PEKAN lalu berturut-turut penulis menghadiri undangan sebagai narasumber Evaluasi Pilkada 2024 di tiga kabupaten di Jawa Tengah. Salah satu permasalahan pilkada yang mengemuka adalah menurunnya voter turnout (tingkat kehadiran pemilih), bila dibandingkan dengan capaian pada saat pileg dan pilpres. Dalam hal tingkat kehadiran, tiga kabupaten itu mengalami persoalan yang sama yakni gagal mencapai angka yang ditargetkan.
Menariknya, di salah satu kabupaten terdapat dua kecamatan yang tingkat kehadiran pemilih mereka dari periode ke periode selalu rendah. Setelah ditelisik, ternyata di salah satu kecamatan banyak warganya yang merantau, bekerja di luar daerah ataupun di luar negeri. Sementara itu, di kecamatan lainnya banyak warganya berprofesi sebagai nelayan dan saat pilkada berlangsung masih bekerja di tengah lautan.
Senasib dengan para pekerja adalah para penuntut ilmu. Di kabupaten-kabupaten tersebut banyak pula siswa, mahasiswa dan santri yang sedang menempuh pendidikan di luar daerah dan tidak memungkinkan pulang ke rumah pada saat pilkada karena keterbatasan sumber daya. Senasib dengan para nelayan adalah orang-orang dengan profesi tertentu yang tengah menjalankan tugasnya di hari pemungutan suara seperti sopir dan kru bis AKAP (Antar Kota Antar Propinsi), pilot beserta awak kabin dan dokter bedah beserta tim tenaga kesehatan. Saat mereka mulai bekerja, TPS (Tempat Pemungutan Suara) belum dibuka dan setelah mereka selesai menjalankan pekerjaannya TPS sudah ditutup.
KaumParia
Kondisi itu menyebabkan mereka menjadi kaum paria dalam pilkada. Kaum yang aksesnya terpinggirkan dan haknya terabaikan. Punya hak untuk memilih namun secara teknis tidak bisa menggunakannya. Padahal, sebagian besar sungguh secara tulus ingin berpartisipasi dalam pilkada. Hingga saat ini, belum ada payung kebijakan yang bisa memfasilitasi penggunaan hak pilih mereka meskipun pilkada sudah berulangkali terlaksana.
Hal ini tentu tak bisa dibiarkan terus berlangsung. Pada prinsipnya, tidak boleh ada satupun warga yang menjadi tertinggal baik karena adanya kebijakan atau ketiadaan kebijakan. Ini merupakan prinsip inti Agenda 2030 untuk Pembangunan Berkelanjutan yang dikenal dengan istilah Leaving No One Behind (LNOB), tak ada siapa pun yang tertinggal. Dalam konteks pilkada, kebijakan yang mengatur sistem pemilihan mestinya secara inklusif merengkuh semua warga, tidak peduli di mana pun mereka berada. Bukan justru menyingkirkan sebagian warga dari penggunaan hak suara mereka.
Inovasi Kebijakan
Untuk menyelamatkan hak konstitusional para pemilih diperlukan adanya perbaikan dalam sistem pemilihan, khususnya dalam hal pengaturan cara pemberian suara. Perbaikan itu membutuhkan adanya inovasi kebijakan. Inovasi ini tidak selalu berarti harus membuat hal yang betul-betul baru. Inovasi bisa saja dijalankan melalui penerapan praktik terbaik yang sudah terbukti berhasil di tempat lain dan kemudian disesuaikan dengan konteks dan kebutuhan lokal (Neo & Chen, 2007).
Terdapat sejumlah praktik terbaik cara pemberian suara di sejumlah negara yang terbukti dapat menyelamatkan hak pilih warga seperti proxy voting di Belanda, postal voting di Jerman, i-voting di Estonia dan advance voting di Finlandia. Pada proxy voting, seorang pemilih di Belanda yang tidak bisa hadir di TPS bisa memberi kuasa kepada orang lain untuk memberikan suara atas nama dirinya.
Melalui postal voting, pemilih di Jerman diperkenankan menggunakan hak pilihnya melalui layanan pos. Dalam i-voting, pemilih di Estonia diberi kemudahan untuk melakukan pemilihan melalui internet. Sedangkan lewat advance voting, pemilih di Finlandia diberikan kesempatan untuk menggunakan hak pilihnya dalam rentang waktu sekitar seminggu sebelum hari pemungutan suara di lokasi-lokasi yang telah ditentukan.
Tiga metode pertama yakni proxy voting, postal voting dan i-voting, tidak mensyaratkan pemilih datang secara fisik ke daerah asal. Prosedur ini memberikan keleluasaan kepada pemilih yang terkendala kehadiran untuk tetap menggunakan hak pilihnya. Mereka yang secara teknis pada hari pemilihan sedang berada di luar daerah maupun di luar negeri tetap terselamatkan hak konstitusionalnya. Adapun metode terakhir, advance voting, sangat bermanfaat bagi pemilih yang di hari pemungutan suara memiliki agenda profesional yang tidak bisa ditinggalkan.
Metode apa yang cocok diadaptasi sebagai inovasi kebijakan? Yang jelas, proxy voting tidak sesuai dengan asas pemilu kita karena melanggar asas langsung dan rahasia. Sedangkan postal voting dan i-voting, punya kans besar untuk diadopsi sepanjang aspek keamanan suara dapat terjamin. Adapun advance voting juga sangat mungkin untuk diterapkan. Hal terpenting adalah penyiapan kerangka hukum yang memungkinkan inovasi-inovasi kebijakan itu dapat dikembangkan dan disesuaikan dengan konteks lokal, agar ke depan tak ada lagi kaum paria, yang tertinggal dan ditinggalkan dalam pilkada. [T]