PADA Agustus yang berangin di forum ISPAE (Indonesian Society for Performing Arts Ecosystem)—sebuah inisiatif yang menaungi program-program strategis bagi pengembangan dan penguatan ekosistem seni pertunjukan Indonesia—yang diselenggarakan di salah satu ruangan di Bidadari Art Space, Ubud, Bali, seorang pemuda berperawakan Jawa berdiri sambil mempresentasikan apa dan bagaimana ia berkesenian bersama masyarakat di daerahnya di Kudus, Jawa Tengah.
Ia menjadi yang pertama. Tapi dengan logat Jawa-nya yang khas, ia tampil percaya diri. Orang-orang yang duduk di ruangan tersebut terpaku memperhatikannya. “Komunitas kami berawal dari teater desa, teater kampung, yang kebetulan pada waktu itu diminta oleh pemerintah desa untuk mementaskan sebuah lakon drama,” ia mengawali penjelasannya sesaat setelah memperkenalkan diri.
Di luar ruangan, angin muson timur berembus dan menggugurkan daun-daun pohon bodhi yang tumbuh menjulang di taman-taman Bidadari Art Space. Dari celah-celah ventilasi, angin yang bertiup dari Australia itu sejenak menyejukkan ruangan dan barangkali juga membuat tenang pemuda Jawa yang sedang presentasi itu. Maka dengan tenang ia melanjutkan.
“Kemudian komunitas kami menjadi sebuah platform yang mewadahi teman-teman seniman teater, tari, di situ juga ada teman-teman musik yang memang bergiat pada hal-hal yang sifatnya folkloris, seperti ketoprak, misalnya. Di Pati, di Jepara, juga banyak seniman ketoprak yang kami wadahi,” lanjutnya.
Ialah Muhammad Farid, pemuda Jawa yang sedang mempresentasikan Kampung Budaya Piji Wetan di forum ISPAE siang itu. Farid, panggilan akrabnya, merupakan penggagas sekaligus manajer program di komunitas yang berdiri kaki Gunung Muria di Dukuh Piji Wetan, Desa Lau, Kecamatan Dawe, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah itu. Di ISPAE waktu itu, Farid menjadi peserta program Emerging Producers And Incubator bersama produser-produser muda dari berbagai daerah di Indonesia.
Sebagai manajer program, Farid memang terhitung cukup aktif mengikuti program-program semacam itu. Ia hampir selalu ada di setiap forum yang berkaitan dengan seni pertunjukan—atau forum kesenian dan kebudayaan pada umumnya. Dan itu membuatnya memiliki modal sosial yang cukup dalam mendukung ekosistem gerakan—dengan jalan seni dan budaya—yang dilakukannya bersama teman-temannya di Kudus.
Workshop Manajemen Seni Pertunjukan yang diadakan oleh Ruang Kreatif Galeri Indonesia Kaya adalah salah satu forum yang akan selalu Farid ingat. Ketika itu ia mendapati peluang untuk submit proposal dan diterima. Sejak dulu, kata Farid, ia selalu berusaha memposisikan diri sebagai amatir dalam belajar, sebuah kerendahan hati khas orang Jawa.
“Termasuk juga dalam hal berjejaring. Saya bersyukur bisa dipertemukan dengan mereka itu, sehingga menambah pengalaman dan pemikiran saya dalam berkarya,” ujar pemuda kelahiran 1997 itu kepada tatkala.co saat diwawancari melalui WhatsApp, Kamis (5/12/2024) pagi.
Sedangkan dalam dunia seni budaya, Farid mulai berkecimpung sejak duduk di bangku SMP—dan akhirnya memilih bertungkus lumus sampai sekarang. Itu karena seorang guru Bahasa Indonesia dan Seni Budaya di sekolah Farid adalah pegiat dan pendiri komunitas teater yang cukup berpengaruh di Kabupaten Kudus. “Jesy Segitiga panggilan akrabnya,” terang Farid.
Jadilah ia diajak pentas kolaborasi untuk pertama kalinya—walaupun saat itu ia hanya berunjuk gigi selama 15 menitan di atas panggung. Namun, momen itu, kata Farid, menjadi awal perkenalannya yang mengesankan dengan dunia kesenian dan kebudayaan.
