“Warga Desa Julah memiliki keramahan luar biasa. Anda bisa disuguhkan daging jika bertamu dengan mereka di rumahnya, tentu, jika masih ada daging di dapur mereka. Warga kami tak segan-segan memberimu suguhan enak. Sangat ramah,” kata Perbekel (Kepala Desa) Julah, I Wayan Suastika.
Suastika ingin menyampaikan Desa Julah memang cocok dikembangkan menjadi desa wisata unggulan di Bali. Selain karena punya potensi kerajinan tenun, juga warganya ramah-ramah. Ia mengatakan hal itu ketika berbicara dalam Focus Group Discussion (FGD) berkaitan dengan pengembangan Desa Julah, Kecamatan Tejakula, Buleleng, menjadi destinasi agrowisata desa, Selasa, 3 Desember 2024, di balai desa stempat.
Suastika memang sangat serius mengatakan, bagaimana keramahan itu ada di setiap kain yang dibuat warga penenun di desa itu. Sakral, dan manusianya juga berserat kasih. “Itu kain dari turun temurun,” lanjutnya.
Untuk melihat, merasakan apa yang dikatakan oleh Suastika itu, bersama sejumlah wartawan, termasuk saya, bergerombol menuju rumah Ketut Sarining (51). Ia adalah warga Julah dan seorang penenun paruh baya.
Perempuan itu menunjukkan jalan rumahnya bersama penenun lain, Ketut Resiani (33), dan Ni Luh Mertanadi (39).
Jalan terbuka di sepanjang gang dan sungai kecil, udara panas membuka jalan itu. Matahari menindih kami panas. Bali utara memang panas di sebagian wilayah, salah satunya di Julah ketika siang hari itu. Memanggang.
Hanya saja, itu tidak terasa sangat berat sepanjang kami pergi ke sana, keramahan dari tiga penenun itu meneduhkan kami sepanjang jalan. Hatinya halus.
“Duduklah,” kata Ketut Resiani ketika kami sudah tiba di rumahnya, yang jaraknya memang tak terlalu jauh. “Maaf rumahnya tak terlalu luas,” katanya, penuh penghormatan.
Ternyata rumah Sarining dan Resiani berada dalam satu pekarangan. Di Bali biasa disebut satu pemesuan.
Ketut Sarining sedang menenun di rumahnya di Desa Julah | Foto: tatkala.co/Son
Di rumah Ketut Resiani bertengger alat tenun habis pakai. Tidak lama kemudian, Ketut Sarining datang ke rumah Resiani membawakan beberapa helai kain buatannya yang masih tersisa untuk ditunjukan kepada kami.
Sebagai sampel, ia menunjukkan kain itu sebagai hasil ia bekerja beberapa waktu lalu. Kain yang lain sudah terjual, katanya.
Rumah mereka tidak terlalu jauh satu sama lain, dan hanya cukup enam langkah saja, terkecuali rumah Ni Luh Mertanadi, mungkin sebanyak 15 langkah kaki untuk ke sana dari rumah Ketut Sarining atau Ketut Resiani. Mereka adalah kerabat.
“Ibu, saya sambil makan yah. Sudah lapar euy hehe…,” kata saya, menunjukkan nasi kotak yang saya dapatkan dari acara FGD. Saya mengatakan hal itu ketika sudah agak lama mengobrol, dan kami cukup akrab dengan waktu sebentar. Penuh humor kami mengobrol.
“Eh, tunggu dulu. Saya punya daging. Baru mateng,” kata Ketut Sarining beranjak dari tempat duduknya.
“Tah!” batin saya. Seperti salah ucap sebagai tamu—yang tengil, O, saya merasa tak enak hati seketika, karena seakan meminta untuk dijamu. Rasa bersalah seolah menjadi langit siang saya waktu itu. Maaf.
“Nah, loooo… kamu, Son,” kata Mbak Dian, wartawan Koran Baliexpress menunjuk saya. Hati saya semakin berdegup. Nyali saya menciut. Ingin berubah jadi batu saja rasanya.
“Saya juga mau makan, kok.” timpal Ketut Resiani di pinggir saya duduk. “Nih saya juga punya nasi kotak, hehe.. Mari kita makan,” lanjutnya gembira, kemudian ia pergi ke dapur sebentar.
Suasana obrolan seketika mencair. Beberapa waktu Ketut Resiani pergi ke dapur, Ketut Sarining datang lebih dulu dengan langkah tergontai membawa satu mangkuk besar terbuat dari stainlis ditutup. “Ini dagingnya. Sedikit hangat,” katanya sambil tersenyum menunjukan daging babi segar dan hangat. Berwarna coklat kuahnya, bumbu megenep ada di dalamnya. Rempah.
Hati saya semakin berdegup kencang beradu dengan perut lapar. Rasa tak enak hati benar-benar menyelam ke perut lapar saya melihat daging itu dibawa oleh Ketut Sarining dengan kulitnya yang berserat. Ini namanya serat kasih. Tapi, bagi saya, ini mah, namanya saya tak enak hati.
Tak lama setelah itu, Sarining pun datang membawakan semangkuk besar. Tambah hati saya berdebar. Saya dikeroyok makanan.
Kami (wartawan) makan bersama di rumah Resiani | Foto: tatkala.co/Son
Kami bertiga, akhirnya makan. Membuka nasi kotak masing-masing. Ketut Resiani menghilangkan kecut—ketidak enakan pada kami. “Santai saja. Makanlah. Ayo makan,” katanya sambil membuka masakannya.
