“SEBENTAR lagi mulai, Bu. Ini masih persiapan,” seorang lelaki paruh baya menjawab pertanyaan perempuan yang usianya tampak lebih muda darinya. Meski demikian, lelaki itu tetap memanggilnya “ibu”. Semacam ada relasi “kasta” di sana. Siapa yang memerintah dan siapa yang diperintah. Lelaki berusia setengah abad yang mengenakan kamen dan udeng itu kini sedang menancapkan bambu dengan panjang semeteran lebih di pinggir pematang sawah berjenjang.
Hari semakin terik. Sebutir-dua butir keringat merembes dari pelipisnya. Ia menyekanya dengan kasar. Merasa bambu yang ditancapkannya sudah sesuai dengan yang ia inginkan, lelaki itu berpindah ke seikat ilalang dan beberapa butir kelapa yang sudah dibentuk sedemikian rupa.
Sementara lelaki itu sibuk melepas ikatan-ikatan padang kering itu dan mulai menyusunnya di kerangka salib—yang belakangan dilengkapi dengan sepasang tangan, kaki, dan kepala—yang ia satukan dengan balok yang ia tancapkan, di sekitarnya orang-orang tak henti-henti memotretnya. Seolah model sebuah produk, beberapa kali ia juga diarahkan—jika bukan disuruh-suruh.

Nengah Darmika Yasa saat menancapkan bambu di pinggir pematang di Subak Spirit Festival 2024 | Foto: tatkala.co/Jaswanto
Lelaki itu melempar senyum kepada setiap orang yang hendak mengambil gambarnya. Dan kini keringatnya sudah benar-benar membasahi wajahnya yang ramah. Sedangkan tepat di depannya, di seberang sawah tempatnya berdiri, orang-orang datang tak putus-putus. Mereka seperti laron yang obral saat musim hujan. Di sana, selain sekadar bergerombol-ngobrol-dan merokok, beberapa orang memilih duduk sambil menikmati kudapan yang dijajakan di stand-stand kecil beratap ilalang.
Tak lama berselang, sekelompok remaja (laki-perempuan) menghampiri lelaki paruh baya yang sibuk membuat orang jadi-jadian itu. Ia hampir selesai. Tangan dan kaki sudah ia bereskan. Kini tinggal menancapkan kepala di tempat semestinya.
“Bikin apa, Pak?” tanya salah seorang remaja yang mengenakan baju olahraga sekolahnya. Di pinggung bocah-bocah itu terpacak tulisan SMP N 6 Abang, Karangasem.
“Lelakut. Sini bantu bapak. Sekalian kalian belajar membuatnya!” seru lelaki itu.
Jadilah mereka membuat lelakut atau petakut (istilah rakyat Bali yang populer untuk orang-orangan sawah—atau weden dalam bahasa Jawa) bersama. Dan memang begitulah seharusnya. Sebab, ini bukan sekadar pertunjukan, tapi juga lokakarya membuat sosok manusia jadi-jadian yang berfungsi menakut-nakuti burung di masa padi menjelang panen itu.

Nengah Darmika Yasa sedang mengajari siswa-siswi membuat lelakut di Subak Spirit Festival 2024 | Foto: tatkala.co/Jaswanto
Ya, lokakarya tersebut dipandu Nengah Darmika Yasa, lelaki yang berusia setengah abad itu. Pelatihan yang singkat tersebut merupakan bagian dari Subak Spirit Festival 2024 yang diselenggarakan oleh Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan, Kementerian Kebudayaan di Desa Jatiluwih, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan, Bali, dari 9 sampai 10 November 2024.
Nengah Darmika Yasa, atau yang akrab dipanggil Pak Bobong, adalah seorang petani Jatiluwih yang masih membuat dan memanfaatkan lelakut—untuk mengusir burung—di sawah miliknya. Alih-alih membuat ala kadarnya—sekadar kerangka kayu yang dibungkus baju bekas sebagaimana kerap kita temui di sawah-sawah lainnya—Bobong perlu sedikit repot dengan membentuk sebutir kelapa menyerupai wajah manusia, lengkap dengan mata, hidung, dan mulutnya. Bahkan ia enggan membungkus orang-orangan sawahnya dengan baju bekas. Ia memilih menyusun padang ilalang kering sebagai badan lelakut-lelakut-nya.
“Ilalang ini saya beli di pengepul, di Tabanan sana. Katanya si didatangkan dari Lombok,” terang Bobong kepada tatkala.co sesaat setelah mengajari anak-anak sekolah menengah pertama itu meyusun ilalang kering kemudian mengikatnya dengan baik dan benar, Minggu (10/11/2024) siang.
Bobong mengaku, untuk membuat satu lelakut lengkap dengan—meminjam bahasa yang ia gunakan—“tapelnya”, ia tak sampai membutuhkan waktu berhari-hari. “Dua hari saja selesai,” ujarnya, penuh rasa percaya diri. Di sawah miliknya, katanya, lelakut masih cukup efektif dalam bertugas. Mahluk kecil bersayap macam pingai, pipi, gelatik, dan branjangan, atau sejenisnya, tak berani menginjakkan kaki di tangkai-tangkai padi milik Bobong. “Tapi saya memasang lelakut di hari baik. Saya percaya itu,” kata Bobong.