“Saat itu saya bersama teman-teman di SMP juga membuat pementasan kami sendiri. Membuat naskah ala kadarnya untuk dipentaskan pada momen-momen tertentu,” ujar pengagum Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) itu.
Muhammad Farid di forum ISPAE (Indonesian Society for Performing Arts Ecosystem) 2024 | Foto: Dok. Pribadi
Tapi Farid seolah dapat membaca masa depannya. Pada saat duduk di bangku SMA, perannya di seni pertunjukan berubah—dan ini berpengaruh terhadap kerja-kerjanya hari ini. Saat itu ia tidak lagi fokus sebagai aktor, tapi lebih banyak berkutat pada kerja-kerja belakang panggung. Utamanya yang kita kenal sebagai kerja-kerja keproduseran.
“Karena saya juga Ketua OSIS pada saat itu, maka setiap kali mau mengadakan pentas, sudah pasti saya yang didapuk menjadi ‘pembuat proposal’, sebagaimana dulu kami menyebutnya,” ungkap Farid.
Namun, tidak sekadar membuat proposal, tapi ia juga merencanakan, menyusun budgeting dan timeline, mengontrol dan memastikan pementasan tersebut berjalan hingga selesai. “Kalau sekarang ya bisa dikatakan pimpinan produksi atau istilah barunya sebagai produser,” jelasnya.
Menurut Farid, peran tersebut dulu sangat dihindari teman-temannya karena selain tidak berpotensi terkenal, pula paling ribet kerjaannya. Sejak saat itulah akhirnya ia keterusan menjadi produser seni pertunjukan.
Pada 2014, Farid mengambil Manajemen Bisnis Syariah di IAIN Kudus, yang tentu saja tidak ada kaitannya sama sekali dengan dunia kesenian. Tapi, menurutnya, secara praktik dan implementasi dasar, ilmu manajemen yang ia dapat selama kuliah sangat membentuk dan membantunya dalam kerja-kerja keproduseran yang ia geluti selama ini.
“Saya mengenal istilah manajemen dari bapak. Seringkali bapak bercerita kepada saya tentang apa saja yang baru ia pelajari setelah mengikuti pelatihan atau bimbingan teknis (bimtek) yang diadakan Departemen Pendidikan maupun Departemen Agama. Dan istilah yang seringkali ditekankannya ialah manajemen,” ucap kontributor NU Online tersebut.
Dari cerita-cerita bapaknya—yang notabene seorang guru olahraga—Farid akrab dengan istilah manajemen dan akhirnya menggeluti bidang keilmuan yang cukup dinamis dalam hal praktiknya tersebut.
Ia mengaku banyak mengadopsi cara-cara yang dilakukan oleh para manajer perusahaan dalam kerja-kerja keproduserannya untuk seni pertunjukan. Termasuk soal kejelian menentukan struktur dan SDM, keberanian memasang target dan timeline, yang seringkali memiliki tantangan tersendiri bagi seniman.
Selama ini, bersama teman-temannya di Kampung Budaya Piji Wetan, Farid banyak mengeksplorasi cerita rakyat dan legenda yang ada di Kudus dan sekitarnya menjadi sebuah pementasan untuk disuguhkan kepada publik.
Pertunjukan teater rakyat yang dimodifikasi dengan pendekatan teater modern menjadi metodenya merelevansikan ajaran, falsafah, dan nilai-nilai yang terkandung dalam cerita rakyat yang ada di daerahnya.
Eksplorasi tersebut menjelma beberapa seni pertunjukan, seperti Paugering Kanthi Mangkok (2021), Umbul Pabean (2021), Warta Emprit Ganthil (2022), Ngugemi Kudus Smart City (2022), Kayu Naga Muria 1 (2023), dan Kayu Naga Muria 2 (2024).
Sampai di sini, selain menekuni dunia produksi seni pertunjukan, Farid juga aktif menulis—dan menjadikannya poduser muda yang produktif. Ia menulis berita, esai, opini, dan artikel ilmiah di beberapa media serta jurnal lokal maupun nasional—bahkan ia sudah menerbitkan beberapa buka, seperti Mitologi Ritual Budaya Kaki Muria (2017), buku puisi Pesan Kelopak Mata (2017), dan Yang Asing di Kampung Sendiri, Kudus dalam Prosa Jurnalisme (2018). Dan kini ia sedang menyelesaikan studi S2 kajian budaya di Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta.
