset seperti tanah, rumah, mobil karena disita bank akibat tak bisa membayar utang. Ada juga yang menjual tanah mereka jauh dibawah harga normal karena kondisi terdesak. Itu semua menjadi pemicu masalah kesehatan mental warga,” jelasnya.
Agus Endrawan, Manajer Operasional Yayasan Bali Bersama Bisa | Foto: Dokumentasi Yayasan Bali Bersama Bisa
Kondisi tersebut, kata Agus, sayangnya tidak dibarengi oleh pengetahuan tentang kesehatan mental yang cukup. Tanpa bermaksud merendahkan adat, agama, dan budaya Bali, Agus mengatakan bahwa di Bali jika ada penyakit non-fisik yang tak tampak, orang akan langsung mengaitkannya dengan hal-hal yang bersifat gaib atau faktor niskala, yang tidak kasat mata.
“Hal itu tidak salah, namun perlu juga diimbangi dengan ilmu pengetahuan modern, seperti psikologi dan psikiatri. Karena, solusi yang diberikan masyarakat awam misalnya malukat atau upacara ruwatan, bersifat temporer. Akar masalahnya belum teratasi,” ucapnya.
Apalagi, imbuh Agus, stigma sosial tentang kesehatan mental masih sangat kental di Bali. Jika melihat kerabat atau sahabat yang berobat ke psikolog maupun psikiater dikatakan “gila”, padahal justru mereka yang mencari pertolongan ke profesional kesehatan mental adalah contoh sikap yang berani dan tepat, bukan sebuah kelemahan yang patut diolok-olok.
“Para klien yang kami bantu memberikan pendapat positif mengenai program-program kesehatan mental yang yayasan kami lakukan. Mereka yang telah pulih biasanya mengajukan diri untuk menjadi sukarelawan atau volunteer. Dengan berbagi, kepulihan mereka menjadi inspirasi bagi orang lain yang sekiranya menghadapi persoalan yang sama dengan para sukarelawan,” jelas Agus.
Kegiatan Yayasan Bali Bersama Bisa | Foto: Dokumentasi Yayasan Bali Bersama Bisa
BISA Helpline, layanan hotline pencegahan bunuh diri yang diinisiasi oleh Yayasan Bali Bersama Bisa, juga menjadi alarm atau pengingat tentang fenomena ‘gunung es’ masalah kesehatan mental di Bali, yang menjadikan Bali sebagai provinsi dengan angka bunuh diri tertinggi di Indonesia.
Metro TV, baru-baru ini menyiarkan laporan jurnalistik yang bernas tentang bunuh diri di Bali. Meskipun kemiskinan menjadi salah satu penyebab tingginya angka bunuh diri, terutama bagi lansia dengan penyakit menahun, agaknya kepedulian pemerintah Bali juga perlu dipertanyakan.
Belum ada Perda khusus yang dibuat menanggapi “kejadian luar biasa” ini. Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) atau yang dikenal dengan BPJS, tidak menanggung pengobatan mereka yang melakukan percobaan bunuh diri. Semestinya ini juga ditanggung oleh JKN.
“Akhiri Ulah Pati di Bali,” judul laporan jurnalistik Metro TV tersebut, membuka mata kita bersama bahwa di balik gemerlap pariwisata Bali juga menyisakan cerita-cerita kesedihan terutama di wilayah Bali selain daerah pariwisata seperti yang ada di Bali bagian Selatan.
“Inguh” kemudian menjadi gejala kolektif yang masyarakat Bali rasakan. Mereka di satu sisi menjadi para penjaga tradisi dan budaya Bali, setia menjalani apa yang telah menjadi adat-istiadat selama ratusan bahkan ribuan tahun.
Namun, di sisi lain, perubahan demografi yang terjadi sejak beberapa dasawarsa di Bali membuat lahan pekerjaan makin sempit yang membuat orang Bali seakan terpinggirkan. Akhirnya, kesehatan mental mereka juga terkena dampak dari berbagai tekanan yang mengimpit—tak memandang usia, jenis kelamin, dan profesi; semua orang punya potensi mengalami gangguan mental.
Pengurus dan staf Yayasan Bali Bersama Bisa | Foto: Dokumentasi Yayasan Bali Bersama Bisa
Jika itu yang mulai dirasakan, seperti misalnya gejala susah tidur, mudah tersinggung dan marah, kehilangan minat pada apa yang biasa disukai, sering merasa lelah padahal tidak bekerja berat, segeralah memeriksakan diri ke Puskesmas. Layanan kesehatan terkecil ini sejak beberapa tahun lalu telah menyediakan layanan penyakit mental. Jika perlu dirujuk ke rumah sakit daerah dimana terdapat psikolog dan psikiater, akan dibuatkan surat pengantar dan rujukan.
Bisa pula meminta bantuan pada yayasan seperti Yayasan Bali Bersama Bisa—dengan tangan terbuka bersedia membantu warga masyarakat yang membutuhkan layanan kesehatan mental tanpa dipungut biaya. [T]
BACA artikel lain dari penulisANGGA WIJAYA