Lelakut buatan Nengah Darmika Yasa di Subak Spirit Festival 2024 | Foto: tatkala.co/Jaswanto
Di Jatiluwih, yang sawahnya berjenjang (terasering) seperti lukisan Hindia Molek itu, petani tidak pernah menggunakan alat-alat yang aneh-aneh untuk mengusir burung, sebagaimana petani di beberapa daerah di Jawa—mereka juga tidak mengenakan senapan atau meriam-meriam karbit-spirtus yang berbunyi menggelegar.
“Cukup pakai lelakut atau tarikan [tali yang dibentangkan di sawah, yang kadang digantungi kaleng-kaleng bekas]. Kadang juga pakai kepuakan [alat pengusir burung lainnya yang terbuat dari bambu],” terang Bobong.
Apa yang dilakukan petani Jatiluwih dapat kita lihat dari dua sudut pandang. Pertama karena ingin melestarikan alat-alat pertanian tradisional; kedua oleh sebab desa tersebut termasuk tujuan wisata yang populer di Bali. Oh, atau bahkan keduanya memang saling berhubungan. Karena tempat tujuan wisata, maka sawah-sawah di Jatiluwih harus dihias pakai lelakut, sunari, dan haram hukumnya petani membunyikan meriam karbit atau spirtus seperti kebanyakan petani di Jawa.
Tapi tak banyak petani Jatiluwih yang membuat lelakut seperti yang dibikin oleh Bobong. Mereka tak mau ribet. Mereka mau yang praktis-praktis saja, sekadar membuat kerangka kayu kemudian membungkusnya menggunakan baju dan celana bekas. Cukup. Meski tak terlihat estetik dan eksotis. Toh bukan itu tujuan utamanya. Tapi bukankah turis-turis suka yang estetik dan eksotis?
Bobong bersama siswa-siswi dari SMPN 6 Abang dan SMA Hindu Utama Widyalaya Astika Dharma berhasil merampungkan satu lelakut yang tampan—dengan topi pandan yang nangkring di kepala kelapanya. Mereka bersorak dan bertepuk tangan.
Lelakut, Bagian dari Lanskap Budaya
Burung liar selalu menjadi ancaman bagi padi petani. Oleh karena itulah, petani padi di seluruh dunia melahirkan orang-orangan sawah—atau apalah sebutannya—sebagai alat pengusir burung-burung. Mengenai penggunaan boneka sebagai alat pengusir binatang liar, laporan tertulis pertama berasal dari zaman kuno. Sejak 2500 tahun yang lalu, orang-orang Yunani menyembah Priapus, dewa yang dipercaya melindungi ladang gandum dan anggur mereka—pun alat kelamin laki-laki.
Priapus adalah model untuk boneka pertama yang ditempatkan di antara tanaman pangan untuk mengusir hama. Pengusiran burung juga dilakukan di Mesir lebih dari 3000 tahun yang lalu. Boneka yang menyerupai manusia ditempatkan di tepi Sungai Nil untuk melindungi tanaman pangan dari burung. Dokumen-dokumen Jepang sebelum 2500 tahun juga menggambarkan kebiasaan mengusir binatang dengan boneka yang dibuat menyerupai manusia.
Orang-orangan sawah atau lelakut dalam konteks Bali, dulu memiliki tempat di lanskap pedesaan di daerah-daerah di Indonesia dan cukup umum ditemukan di hampir setiap sawah. Tak jarang mereka ditempatkan di kebun belakang rumah, ladang pertanian, dekat jalan, di kebun buah, atau dekat petak sayuran.
Sebagaimana telah disinggung di atas, pekerjaan lelakut adalah untuk menakut-nakuti binatang liar, termasuk babi hutan, rusa, dan unggas. Menurut kronik rakyat, ‘banyak orang-orangan sawah berdiri di ladang. Masing-masing lebih pintar dari yang lain. Terkadang, sulit untuk mengatakan, apakah itu petani yang sedang meluruskan kakinya atau orang-orangan sawah yang berjaga di posnya’.