***
Membicarakan Muhammad Farid tentu tak dapat lepas dari komunitas Kampung Budaya Piji Wetan yang aktif itu. Sebagaimana dikatakan Farid, Kampung Budaya Piji Wetan baru diaktanotariskan pada 2020, meski aktivitas rintisan dan kegiatannya sudah berlangsung sejak 2014.
Pada saat itu, seperti presentasi Farid di ISPAE: Focus 2024 beberapa bulan silam, warga Piji Wetan diminta pemerintah desa untuk menampilkan sebuah pentas teater yang bertemakan perjuangan rakyat untuk menyambut kemerdekaan. Dengan modal tekad dan kemampuan yang terbatas itu, warga pun membentuk sebuah kelompok teater yang dinamai sesuai nama dukuhnya (setara dusun/banjar), yakni Teater Piji Wetan.
Berkembang dari hal tersebut, warga bahkan anak-anak sangat antusias. Mereka mengeksplor cerita-cerita rakyat (folklore) yang mereka ketahui secara turun temurun, seperti perjuangan Kapten Mahmudi, Maling Kopo, Dewi Nawangsih, Dewi Wiji, dan beberapa asal usul desa hingga cerita soal ajaran Pagar Mangkuk dan Tapa Ngeli Sunan Muria—anak dari Sunan Kalijaga sekaligus salah satu nama wali yang tersebut dalam Wali Songo.
Gayung bersambut, pada kisaran 2015, kelompok Teater Piji Wetan diajak kerja sama mahasiswa Universitas Dian Nuswantoro (Udinus) Semarang untuk menggarap film pendek berjudul “Legenda Air Tiga Rasa Syekh Syadzali Rejenu”. Film tersebut sudah diunggah di kanal Youtube Kampung Budaya Piji Wetan.
“Semakin berkembang, kami pun mencoba dunia film dan akting. Akhirnya kami mencoba memproduksi film pendek sendiri, seperti Pak Kiai Piji Wetan (2018) dan A Ba Ta MacanE (2019). Dari situ Teater Piji Wetan sering diundang meramaikan kegiatan warga, baik sekadar hajatan rakyat maupun resmi dari dinas tertentu,” terang Farid.
Muhammad Farid | Foto: Dok. Pribadi
Pada saat pandemi covid-19, kata Farid, mereka memproduksi dokumenter Cerita Budaya Desa “Pager Mangkok” (2020) dan memeroleh predikat 30 terbaik se-Indonesia. Dari keberhasilan itulah kemudian mereka berani mengembangkan mimpi dengan melebarkan sayap gerakan di bidang kesenian dan kebudayaan.
Mereka mulai mengaktivasi ruang-ruang desa dengan kebudayaan dan menamai diri secara resmi sebagai Kampung Budaya Piji Wetan Desa Lau. Di balik itu ada nama Muhammad Zaini, Rhy Husaini, Ulul Azmi, dan Muhammad Farid sebagai, katakanlah, pengagas dan penggeraknya.
Euforia Kampung Budaya Piji Wetan semakin besar dan menarik banyak komunitas lain untuk ikut berjejaring. Dan kini ada empat ruang budaya yang mereka kelola, dua di antaranya merupakan warisan budaya berupa situs yang konon pernah menjadi tempat singgah Sunan Muria, yaitu Punden Depok dan Belik Ngecis.
“Sedangkan dua lainnya merupakan taman budaya buatan warga, yakni Panggung Ngepringan dan Taman Dolanan Tradisional,” ujar Farid.
Tentu saja, seniman menerima pengaruh dari lingkungan hidupnya, dan terlibat dalam pergaulan dengan berbagai pihak dalam suatu masyarakat—seperti kata Ignas Kleden dalam pidatonya “Memperkuat Masyarakat Sipil dengan Kesenian untuk Mengelola Negara dan Pasar Lebih Baik: Seni dan Civil Society”.
