TAHUN berganti. Dari milenium ke milenium, abad ke abad, hingga detik yang bergulir tanpa henti, manusia sering kali menganggap pergantian waktu sebagai sesuatu yang monumental. Namun, bagi banyak orang, pergantian tahun hanyalah ilusi, penanda yang tidak membawa perubahan berarti dalam hidup mereka. Masalah-masalah yang mereka hadapi tetap sama, tak peduli apa yang tertulis di kalender. Persoalan orang-orang miskin, misalnya, tetap berkutat pada hal-hal elementer: besok makan apa? Bagaimana cara membayar hutang yang menumpuk? Bagaimana bertahan di hunian-hunian kumuh sambil terus membanting tulang agar tetap hidup?
Di sudut-sudut kota, di balik gedung-gedung pencakar langit yang berkilauan, ada kehidupan lain yang tersembunyi. Hunian-hunian kumuh, penuh sesak dengan mereka yang setiap hari berjuang untuk bertahan hidup. Resolusi mereka tidak seperti kebanyakan orang yang membayangkan tubuh lebih sehat, karir lebih cemerlang, atau perjalanan ke tempat eksotis. Resolusi mereka adalah memastikan hari ini ada makanan di atas meja dan esok tidak perlu menggadaikan barang-barang terakhir yang mereka miliki untuk bertahan hidup. Tahun baru, bagi mereka, hanya sekadar momen lain yang menegaskan perjuangan mereka masih panjang.
Penyair Afrizal Malna pernah menggagas sebuah pameran kemiskinan untuk menyambut milenium 2000. Dalam gagasannya, Afrizal menyampaikan realitas pedih: bagi orang-orang miskin, hidup bukan tentang merencanakan masa depan yang panjang, bukan pula tentang mimpi-mimpi besar atau harapan yang megah. Hidup adalah manajemen darurat, sebuah keberlangsungan informal dalam kegentingan hari ini dan esok. Orang-orang miskin tidak hidup dalam proyeksi masa depan yang cerah, melainkan dalam situasi genting yang terus-menerus menekan.
Sementara itu, mereka yang hidup berkecukupan atau lebih sering kali larut dalam euforia perayaan tahun baru. Dentuman kembang api, gelak tawa, dan sorak-sorai memenuhi udara malam. Mereka membuat resolusi, merancang perjalanan, atau membeli barang-barang mahal sebagai hadiah untuk diri sendiri. Bagi mereka, waktu adalah peluang untuk perencanaan, untuk resolusi. Namun, realitas ini jauh dari kehidupan orang-orang yang setiap harinya dihantui oleh ketidakpastian. Ilusi pembagian waktu yang terstruktur, dengan pergantian tahun sebagai simbol pembaruan, hanya relevan bagi mereka yang sudah melewati persoalan-persoalan elementer seperti makan dan bertahan hidup.
Kemiskinan, seperti yang diungkapkan Afrizal, adalah penjara yang membatasi bukan hanya fisik, tetapi juga pikiran dan imajinasi. Mereka yang terjerat kemiskinan sering kali tidak memiliki kesempatan untuk memikirkan hal-hal besar atau bermimpi jauh ke depan. Ketika kebutuhan dasar tidak terpenuhi, bagaimana seseorang bisa memikirkan pendidikan, karir, atau masa depan? Setiap hari adalah perjuangan untuk bertahan hidup, sebuah lingkaran setan yang sulit dipecahkan.
Namun, kita sering kali terjebak dalam narasi yang menyederhanakan kemiskinan. Banyak orang melihatnya sebagai hasil dari kurangnya kerja keras atau kesalahan individu semata. Padahal, kemiskinan adalah masalah sistemik yang jauh lebih kompleks. Orang-orang miskin sering kali “digilas sistem,” seperti yang disebutkan di awal. Mereka bekerja keras, bahkan lebih keras daripada banyak orang yang hidup nyaman, tetapi tetap tidak mampu keluar dari jerat kemiskinan. Sistem ekonomi yang tidak adil, kurangnya akses terhadap pendidikan dan layanan kesehatan, serta diskriminasi struktural adalah beberapa faktor yang memperkuat jerat ini.
Penting untuk menyadari bahwa kemiskinan tidak hanya berdampak pada individu yang mengalaminya, tetapi juga pada masyarakat secara keseluruhan. Ketika sebagian besar populasi hidup dalam kemiskinan, potensi bangsa menjadi terhambat. Ketimpangan sosial yang mencolok menciptakan ketegangan dan konflik, menghancurkan kohesi sosial yang seharusnya menjadi fondasi sebuah masyarakat.
Apa yang bisa kita lakukan? Pertama-tama, kita harus mengakui bahwa kemiskinan bukanlah sebuah takdir, melainkan hasil dari pilihan-pilihan kebijakan dan struktur sosial yang ada. Solusinya memerlukan perubahan mendasar, mulai dari kebijakan ekonomi yang lebih adil hingga investasi besar-besaran dalam pendidikan, kesehatan, dan perumahan. Di sisi lain, solidaritas sosial juga memainkan peran penting. Kita perlu membangun rasa empati dan kepedulian terhadap sesama, tidak hanya dengan memberikan bantuan sementara, tetapi juga dengan mendukung perubahan struktural yang memungkinkan setiap orang untuk hidup layak.
Pergantian tahun sering kali menjadi momen refleksi dan harapan. Namun, mari kita jadikan momen ini sebagai pengingat akan mereka yang tidak memiliki kemewahan untuk bermimpi panjang. Mereka yang hidup dalam “manajemen darurat” layak mendapatkan lebih dari sekadar belas kasih. Mereka layak mendapatkan sistem yang adil, kesempatan yang setara, dan kehidupan yang layak. Tahun baru, dengan segala ilusi waktu yang menyertainya, seharusnya menjadi pengingat bagi kita semua bahwa masih ada banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk menciptakan dunia yang lebih baik.
Afrizal, dengan ide pameran kemiskinannya, mengajak kita untuk melihat realitas yang sering kali kita abaikan. Kita perlu mempertanyakan: apa artinya kemajuan jika sebagian besar masyarakat kita masih hidup dalam ketidakpastian dan penderitaan? Pergantian tahun, pada akhirnya, adalah tentang bagaimana kita berkontribusi untuk perubahan. Dan perubahan itu tidak akan datang hanya dengan resolusi pribadi, tetapi dengan aksi kolektif untuk menciptakan sistem yang lebih adil bagi semua.
Maka, mari jadikan tahun baru ini sebagai momen untuk berkomitmen, bukan hanya pada diri sendiri, tetapi juga pada mereka yang suaranya sering kali tidak terdengar. Karena resolusi terbaik adalah yang membawa perubahan nyata, bukan hanya bagi individu, tetapi bagi masyarakat secara keseluruhan. [T[
BACA ARTIKEL LAIN DARIKIM AL GHOZALI