Nengah Darmika Yasa sedang mmembuat lelakut di Subak Spirit Festival 2024 | Foto: tatkala.co/Jaswanto
Ya, bentuk tubuh lelakut harus menyerupai petani. Maka, orang-orangan sawah itu dibuat dari dua batang kayu yang disilangkan. Pada masa kejayaannya, batang-batang kayu itu ditutupi dengan jerami atau ilalang kering lengkap dengan aksesorisnya—bisa caping, topi, atau semacamnya—yang membuatnya menyerupai petani. Bobong melakukan itu.
Dalam khazanah Bali, lelakut menggabungkan dua realitas yang saling bertentangan. Di satu sisi, orang-orangan sawah itu bisa terlihat kumuh, berbahaya, atau bahkan menakutkan di malam hari. Di sisi lain, sosok orang jadi-jadian itu terkadang terlihat baik hati, yang membawa konotasi positif berupa “roh yang baik”, pelindung, dan pembantu. Oleh karena itu, orang-orangan sawah bisa terlihat jahat dan baik hati. Tapi, terlepas dari anggapan tersebut, lelakut sepertinya adalah lambang budaya pertanian rakyat dan harapan petani untuk hasil panen yang baik.
Namun, meski demikian, lelakut juga sering kali memberi kesan dilupakan, ditinggalkan, dan dibiarkan sendiri. Pun alam tidak memiliki belas kasihan untuknya. Sebagian besar lelakut itu memudar karena sinar matahari, terbakar matahari, dan hampir runtuh. Dan kini, barangkali makna budaya dari orang-orangan sawah telah hilang, dilupakan, seiring terus berkurangnya jumlah petani dan lahan pertanian karena alihfungsi lahan.

Nengah Darmika Yasa sedang mmembuat lelakut di Subak Spirit Festival 2024 | Foto: tatkala.co/Jaswanto
Dulu, lelakut dibuat dengan hati-hati—sekali lagi, seperti yang dilakukan Bobong di Jatiluwih—untuk mewakili petani dan membuat mereka bangga atas tugasnya. Orang-orangan sawah memang mulia. Mereka “bernasib baik”—”tuan tanah” yang sebenarnya. Tapi saat ini, di tengah zaman yang bergerak lebih cepat dari kepak pipit terbang, lelakut pelan-pelan dilupakan. Hampir tidak ada orang yang mau repot-repot membuatnya dengan hati-hati dan penuh perhatian.
Mungkin aliran waktu telah merusak reputasi orang-orangan sawah. Hama padi tak hanya burung-burung. Dan burung-burung tampaknya tak lagi takut dengan lelakut. Mungkinkah karena ia kini tidak lagi terlihat seperti petani sebenarnya? Tapi siapa yang akan menghormati—atau bahkan takut—“kain tua di atas tongkat”?
Kini, orang-orangan sawah itu sendiri hanyalah gombal lusuh yang dibuat dengan lebih atau kurang hati-hati, sekadarnya, penuh kecerobohan. Oleh karena itu, bagi sebagian orang, lelakut adalah “kain lap pada tongkat”, sementara bagi yang lain, “karakter misterius yang mistis”.
Tapi perkembangan teknologi dan pertumbuhan budaya digital telah menghilangkan sifat mistis, menyeramkan, dan orang-orangan sawah (lelakut) sebagian besar atau bahkan seluruhnya, dalam budaya populer, menjelma hiasan di festival-festival yang berkaitan dengan sawah, pertanian, atau hanya sekadar ingatan masa lalu yang lamat-lamat terdengar—meskipun lelakut sebagai bagian dari lanskap budaya Bali.[T]
Reporter/Penulis: Jaswanto
Editor: Made Adnyana