Tiap-tiap lingkungan mungkin saja memberikan pengaruh tertentu kepada seniman, dan dari pergaulannya dengan berbagai pihak muncul rangsang yang berbeda-beda yang menyentuh sensitivitas seniman tersebut. Dan sebagai pandangan hidup masyarakat Piji Wetan, Islam dan Jawa sangat berpengaruh terhadap kekaryaan mereka.
Islam yang berakar dan tumbuh di dukuh tersebut sangat akulturatif, menyatu dengan tradisi dan budaya sehingga keduanya saling melengkapi. Tentu saja ini tidak terlepas dari ajaran-ajaran para sunan terdahulu. Di Piji Wetan, Jawa dan Islam adalah penyatuan, bukan berhadap-hadapan (versus, saling bertolakbelakang) sebagaimana banyak orientalis Barat menyebutnya.
“Tentu saja karya-karya kami selalu dilandaskan pada falsafah dan ajaran yang diusung oleh para tokoh agama pendahulu kami, seperti Sunan Muria, Sunan Kudus, maupun Wali Songo lainnya,” ucap Farid terang-terangan.
Masyarakat Piji Wetan, sebagaimana telah disinggung di atas, berusaha menggali dan menemukan kembali ajaran tua Sunan Muria, yakni tapa ngeli dan pager mangkuk. Tapa ngeli merupakan ajaran perilaku menghanyutkan diri tanpa terbawa arus zaman. Dan pager mangkuk adalah istilah untuk tradisi syukuran atau hajatan di Kampung Budaya Piji Wetan yang bersumber dari sabda Sunan Muria, pagerono omahmu nganggo mangkuk (pagarilah rumahmu dengan mangkok).
Saat ini, Kampung Budaya Piji Wetan berfokus pada aktivasi kegiatan seni seperti pertunjukan teater, festival rakyat, pameran, dan pengenalan budaya serta kearifan lokal pada generasi muda, khususnya anak-anak. Untuk menunjang literasi rakyat, mereka memiliki perpustakaan mini yang mereka namai sebagai Lumbung Baca. Di situ ada kegiatan mendongeng, membaca bersama, dan kegiatan ringan yang melibatkan anak-anak Piji Wetan.
Sampai di sini, bahwa kesenian dan setiap ekspresi seni, pada dasarnya, sekali lagi seperti kata Ignas Kleden, adalah ekspresi pribadi seorang seniman, yang sangat personal sifatnya. Tapi W.S. Rendra dengan tegas mengatakan bahwa sekalipun seni umumnya dan sastra khususnya harus dikembangkan berdasarkan disiplin artistik, namun dalam pesan yang disampaikannya, seni dapat dan bahkan harus memberi respons kepada masalah keadilan, pemerintahan yang bersih, atau pendidikan nasional yang merupakan sektor-sektor publik.
Kesenian dan kebudayaan di Indonesia saat ini mulai bergerak masif, seperti kata Farid. “Seiring adanya program FBK, Dana Indonesiana, banyak kegiatan bagus serta berdampak yang bermunculan. Dulu mungkin pelaku seni hanya bisa mengandalkan ‘panggilan’, tapi kini bisa saling terhubung dan berkolaborasi untuk membuat kegiatannya sendiri. Para pelaku seni dan budaya itu kini juga lebih bisa hidup dan menghidupi sekitarnya,” jelas Farid.
Untuk Kabupaten Kudus, Farid berharap, orang-orang atau komunitas yang bergerak di bidang kesenian dan kebudayaan perlu lebih banyak berjejaring lagi dan mengintegrasikan visi-misi antarkomunitas agar ekosistem kesenian di Kudus bisa semakin matang dan kuat.
“Meskipun tidak/belum ada perguruan tinggi atau akademi seni, para pelaku seni dan budaya di Kudus saya pikir perlu juga untuk memikirkan langkah serta upaya membentuk agensi untuk mewadahi banyaknya talenta muda yang ada di Kawasan Muria,” sambungnya.
***
Ketika banyak kampung—pun desa—“latah” mengikuti tren membangun tempat wisata, tampaknya masyarakat Piji Wetan memilih jalan lain.
