PAMERAN merupakan satu hal yang sangat sakral, yang tentu diamini oleh Sebagian besar perupa, tak terkecuali oleh ke-enam perupa yang tergabung dalam pameran seni rupa “kone keto, keto kone?” ini. Pameran yang masih berlangsung sampai tanggal 12 November ini, bertempat di sebuah ruang yang mungkin bisa dibilang kiprahnya kini sangat jarang terdengar di kuping para pembaca, yaitu Karja Artspace.
Diinisiasi oleh beberapa perupa asal Bali dan luar Bali, pameran ini menghadirkan pengalaman dalam membaca kondisi bali hari ini, melalui sarana karya seni dengan berbagai spektrum disiplin kerja, hal itu tergambar dari beberapa karya yang dihadirkan oleh para perupa.
Salah satunya adalah karya milik Made Chandra berjudul “Pan Salim Komodifistory “, karya tersebut mencoba menantang daya tangkap kita sebagai audiens untuk bisa larut dan turut ikut dalam menyelesaikan puzzle yang akan menuntun kita dalam mengerti sekelumit permasalahan bali dalam menghadapi komodifikasi melalui satu cerita pendek karangannya.
Selain persoalan wajah ganda antara tradisi dan komodifikasi, permasalahan mengenai isu rasisme yang terjadi di sekitar kita, turut dirasakan oleh Derry Smbiring, dalam karya instalatifnya berjudul “ Pendatang Terpaksa Balita “, ia berusaha menceritakan pengalamannya sebagai seorang yang datang dari hamparan geografis yang sangat berbeda dengan Bali, harus terpaksa mendengar beberapa selentingan yang baginya sangat tidak mengenakan untuk diperdengarkan seperti “ JAWEKUPANGPETE”, ia mengandaikan dirinya harus dipaksa kembali menjadi seorang balita yang sedang diajari kata-kata baru tersebut Ketika ia tinggal di Bali.
Ia menampilkan kata-kata tersebut dalam rangkaian huruf abjad yang biasa kita temui di masa kecil kita saat sedang mengenal beberapa kata baru.
Mengisyaratkan bahwa hal tersebut sangat dekat namun begitu tabu untuk dibahas bersama, penyebutan itu mungkin terpantik bukan tanpa sebab, namun lebih dari itu Derry mengajak kita untuk merefleksi diri kita masing-masing, dan belajar untuk saling mengerti serta menghargai.
Tak kalah menariknya beberapa karya lainnya turut menampilkan beberapa permasalahan yang sangat dekat untuk para perupa bisa dalami, di antaranya Dedepot dengan ‘crash into my sculpture’ yang menceritakan bagaimana ke-chaos-an yang terjadi di desanya akibat banyaknya ATV yang memberikan sumbangsih destruktif kepada karya-karya patung di daerahnya, yang sering kali menjadi sasaran empuk bagi para wisatawan.
Karya Dedepot “crash into my sculpture” silkscreen dan video art
Dengan karya Video Art dan silks screennya, ia mencoba untuk memprovokasi indra kita untuk lebih peka terhadap kejadian yang ada di sekeliling kita, yang sering kali abai untuk kita perhatikan, dengan audio yang berputar berulang-ulang mengurung ruangan, membawa kita agar khusuk mendengarkan ucapan bak mantra yang menenangkan namun menyiratkan arti satir di dalamnya.
Karya Dede menyajikan pengalaman eksploratif yang lebih unik, dengan teknologi yang berpadu raw material menantang daya imajinatif kita untuk bisa membayangkan gambaran masa kini yang penuh dengan kejutan.
Di lain sisi di satu daerah yang saling berdekatan Yudana dengan reliefnya “ Siapa Lagi?” mencoba mempertanyakan ulang keberlangsungan generasi pematung di tempatnya, Singapadu yang terkenal dengan patung menghiasi seantero jalan utamanya, kini menghadapi kenyataan yang sangat kontradiktif yaitu krisis dari para pengerajin ukir paras maupun kayu di daerahnya. Sebagai seorang yang bergelut di bidang tersebut, Yudana merasakan kecemasan akan jalur estafet yang dimulai sejak jaman leluhurnya, kini seakan putus dalam bayang-bayang kejayaan masa lalu.