“Iya. Ayo makan,” tancap Ketut Sarining.
Kami pun makan. Enak. Terima kasih, Ibu Sarining dan Ibu Resiani. Makanannya enak sekali. Tuhan membalas yang baik.
Kain dan Bagaimana Regenerasi Diperlukan
Selain keramahan yang luar biasanya kepada orang luar seperti kami (maksudnya bukan warga asli Julah), warga Desa Julah juga ramah pada tradisinya sendiri, terutama tradisi menenun. Menenun juga bukan sekedar keahlian mereka sebagai persembahan pada adat, tetapi juga warisan budaya yang diselimuti nilai sakral seperti keramahannya pada kami. Terasa.
Di sana, Ketut Sarining menunjukkan alat tenunnya setelah selesai makan bersama menikmati daging empuk dengan sayur atau jukut ares daging ayam buatan Ketut Resiani.
Di teras rumah Ketut Sarining, alat tenun kayu atau disebut cag-cag itu, berdiri tegak. Ia memegang sebagian kain tenun yang sedang dikerjakan di alat itu.
Kain itu disebut Tapih Pegat, salah satu tenun sakral di Desa Julah. Tapih Pegat ini punya makna mendalam, harapan agar cinta dua manusia tak putus-putus. Abadi seperti puisi dari penyair Sapardi Djoko Damono.
“Ini untuk malam pertama pasangan pengantin. Sebagai alas tidur,” ujar Sarining sambil tersenyum setipis tisu.
Matanya terlihat penuh cinta. Barangkali terbayang malam pertamanya dengan sang suami hehe.
Kain Tapih Pegat itu memiliki kesakralannya tersendiri sebagai konsekuensi dari adat. Kain tidak boleh dipinjamkan setelah dimiliki, apalagi dijual, atau dirusak dengan sengaja.
Setelah digunakan, kain harus dibiarkan begitu saja, sampai rusak secara alami sebagai bentuk penghormatan pada nilai tradisi leluhur. Kain itu juga tidak boleh diturunkan kepada anak. Jika anak akan menikah, maka dibuatkan kain yang baru.
Ketut Resiani di rumahnya | Foto: tatkala.co/Son
Selain Tapih Pegat, Sarining dan ipar-iparnya juga membuat kain lain seperti Geringsing dan Kasang. Kedua kain ini digunakan sebagai alas banten dalam upacara agama.
Dengan ukuran hanya 30 x 40 cm, motif Geringsing berupa kotak-kotak kecil yang melambangkan keseimbangan dan keharmonisan. Sedangkan Kasang, yang berukuran lebih kecil, memiliki motif sulaman warna-warni di tengah kain. Setiap motif punya makna. Geringsing itu simbol harmoni, sedangkan Kasang lebih pada keindahan estetika upacara.
Salah satu kain paling istimewa adalah Kamen Daki. Walau namanya terdengar sederhana, kain ini memiliki kedudukan tinggi dalam ritual adat. Diletakkan di ujung selatan sanggah (tempat pemujaan keluarga), Kamen Daki menjadi simbol penghormatan kepada Dewa.
“Kain ini tidak bisa dicuci. Setelah digunakan, hanya dibersihkan perlahan lalu disimpan lagi. Harus dirawat dengan baik,” ungkap Sarining.
Sayangnya, tradisi ini perlahan tergerus waktu. Dahulu, hampir setiap perempuan di Desa Julah bisa menenun. Kini, hanya Sarining, Resiani, dan Mertanadi yang masih aktif melakukannya. Bahan baku pun menjadi tantangan besar. Benang Bali, yang mereka gunakan, dibuat dari kapas Karangasem yang kini sulit didapat.
“Kalau dulu, mertua kami bisa bikin benang sendiri. Sekarang kami harus membeli dari produsen di desa,” kata Sarining.
Sementara itu, Ketut Resiani memiliki kecepatan yang mengesankan. Dalam sehari, ia bisa menyelesaikan satu kain jika tidak ada kegiatan adat. “Kalau pagi mulai, malam sudah selesai,” kata Resiani.
Namun, bukan berarti pekerjaan ini tanpa tantangan. “Kalau kain ini salah disentuh, atau dicoba di badan, sudah tidak suci lagi. Tidak bisa dipakai untuk upacara,” jelasnya.
Resiani awalnya enggan belajar menenun. Ia bekerja serabutan sebelum akhirnya mengikuti permintaan mertuanya. “Awalnya saya pikir ini tidak menghasilkan. Tapi sekarang saya bangga karena bisa meneruskan tradisi,” ujarnya.
Tenun khas Julah bukan sekedar kerajinan. Ia adalah warisan yang membawa nilai-nilai leluhur ke masa kini. Di setiap serat, terkandung doa, harapan, dan penghormatan terhadap adat istiadat.
Bagi masyarakat Desa Julah, memiliki kain-kain ini adalah kewajiban spiritual. “Hampir setiap rumah di sini punya kain tenun untuk keperluan upacara,” ungkap Sarining.
Tetapi persoalannya sekarang bagi mereka adalah, bagaimana meregenerasikan keterampilan menenun ini. Pada wacana destinasi wisata saat FGD yang dilakukan oleh Dinas Pariwisata Buleleng, mereka berharap penuh pada program-program pelatihan yang membuka pikiran generasi sekarang untuk lebih peduli pada kebudayaan leluhurnya. Semoga. [T]
Reporter/Penulis: Sonhaji Abdullah
Editor: Adnyana Ole