Paradigma wisata telah membuat kampung-desa menjadi lokasi dan objek untuk ditatap. Warga yang tinggal di kampung-desa menjadi bagian dari lanskap yang dipakai untuk ber-selfie, seperti kara Prof. Melani Budianta.
Tentu ada peluang ekonomi untuk berjualan kudapan atau cendera mata untuk pengunjung yang lewat atau singgah di kampung-desa wisata, tetapi seperti pengalaman Sang Ibu dalam cerpen Pintu Tertutup di Kampung Warna (2018) karya Demitria Budiningrum, privasi menjadi terganggu karena ruang privat telah menjadi ruang publik. Alih-alih menjadi subjek di rumahnya sendiri, Sang Ibu justru dikunci karena suaranya dianggap kurang elok didengar para tamu (wisatawan).
Tapi Farid dan teman-temannya tentu tidak berusaha menciptakan kondisi semacam itu. Ia dan masyarakat bergerak untuk menjadi subjek, secara sadar, bukan objek yang dieksploitasi. Itu barangkali seperti Romo Mangunwijaya yang memberikan rasa percaya diri kepada warga Kampung Kali Code dengan mendesain kampung sehingga menjadi ikon kota—warga Kali Code selamat dari penggusuran dan kampung menjadi ruang kebersamaan yang membanggakan warganya.
“Tidak terlalu sulit, karena mereka senang dengan dunia ini [kesenian dan kebudayaan]. Saya tinggal mengakomodasi cerita-cerita yang lekat dengan kehidupan mereka, entah itu yang berkaitan dengan legenda, mitos maupun asal-usul desa,” jawab Farid saat ditanya bagaimana ia dan teman-temannya meyakinkan masyarakat untuk aktif berkesenian.
Apa yang dilakukan Farid bersama teman-temannya di Kampung Budaya Piji Wetan—gerakan untuk menghimpun dan mengorganisir sumber daya dalam satu komunitas—dapat dimaknai—seperti kata Prof. Melani Budianta dalam pidato kebudayaannya “Lumbung Budaya di Sepanjang Gang” di Dewan Kesenian Jakarta—sebagai gerakan “commoning”.
Commoning, kata Prof. Melani, berfungsi sebagai kata kerja, bukan untuk membuat commune, atau suatu komunitas homogen yang eksklusif, tetapi untuk membangun commons (seperti digital commons) yang dapat diakses dan digunakan secara kolektif.
Menurut Elinor Ostrom (1990), ruang terbuka untuk umum—semacam Kampung Budaya Piji Wetan ini—akan berkelanjutan sumber dayanya asal pengelolaannya diserahkan kepada komunitas terdekat melalui pendekatan yang partisipatif, demokratis, dan inklusif. (Pendapat tersebut merupakan bantahan Ostrom terhadap Garrett Hardin yang mencetuskan konsep commons dengan “The Tragedy of The Commons” (1968).)
Gerakan semacam ini tidak dapat diromantisasi, karena penuh jebakan, dan kompleksitas, kata Prof. Melani lagi. Komunitas seperti Kampung Budaya Piji Wetan harus terus bernegosiasi dengan banyak hal, termasuk negara dan modal.
Ia harus berhati-hati untuk tidak terimbas politik identitas yang terlanjur merasuk sampai ke ceruk-ceruk terdalam bangsa ini, dan harus bersusah payah menggugah partisipasi yang terlanjur tergerus mentalitas masyarakat yang transaksional, atau pertarungan kepentingan antarkelompok.
Perlu diakui bahwa upaya membangun lumbung budaya di desa-desa masih banyak yang bersifat sporadis. Tapi Kampung Budaya Piji Wetan tampaknya cukup sistemik dalam mentransformasi tatanan lumbung budayanya.
Upaya ini perlu terus dilanjutkan dari segala arah, dengan pendekatan transdisiplin, melalui ingatan dan penggalian kembali warisan masa lalu, maupun kreasi baru yang mencerahkan. Cerita, lagu, dan berbagai karya seni lainnya, dan yang terutama adalah melalui praktik mengorganisasikan kolektivitas secara inklusif, harus terus diproduksi dan digalakkan.[T]
Reporter/Penulis: Jaswanto
Editor: Adnyana Ole