Keresahannya terukir dalam relief yang ia hadirkan dalam pameran ini, dengan visual topeng Rangda khas singapadu dengan hidung dan mulut terpisah, menjadi metafor yang sederhana untuk menggambarkan bagaimana kelangsungan para penerus patung singapadu mengalami sebuah reduksi dan keterpisahan dari apa yang seharusnya diharapkan.
“ Stabbing for the future”
karya perupa asal Banyuwangi, Krisna Jiwanggi menjadi salah satu karya yang cukup menarik untuk kita dalami bersama-sama, dalam karya instalatifnya ia banyak menggunakan found object yang sangat berkaitan dengan geliat pembangunan di Bali. Perpindahannya yang masih terbilang dini mengungkap satu kenyataan yang ia terus rasakan, terutama di daerah sekelilingnya.
Di salah satu bagian karyanya terdapat jendela bertuliskan “ Dijual cepat!!! Tanah murah harga mulai IDR 50.000 ( SIAPA CEPAT DIA DAPAT)” kata-kata itu menjadi pemantik kita untuk melihat apa yang coba krisna hadirkan. Dalam bayangannya ia mencoba untuk menghadirkan gambaran akan murahnya tanah di Bali, Bak lelang yang mengisyaratkan akan cepatnya pergeseran kepemilikan tanah dari orang lokal terhadap investor asing, menjadi sumber api utama Bali hari ini dengan segala kepadatannya.
Di ruangan terakhir jargon “New Romantic?” menyapa kita dengan lukisan karya Made Ari. Ada yang tak biasa dari lukisan ini. Yaitu dimensinya yang ternyata menghadirkan dua wajah ganda bali hari ini, serupa dengan Made Chandra, karya Ari juga membahas tradisi dan komodifikasi namun dalam studi kasus yang lebih spesifik mengenai budaya komunal yang lumrah di Bali. Banyaknya kegiatan tradisi yang hadir di Bali tentu beriringan dengan status komunal pada sosial mereka, tanpa masa yang banyak tampaknya mustahil upacara besar-besaran yang selalu kita lihat dapat terlaksana.
Namun di era yang serba cepat ini kebutuhan akan tradisi kini dapat diakomodir dengan sistem komodifikasi yang marak terjadi, dimana banyaknya sarana upacara yang diperjualbelikan, sehingga kebutuhan untuk sosial menjadi terdistrupsi dengan adanya hal tersebut. Dalam benaknya kini ia mempertanyakan masih pentingkah tradisi itu terus berjalan, jika kini mereka semua dapat teraksana tanpa harus melibatkan sosial di sekitar Masyarakat.
Mereka berusaha untuk mencoba menghadirkan wacana tersebut melalui pendekatan yang sedekat mungkin dengan masyarakat, harapannya agar media penyadaran kritis tersebut dapat tersampaikan dengan baik tentunya dengan banyaknya wahana rupa yang mereka hadirkan.
Pameran bersama ini melalui kurasi yang dilakukan oleh kurator muda wanita asal Bali, Sekar Pradnyadari. Melalui kerja kurasinnya selama kurang lebih 6 bulan, ia dan para perupa berusaha untuk membangun wacana yang akan lebih mengedepankan hal-hal mendasar yang terutama perupa rasakan sebagai seorang yang tinggal di Bali, melalui kacamata lokal mereka dalam merespon apa yang dekat dan terjadi di lingkungan sekitar.
Audiens dituntun untuk bisa melihat bali dari segi ‘ Present’ yaitu kenyataan hari ini, dibanding untuk ikut larut dalam arus wacana ‘ representatif’ yang tentu dibangun dari berbagai kepentingan yang menginginkan Bali agar terus berwajah indah dan molek.
Dari ke-enam karya tersebut kita dapat melihat banyaknya cakupan spektrum visual yang dihadirkan oleh masing-masing perupa, dari karya mereka kita dapat sadar bahwa Bali hari ini merupakan satu bejana besar yang menampung berbagai hiruk pikuk permasalahan yang terjadi di masyarakat, ke-enam perupa ini adalah gambaran kecil dari masyarakat yang tak tau akan akan kepastian di tanahnya, namun tetap bertanya dan mendiskusikan bagaimana Bali hari ini?. “ kone keto, keto kone? “. [T]